MAKALAH WARISAN
Keterangan :
jika ingin mendownload makalah ini anda bisa unduh di bawah ini :
---------------------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam muncul dan memberikan
cahayanya agar manusia tidak semena-mena dalam mengambil keputusan. Terutama
tentang pembagian waris. Karena ini akan menyangkut keluarga dan akan
menimbulkan pertentangan dan perselisihan di antara keluarga. Maka dari itu
itu, perlu adanya pembahasan khusus mengenai masalah waris ini, dengan
mengetahui pengertian, asas, pembagian ahli waris, dan hal-hal yang lain
yang berkaitan dengan waris. Hukum waris perdata Islam adalah hukum yang
mengatur tentang pembagian ahli waris dan hal lain terkait dengan bagi waris
menurut agama Islam. Di negara kita,
yang kaya akan budaya dan adat,
termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, hukum Islam, dan adat. Masing-masing hukum
tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain. Hukum adat waris
mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual.
Sistem waris kolektif yaitu, harta
warisan dimiliki secara bersam-sama, dan ahli waris tidak diperbolehkan untuk memiliki secara
pribadi. Jika ingin memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah
dengan ahli waris yang lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki
oleh ahli waris yang tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris
yang muda baik perempuan atau laki-lak sampai merka dewasa dan mampu mengurus
dirinya sendiri. Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa dimliki
secara pribadi oleh ahli waris, dan kepemilikkan mutlak ditangannya. Harta
warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun sebelum pewaris
meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing pihak.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian hukum waris perdata Islam?
2. Apakah
pengertian hukum waris adat?
3. Apakah
perbedaan antara hukum waris perdata Islam dengan hukum waris adat?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian hukum waris
perdata Islam
2.
Mengetahui pengertian hukum waris adat
3.
Mengetahui perbedaan antara hukum waris
perdata Islam dengan hukum waris adat
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM WARIS PERDATA
ISLAM
A. Pengertian
Waris dalam Islam
Warisan
atau kewarisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Arab yaitu: warasa yang berarti
pindahnya harta si Fulan. Waris dalam bahasa Indonesia berarti
peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal
dunia. Hukum waris di dalam hukum Islam lazim juga disebut dengan istilah
“Faraid” yang berarti pembagian tertentu.Pengertian waris ditinjau
secara etimologi dalam kamus Bahasa Arab, waris berasal dari kata warits yang
berarti (tinggal atau kekal). Oleh sebab itu, apabila dihubungkan dengan
persoalan hukum waris.
Perkataan
warits tersebut berarti orang-orang yang berhak untuk menerima pusaka dari
harta yang ditinggalkan oleh si mati sering dikenal dengan istilah ahli
waris. Ahmad Azhar Basyir memberikan definisi kewarisan menurut
hukum Islam adalah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah
meninggal dunia baik berupa hak kebendaan kepada keluarganya yang dinyatakan
berhak menurut hukum. Di samping itu Hasby al-Siddieqy telah
mendefinisikan mawaris sebagai jama’ dari kata atau lafaz Mirast, demikian juga
irs, Wars, Wirasah dan turas diartikan dengan maurus yaitu harta pusaka
peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh para pewarisnya sedangkan
lafaz waris adalah orang yang berhak menerima pusaka. Kemudian lafadz
tarikah/tirkah menurut beliau ialah apa yang ditinggalkan seseorang yang telah
meninggal dunia, baik berupa harta maupun berupa hak yang bersifat harta
atau hak yang lebih kuat unsur hartanya terhadap seseorang tanpa melihat
siapa yang berhak menerimanya.
Dari
definisi dan penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hukum waris
Islam merupakan suatu bagian dari hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan
al-Hadits yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan atau pembagian harta
peninggalan dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada orang
lain sebagai ahli waris serta penentuan hak perolehan dari masing-masing ahli
waris tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut para ulama Islam (mujtahid)
menyimpulkan bahwa sistem hukum kewarisan dalam Islam meliputi tiga aspek
bahasan yang utama, yaitu mengenai penentuan tirkah (harta peninggalan),
penentuan ahli waris serta penentuan besar bagian masing - masing ahli
waris.
Kesimpulan
di atas sesuai dengan ketentuan penjelasan Angka 37 pasal 49 huruf b
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud
dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagian masing-masing ahli waris. Dan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi
pegangan para hakim di lingkungan Peradilan dalam melaksanakan tugasnya
menyelesaikan perkara di bidang kewarisan.
B. Azas
Hukum Waris
1. Asas berlaku dengan sendiri
(ijbari)
Dalam Hukum Kewarisan Islam
mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada
ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur “memaksa”
(ijbari) ini terlihat, terutama dari kewajiban ahli waris untuk menerima
perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang
ditentukan oleh Allah di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, calon
pewaris yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu
merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena
dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya
dengan perolehan yang sudah dipastikan.
2. Asas bilateral
Istilah bilateral apabila dikaitkan
dengan sistem kekerabatan berarti kesatuan kekeluargaan yang didasarkan atas
garis keturunan pihak bapak dan ibu. Oleh sebab itu, asas bilateral dalam hukum
kewarisan berarti seorang ahli waris dapat menerima bagian harta pusaka, baik
dari pihak ayah maupun pihak ibu. Pengertian ini mempunyai makna bahwa harta
pusaka dari pewaris dapat dimiliki secara perorangan oleh ahli waris
bukandimiliki secara berkelompok. Praktek pelaksanaan dalam asas tersebut
dilakukan dengan mengumpulkan seluruh harta waris yang dinyatakan dalam nilai
tertentu kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerima
berdasarkan kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini, pewaris berhak
sepenuhnya terhadap bagian yang diperoleh tanpa terikat oleh ahli waris yang
lain.
3. Asas persamaan hak dan perbedaan
bagian
Hukum waris Islam tidak membedakan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik berstatus masih kecil dan mereka
yang sudah dewasa semua memiliki hak untuk mendapatkan warisan. Jadi persamaan
hak ini dapat dilihat dari segi usia dan jenis kelamin. Perbedaannya hanya
terletakpada bagian yang akan didapat setiap ahli waris. Hal ini disesuaikan
dengan perbedaan proporsi beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga.
4. Asas keadilan berimbang
Perkataan adil terdapat banyak dalam
al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum
Islam, termasuk hukum kewarisan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam sistem
ajaran Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses dan tujuan segala
tindakan manusia. Dengan demikian, asas ini mengandung arti bahwa harus
senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang
diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.
Asas yang menyatakan bahwa kewarisan
ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata
sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut hukum kewarisan Islam,
peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan,
terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti
bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai
harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup.
Berarti bahwa segala bentuk
peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain baik secara
langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak
termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Oleh karena itu hukum
kewarisan islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan
sebagai akibat dari kematian seseorang.
C. Penghalang
waris
Dalam
literatur fiqh dijelaskan mengenai penghalang untuk mendapatkan hak waris yaitu
ada tiga, di antaranya:
·
Membunuh
seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan an Nasai dari Qutaibah bahwa
Rasulullah bersabda, orang yang membunuh tidak mewarisi.
·
Karena
berbeda agama sebagaimana dikemukakan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim
bahwa Rosulullah bersabda, “tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir
dan orang kafir terhadap orang muslim”. Dalam fiqh konvensional, pembahasan
mengenai perbedaan agama menjadi penghalang menerima waris, selain ditinjau
dari faktor geografi dan wilayah politik yang tidak kondusif hubungan ismah dan
perwalian juga menjadi alasan para ulama dalam membahas perbedaan agama.
·
Perbudakan,
meskipun pembahasannya sudah dianggap usang, namun dalam kitab fiqh masih
membahasnya. Hal ini didasarkan pada Firman Allah dalam surat an Nahl ayat
7521. Ayat ini menegaskan bahwa seorang hamba tidak mempunyai kekuasaan apapun,
sehingga kalaupun ia diberi hak waris maka pemiliknya lah yang akan
menguasainya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam
tidak dikenal mengenai penghalang waris akibat perbedaan Negara dan
perbudakaan, akan tetapi memperluas mengenai makna membunuh yang menjadi penghalang
menerima waris menurut KHI kepada beberapa hal seperti pada Pasal 173 KHI
yaitu seseorang yang telah dipersalahkan:
- telah membunuh
- mencoba membunuh
- menganiaya berat para pewaris;
- memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dengan
melihat uraian tersebut, terlihat hukum waris Indonesia menetapkan mawani’ul irsi
berkenaan dengan tindak pidana lebih ketat dibandingkan dengan fiqh
konvensional. Namun sebaliknya, dalam mawaniul iris berkenaan dengan perbedaan
agama, ternyata lebih longgar, karena beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI
telah menetapkan bahwa ahli waris non muslim meskipun tidak mendapatkan hak
waris tetapi ia mendapatkan harta melalui wasiat wajibah. Salah satu
yurisprudensi tersebut adalah putusan Mahkamah Agung RI Nomor 366.K/AG/1995
tanggal 16 Juli 1998.
D. Kewajiban
Ahli Waris
Sudah
menjadi kewajiban bagi kita sebagai ahli waris apabila ada yang meninggal dunia
untuk segera menuntaskan urusan duniawinya, terutama yang berkaitan dengan
materi/harta. Hal ini dicantumkan di dalam Pasal 175 KHI/Kompilasi Hukum Islam,
yang menyebutkan bahwa:
- Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah
selesai.
- Menyelesaikan baik hutang
piutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun
menagih piutang.
- Menyelesaikan wasiat pewaris
- Membagi harta warisan di antara
ahli waris yang berhak.
E. Ahli
Waris Kewajibannya
1.
Ahli Waris Nasabiyah
Bagian
ahli waris ahli waris Nasabiyah dapat dibedakan dari bentuk penerimaannya
menjadi dua, pertama Ashab al-Furud al-Muqadarah yaitu ahli waris yang menerima
bagian tertentu yang telah ditentukan al-Quran. Mereka ini umumnya ahli waris
perempuan. Kedua, Ashab al-Usubah yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa
telah diambil oleh Ashab al-Furud al-Muqadarah ahli waris penerima sisa
kebanyakan ahli waris laki-laki. Besarnya bagian tertentu dijelaskan dalam al-Quran
mulai dari 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3 adapun bagian sisa ada tiga
kategori.
a. Asabah Binafsih yaitu bagian sisa
yang diterima karena status dirinya seperti : anak laki-laki cucu laki-laki
garis laki-laki atau saudara laki-laki sekandung prinsip penerimaan ahli waris
ashab al-Usubah ini berdasarkan kedekatan kekerabatannya. Mana yang paling
dekat kekerabatannya maka dia yang berhak menerima bagian sisa yang telah
diambil ahli waris lainnya.
b. Asabah bi al-Gair yaitu bagian
sisa yang diterima oleh ahli waris karena bersamaan, dengan ahli waris lain
yang telah menerima sisa apabila ahli waris lain tidak ada. Maka ia kembali
menerima bagian tertentu semula. Dalam penerimaan asabah bi al-Gair. Ini
berlaku ketentuan laki-laki menerima dua kali bagian perempuan. Ahli waris
yang menerima bagian asabah Bil Gair adalah sebagai berikut :
- Anak perempuan bersama anak laki-laki.
- Cucu perempuan garis laki-laki
bersama cucu laki-laki garis laki-laki.
- Saudara perempuan sekandung
bersama saudara laki-laki sekandung.
- Saudara perempuan seayah
bersama saudara laki-laki seayah.
c. Asabah Ma’a al-Gair yaitu bagian
sisa diterima ahli waris karena bersama ahli waris lain yang tidak menerima
bagian sisa. Apabila ahli waris lain tersebut tidak ada maka ia kembali menerima
bagian tertentu seperti semula. Ahli warisnya terdiri dari : saudara perempuan
sekandung baik satu atau lebih, ketika bersama-sama anak atau cucu perempuan
dan saudara perempuan seayah (satu atau lebih) ketika bersama-sama anak atau
cucu perempuan.
2. Ahli Waris Sababiyah
Ahli waris
Sababiyah semuanya menerima bagian furud al- Muqaddarah sebagai berikut :
a. Suami menerima :
- ½ bila tidak ada anak atau cucu
- ¼ bila ada anak atau cucu
b. Istri menerima bagian :
- ¼ bila tidak ada anak atau cucu
- 1/8 bila ada anak atau cucu
(Berdasarkan QS. al-Nisa’, 4 : 12)
HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA
A. Pengertian
Hukum Waris Adat
Di negara kita RI ini, hukum waris
yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga)
macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat RI, yakni hukum waris yang berdasarkan
hukum Islam, hukum Adat dan hukum Burgerlijk Wetboek (BW)[[1]]. Hal ini adalah akibat warisan hukum
yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Menggunakan hukum waris menurut
hukum adat, menurut Wirjono Projodikoro (19911 : 58), hukum adat pada umumnya
bersandar pada kaidah sosial normatif dalam cara berpikir yang konkret yang
sudah menjadi tradisi masyarakat tertentu[[2]].
Menurut Ter Haar[[3]],
hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari
abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak
berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, ada pendapat lain ditulis bahwa
Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak
berwujud, dari suatu angkatan generasi manusia
kepada keturunnya[[4]].
Berdasarkan pendapat di atas dapat
disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan
harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu
masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara
global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku
di Indonesia, di
antaranya adalah
1. Harta warisan dalam sistem Hukum
Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan
kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis
macamnya dan kepentingan para ahli waris, sedangkan menurut sistem hukum barat
dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai
dengan uang.
2. Dalam Hukum Waris Adat tidak
mengenal asas legitieme portie (bagian mutlak), sebagaimana diatur dalam hukum
waris barat dan hukum waris Islam.
3. Hukum Waris Adat tidak mengenal
adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan
segera dibagikan.
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat
pada prinsipnya asas hukum waris itu penting, karena asas-asas yang ada selalu
dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di
antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan
kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan. Jika dicermati berbagai asas
tersebut sangat sesuai dengan kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI,
yaitu Pancasila.
Di samping itu, menurut Muh.
Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu asas
kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat
diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam
masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra
(keadaan). Dengan menggunakan dan
mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu,
tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan
baik dan tuntas.
Hukum waris menurut hukum adat pada dasarnya merupakan sekumpulan
hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi selanjutnya.
Unsur-unsur hukum mawaris adat adalah sebagai berikut :
1. Proses
pengoperan atau hibah atau pewarisan atau warisan.
Maksud dari proses disini berarti
bahwa pewarisan hukum adat bukan selalu aktual dengan adanya kematian, atau
walaupun tak ada kematian proses pewarisan itu tetap ada, mengenai penerusan,
pengoperan dan penerusan kedudukan harta material dan immaterial, penerusan itu
dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi pewarisan ini bukan merupakan
pewarisan individual.
2. Harta
benda materiil dan imateriil.
Tiap kesatuan keluarga mesti ada
benda-benda material yang dimiliki oleh keluarga itu, yang disebut dengan
kekayaan. Kekayaan yang biasa disebut harta keluarga (gezinsgoed), dapat
diperoleh dengan cara, antara lain : (1) harta suami istri yang diperoleh dari
harta warisan dari orang tuanya(toessheding), (2) harta suami istri yang
diperoleh sendiri sebelum perkawinan, (3) harta suami istri yang diperoleh
bersama-sama semasa perkawinan, dan (4) harta yang ketika menikah kepada
pengantin (suami istri). Kekayaan dalam keluarga tersebut pada dasarnya
memiliki beberapa fungsi :
a.
Kekayaan merupakan basis material
dalam kehidupan keluarga yang dinamakan harta rumah tangga bagi kesatuan rumah
tangga.
b.
Kekayaan berfungsi untuk memberi
basis material bagi kesatuan-kesatuan rumah tangga yang akan dibentuk oleh
keturunan.
c.
Karena harta kekayaan itu merupakan
basis material dari pada kesatuan-kesatuan kekeluargaan, maka dari sudut lain
harta kekayaan itu merupakan alat untuk mempersatukan kehidupan keluarga.
d.
Karena harta kekayaan itu adalah
pemersatu kehidupan keluarga, maka pada dasarnya dalam proses pewarisan, tidak
dilakukan pembagian atau pada dasarnya harta peninggalan tak dibagi-bagi.
Berdasarkan
ketentuan mengenai fungsi dari pada harta kekayaan, maka dalam hukum waris di kenal dua harta macam
peninggalan yaitu :
a.
Harta peninggalan yang dapat dibagi
yaitu, peninggalan yang dibagi-bagikan pada ahli warisnya yaitu kepada
anak-anaknya.
b.
Harta peninggalan yang tidak dapat
dibagi yaitu, jika orang itu meninggal, maka : hartanya menjadi harta pusaka
yang dimiliki oleh komplek-famili yang dipimpin oleh kepala-famili, dan hanya
ada seorang anak saja yang berhak mewarisi. Harta peninggalan yang tidak dapat
dibagi di golongkan menjadi dua yaitu, mayorat (sistem pewarisan dimana anak
tertua yang menjadi ahli waris) dan kolektif (suatu sistem kewarisan yang
dimana harta pusaka yang dimiliki bersama, yaitu dimiliki oleh keluarga didalam
arti kerabat (famili)).
3. Satu
generasi kegenerasi selanjutnya.
Pada dasarnya yang menjadi ahli
waris dalam hukum adat adalah angkatan (generasi).
4. Tata cara penyelenggaraan pembagian warisan.
Tata cara penyelenggaraannya
pembagian warisan menurut hukum adat meliputi tiga cara yaitu sebagai berikut :
a)
Waris, waris berdasarkan sistem tata
tertib sanak yang terbagi dalam tiga sistem yaitu waris parental, waris
patrilineal, dan waris matrilineal.
b) Hibah, adalah perbuatan hukum yang
dimana seseorang tertentu memberikan sutau barang(kekayaan) tertentu kepada
seseorang yang diingkan, menurut kaidah hukum yang berlaku. Hibah dibagi
emnajdi dua yaitu hibah biasa (pembagian barang milik seseorang yang langsung
diikuti dengan pnyerahan seketika barang), dan hibah wasiat (pembagian barang
milik seseorang yang tidak selalu diikuti penyerahan seketika itu, juga
barang-barang itu kepada yang mendapat barang masing-masing dan abru akan
diserahkan apabila si pemberi sudah meninggal dunai). Dengan kata lain hibah
wasiat berlaku setelah si pemberi meninggal
B. Pembagian
Waris Menurut Adat
Dalam hal pembagiannya yaitu
anak-anak dan atau keturunannya serta janda, seluruh harta menurut pasal 852 BW
harus di bagi sebagai berikut[[5]]
1. Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu
dan janda mendapat masing-masing suatu bagian yang sama, misalnya ada 4 anak
dan janda maka mereka masing-masing 1/5 bagian.
2. Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dahulu, dan
ia mempunyai anak (jadi cucu dari si peninggal warisan), misalnya 4 cucu, maka
mereka semua mendapat 1/5 bagian selaku pengganti ahli waris (plaatsvervulling)
menurut pasal 842 BW. Jadi masing –masing cucu mendapat 1/20 bagian.
Dalam hal ini tidak diperdulikan apakah
anak-anak itu adalah lelaki maupun perempuan, anak tertua atau termuda (zonder
onderscheid van kunne of eerstegeboorte)
Menurut ketentuan Hukum Adat yang
berkembang di dalam masyarakat, secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem
(pembagianya) hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, yaitu[[6]]
1. Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta
warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya
mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut.
Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.
2. Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan
sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan
kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk
Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki
termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.
3. Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka
setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya
masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat di Jawa dan
masyarakat tanah Batak[[7]]
C .Harta Waris Adat
Harta
waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada
warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris
dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu : harta
asal, harta
pemberian, harta
pencaharian, hak
dan kewajiban yang diwariskan.
1. Harta asal
Harta asal adalah harta yang diperoleh
atau dimiliki oleh pewaris sebelum perkawinan yang dibawa kedalam perkawinan,
baik harta itu berupa harta peninggalan maupun harta bawaan.Harta peninggalan
dapat dibedakan harta peninggalan yang tetap tak terbagi dan harta peninggalan
yang dapat dibagi, demikian juga harta bawaan ada harta bawaan di isteri dan
harta bawaan suami.
Harta peninggalan ada harta peningggalan
yang tak terbagi dan harta peninggalan yang dapat dibagi. Dalam pewarisan yang
banyak membawa persoalan adalah harta peninggalan yang tak terbagi, karena
terhadap harta ini ada seolah-olah waris kehilangang haknya untuk memiliki
secara perseorangan atau menguasai secara penuh.Suatu harta peninggalan tidak
terbagi dalam hukum adat kita disebabkan karena sifat dan kedudukan dari harta
itu. Dalam masyarakat bilateral di Jawa, harta peninggalan dapat menjadi harta
peninggalan yang tak terbagi bilamana misalnya seorang janda atau anak-anaknya
yang belum dewasa harus mendapat nafkahnya daripadanya dan pemberian nafkah ini
tidak akan terjamin bila diadakan pembagian.
Di Minangkabau dikenal harta pusaka
tinggi seperti rumah gadang, sawah atau peladangan. Dalam masyarakat
matrilinial ini harta pusaka adalah kepunyaan kaum dimana ibu sebagai pusat
pengusaannya. Harta peninggalan ini tidak mungkin dimiliki secara perseorangan
melainkan secara bersama memilikinya bagi para anggota kerabat dari pihak ibu
tersebut.
Terhadap harta kerabat di Minangkabau
atau di Hitu Ambon penguasaannya dipimpin oleh mamak kepala waris di
Minangkabau, kepala dati di Hitu. Selain faktor-faktor di atas, harta
peninggalan tak terbagi karena harta tersebut hanya diperuntukkan penguasaannya
untuk diurus seperti dalam masyarakat patrilinial beralih-beralih di Bali harta
peninggalan dikuasai oleh anak laki-laki yang tertua yang menggantikan
kedudukan orang tua untuk mengurusi dan memelihara saudara-saudaranya, atau di
Semendo yang menganut sistim matrilinial harta peninggalan hanya dikuasai dan
diurus, tidak dapat dipindah tangankan, pada umumnya banyak harta peninggalan
tetap tinggal tidak dibagi-bagi dan disediakan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan materiil keluarga yang ditinggalkan”. ( R,Soepomo, 1980 :
hlm.81).
Sedangkan
harta peninggalan yang dapat dibagi pada umumnya terdapat pada masyarakat
patrilinial di Batak, dan masyarakat bilateral di Jawa, dan tidak menutup
kemungkinan di daerah-daerah yang harta peninggalan tersebut di atas karena
pergeseran zaman dan merenggangnya sistim kekerabatan harta tersebut dibagi,
namun pada prinsipya tidak dapat dibagi. Demikian
juga di Semende yang menjadi harta yang tak terbagi atau tetap terbagi-bagi
hanya harta tunggu tubang saja, sedangkan harta diluar harta tubang dapat
dibagi. Harta yang dapat dibagi biasanya merupakan harta pencaharian atau harta
bawaan.
Harta bawaan adalah harta yang dimiliki
oleh suami atau isteri sebelum perkawinan. Oleh sebab itu dibagi antara harta
bawaan suami dan harta bawaan isteri. Harta bawaan itu ada yang terikat dengan
kerabat dan ada yang tidak terikat dengan kerabat. Harta bawaan yang terikat
dengan kerabat seperti harta pihak suami yang dibawa pihak suami yang dibawa ke
tempat kediaman isterinya (matrilokal) dalam masyarakat matrilinial di
Minangkabaum harta yang diberikan kepada anak perempuan selagi masih gadis di
Batak yang dibawa menetap di tempat kediaman suaminya (patrilokal) yang
dinamakan tano atau saba bangunan. Harta bawaan yang tidak terikat dengan kerabat, karena harta itu hasil
pencaharian si suami selagi masih bujang (harta pembujangan, Sumatera Selatan),
harta penantian bagi si isteri semasa gadis atau guna kaya di Bali baik harta
perempuan ataupun harta laki-laki. Kedua harta ini dalam
masyarakat kita mempunyai kedudukan yang berbeda sesuai dengan bentuk masyarakat
itu.
2. Harta pemberian
Harta pemberian adalah harta yang
dimiliki oleh pewaris karena pemberian, baik pemberian dari suami bagi si
isteri, pemberian dari orang tua, pemberian kerabat, pemberian orang lain,
hadiah-hadiah perkawinan atau karena hibah wasiat. Harta pemberian
dibedakan dengan harta asal, sebab harta asal telah ada sebelum perkawinan
sedangkan harta pemberian ada setelah perkawinan. Harta pemberian orang tua,
dalam beberapa masyarakat terikat dengan kerabat, seperti harta pemberian si bapak
kepada anak perempuannya sewaktu gadis ini Batak atau selagi anak tersebut
dalam perkawinan (saba bangunan, pauseang, indahan arian), bila si isteri ini
meninggal dan tidak mempunyai anak, maka harta ini akan kembali pada
kerabatnya.
Harta pemberian orang lain, seperti pemberian dari teman sekerja.
Harta pemberian orang lain, seperti pemberian dari teman sekerja.
Bila harta pemberian tersebut ditujukan
kepada salah satu pihak suami-isteri, sama halnya dengan pemberian kerabat
hanya saja motif pemberiannya berbeda. Pemberian kerabat biasanya didasarkan
rasa kasihan, welas asih atau tolong-menolong, sedangkan pemberian orang lain
karena rasa persahabatan dan sebagainya.
3. Harta pencaharian
Harta
pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami-isteri, suami saja atau
isteri saja dalam perkawinan karena usaha dari suami-isteri atau salah satu
pihak. Secara umum harta yang diperoleh dalam perkawinan adalah harta bersama
suami-isteri, tetapi dalam beberapa masyarakat ada harta pencaharian suami
saja, atau harta pencaharian si isteri saja disebabkan bentuk perkawinan dan
sistim kekerabatannya.
Di Minangkabau
harta bersama dikenal harta suarang, di Jawa gono-gini, di Kalimantan harta
perpantanganm di Bugis dan Makasar dikenal cakkara. Harta
bersama dapat bertambah karena harta bawaan, harta pemberian, dan harta lain
yang diperuntukkan untuk keluarga yang diberikan tersebut.
D.
Hukum Waris Adat Patrilineal
Patrilineal adalah suatu adat masyarakat
yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah.
Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat
atau patriari, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patilineal
berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti "ayah", dan linea (bahasa Latin) yang
berarti "garis". Jadi, "patrilineal" berarti mengikuti
"garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah".
Sementara itu patriarkat berasal dari dua kata yang
lain, yaitu pater yang berarti "ayah" dan archein (bahasa Yunani) yang berarti "memerintah". Jadi, "patriari" berarti
"kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki[[8]]".
Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak
laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak
dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan
yang telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian masuk
menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris
orang tuanya yang meninggal dunia. Dalam masyarakat tertib Patrilineal seperti
halnya dalam masyarakat Batak Karo, khususnya, dan dalam masyarakat Batak pada
umumnya[[9]]”. Titik tolak anggapan tersebut, yaitu :
1. Emas kawin (tukur), yang membuktikan bahwa perempuan
dijual;
2. Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan
diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal.
3. Perempuan tidak mendapat warisan;
4. Perkataan “naki-naki” menunjukkan bahwa perempuan adalah
makhluk tipuan, dan lain-lain.
Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas
hanya menunjukkan ketidaktahuan dan sama sekali dangkal sebab terbukti dalam
cerita dan dalam kesusasteraan klasik, kaum wanita tidak kalah peranannya
dibandingkan dengan kaum laki-laki. Meskipun demikian,
kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris pada masyarakat
patrilineal, dipengaruhi pula oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak
perempuan tidak dapat melanjutkan silsilah (keturunan keluarga);
2. Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga.
Anak-anak memakai nama keluarga (marga) ayah. Istri digolongkan ke dalam
keluarga (marga) suaminya;
3. Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua
(ayahnya) sebab ia masuk anggota keluarga suaminya;
4. Dalam adat, laki-laki dianggap anggota keluarga sebagai
orang tua (ibu);
5. Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka
pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak
merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta benda.
Di dalam pelaksanaan penentuan ahli waris dengan
menggunakan kelompok keutamaan maka harus diperhatikan prinsip garis keturunan
yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Pada umumnya masyarakat Bali
menganut susunan kekeluargaan patrilinial, sehingga dalam hukum adat di Bali
terdapat persyaratan-persyaratan sebagai ahli waris menurut I Gde Pudja adalah
:
1. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya
anak pewaris sendiri.
2. Anak itu harus laki-laki.
3. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan
sedarah yang karena hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.
4. Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum
Hindu membuka kemungkinan adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok
ahli waris dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya
yang memenuhi syarat menurut Hukum Hindu[[10]]
Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan
tanpa ada anak laki-laki maka anak perempuan itu dapat diangkat statusnya
sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara perkawinan ambil laki,
sehingga anak perempuan tersebut dapat menjadi sebagai ahli waris dari harta
warisan orang tuanya. Anak angkat berdasarkan hukum waris adat di Bali
dilakukan bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan, sehingga fungsi
anak angkat itu sebagai penerus generasi atau keturunan, agar mantap sebagai
penerus keturunan dan tidak ada keragu-raguan maka pengangkatan anak ini
haruslah diadakan upacara “pemerasan” dan diumumkan di hadapan masyarakat[[11]]
Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk
melepaskan anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang tua kandungnya dan
sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang mengangkatnya. Dalam
sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang meninggal
dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh
selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat
perkawinan suku bersistem patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan
patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki
dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya.
Sifat
masyarakat patrilinial adalah masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis
keturunan melalui garis bapak. Sifat kekeluargaan masyarakat adat ini disebut
juga dengan masyarakat Unilaterial. Pada masyarakat unilaterial diperlakukan
kawin jujur. Pola pembagian harta warisan masyarakat parental adalah :
a.
Yang
berhak mewarisi hanyalah anak laki- laki
b.
Kakek,
jika tidak memiliki anak laki- laki
c.
Saudara
laki- laki, jika kakek tidak ada
D.
Hukum Waris Adat Patrilinial
Di RI hukum waris adat bersifat
pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal
itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi
dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya
adalah, antara lain: Apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut
oleh berbagai suku atau kelompok tersebut, dan apakah hal itu tetap dianut
walaupun mereka menetap di luar daerah asalnya[[12]]
Menguraikan
system hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, kiranya tidak dapat
terlepas dari system kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang
bersangkutan. Demikian pula halnya dengan system hukum adat waris dalam
masyarakat matrilinial di Minangkabau, ini berkaitan erat dengan system kekeluargaan
yang menarik
garis keturunan dari pihak ibu.
Hukum
waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang aktual
dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasannya dan
keunikannya bila dibandingkan dengan system hukum adat waris dari daerah-daerah
lain di Indonesia
ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa system kekeluargaan di Minangkabau adalah
system yang menarik
garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara
laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik
laki-laki maupun perempuan.
Dengan
system tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari
ibunya sendiri, baik untuk harta Pusaka Tinggi yaitu harta yang turun-temurun
dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta yang turun dari
satu generasi.
E. Hukum
Waris Adat Matrilinial
Di RI hukum waris adat bersifat
pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal
itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi
dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya
adalah, antara lain: Apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut
oleh berbagai suku atau kelompok tersebut, dan apakah hal itu tetap dianut
walaupun mereka menetap di luar daerah asalnya
Menguraikan system hukum adat waris dalam suatu masyarakat
tertentu, kiranya tidak dapat terlepas dari system kekeluargaan yang terdapat
dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan system hukum
adat waris dalam masyarakat matrilinial di Minangkabau, ini berkaitan erat
dengan system kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu.
Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa
merupakan masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin
disebabkan karena kekhasannya dan keunikannya bila dibandingkan dengan system
hukum adat waris dari daerah-daerah lain di Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan,
bahwa system kekeluargaan di Minangkabau adalah system yang menarik garis keturunan dari pihak ibu
yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan,
nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan system tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat
menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta Pusaka Tinggi yaitu
harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah
yang harta yang turun dari satu generasi.
F. Hukum
Waris Adat Parental / Bilateral
Sistem
parental ini di Ri dianut di banyak daerah, seperti: Jawa, Madura, Sumatera
Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi,
Ternate, dan Lombok. Berbeda dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya yaitu
sistem patrilineal dan sistem matrilinial, sistem kekeluargaan parental atau
bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli
waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang
sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan
sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan
anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama. Tiga
bentuk sistem kekeluargaan yang sangat menonjol senantiasa merupakan
contoh pembahasan.
Hal
tersebut mungkin didasarkan pada pertimbangan, bahwa di antara ketiga sistem
kekeluargaan itu perbedaannya sangat prinsipil karena seolah-olah sistem
patrilineal merupakan kebalikan dari sistem matrilinial. Kemudian kedua
sistemtersebut dirangkum oleh satu sistem yang mengambil unsur dari kedua
sistem tersebut, yaitu sistem parental atau bilateral.
Hukum
warisan parental atau bilateral adalah memberikan hak yang sama antara pihak laki-laki dan
pihak perempuan, baik kepada suami dan istri, serta anak laki-laki dan anak
perempuan termasuk keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan.
Ini berarti bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama-sama
mendapatkan hak warisan dari kedua orang tuanya, bahkan duda dan janda dalam
perkembangannya juga termasuk saling mewarisi.
Bahkan
proses pemberian harta kepada ahli waris khususnya kepada anak, baik kepada
anak laki-laki maupun anak perempuan umumnya telah dimulai sebelum orang tua
atau pewaris masih hidup. Dan sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat
ini adalah individual artinya bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dari
pemiliknya atau pewaris kepada para ahli warisnya, dan dimiliki secara pribadi.
Sifat
sistem hukum kewarisan adat parental atau bilateral yang pada umumnya di pulau
Jawa, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, sebenarnya dapat dilihat dari beberapa segi; pertama segi jenis kelamin, ini
dapat dibagi dua kelompok, pertama kelompok laki- laki dan kelompok perempuan.
Kedua segi hubungan antara pewaris dengan ahli waris. Dari segi ini juga ada
dua kelompok pertama yaitu kelompok ahli waris karena terjadinya ikatan
perkawinan suami dan istri. Kelompok kedua adalah kelompok hubungan
kekerabatan, karena adanya hubungan darah ini ada tiga yaitu kelompok keturunan
pewaris, seperti anak pewaris, cucu pewaris, buyut pewaris, canggah pewaris dan
seterusnya ke bawah sampai galih asem. Kelompok asal dari pada pewaris, yaitu
orang tua dari pewaris, seperti ayah dan ibu dari pewaris, kakek dan nenek
pewaris, buyut laki-laki dan buyut perempuan pewaris, dan seterusnya ke atas
dari pihak laki-laki dan perempuan. Dan kelompok ketiga adalah hubungan
kesamping dari pewaris, seperti saudara-saudara pewaris, baik laki-laki maupun
perempuan seterusnya sampai anak cucunya serta paman dan bibi seterusnya sampai
anak cucunya, dan siwo atau uwa laki-laki dan perempuan sampai anak cucunya.
Dalam
sistem hukum warisan parental atau bilateral juga menganut keutamaan sebagai
mana sistem hukum warisan matrilinial. Menurut Hazairin ada tujuh kelompok
keutamaan ahli waris parental atau bilateral, artinya ada kelompok ahli
pertama, kelompok ahli waris kedua, kelompok ahli waris ketiga dan seterusnya
sampai kelompok ahli waris ketujuh[[13]]
Dimaksud
kelompok keutamaan disini, ialah suatu garis hukum yang menentukan di antara
kelompok keluarga pewaris, yang paling berhak atas harta warisan dari pewaris,
artinya kelompok pertama diutamakan dari kelompok kedua dan kelompok kedua
diutamakan dari kelompok ketiga dan seterusnya. Sehingga kelompok-kelompok ini
mempunyai akibat hukum, bahwa kelompok pertama menutup kelompok kedua, dan
kelompok kedua menutup kelompok ketiga seterusnya sampai kelompok ketujuh.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampaknya hukum warisan parental itu tidak
terlepas dari sistem kekerbatan yang berlaku, karena kelompok ahli waris itu
menghitungkan hubungan kekerabatan malalui jalur laki-laki dan jalur perempuan.
Sehingga kedudukan ahli waris laki-laki dan perempuan sama sebagai ahli waris
Atas dasar
kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, sehingga perolehan harta
warisannya tidak ada perbedaan, yaitu satu berbanding satu, maksudnya bagian
warisan laki-laki sama dengan bagian perolehan perempuan. Namun dalam
perkembangannya hukum warisan adat parental khususnya di Jawa kelompok
laki-laki dengan kelompok perempuan bervariasi ada dua berbanding satu, artinya
laki-laki mendapat bagian dua bagian dan perempuan mendapat satu bagian. Adanya
variasi itu karena terpengaruh ajaran agama Islam, karena hukum warisan Islam
perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan dua berbanding satu,
artinya laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan perempuan mendapat satu
bagian, (lihat Qur‘an Surat An-Nisa‘ ayat 11 dan 12).
Dengan
adanya perubahan perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan, ini
membuktikan bahwa hukum warisan adat parental khususnya di Jawa telah mendapat
resepsi dari hukum Islam, meskipun dalam praktek belum seluruhnya mayarakat
merecepsi hukum warisan Islam.
Sifat masyarakat parental adalah
masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis keturunan melalui garis ibu
dan garis bapak. Pola pembagian harta waris :
1.
Pertama, jika salah satu meninggal,
harta warisan dibagi menjadi dua, yaitu harta benda asal ditambah setengah
harta benda perkawinan. Ahli warisnya adalah :
a. Semua anak- anaknya (laki- laki atau
perempuan) dengan bagian sama rata,
b.Bila tidak beranak, maka harta benda
bersama jatuh pada yang masih hidup,
c. Bila ada anak, maka harta asal jatuh
pada famili yang tertua dari yang meninggal (orang tua), bila yang tertua tidak
ada, harta asal jatuh pada ahliwaris kedua dari kedua orangtua tersebut
(saudara laki- laki).
2. Kedua, jika keduanya meninggal tanpa
anak, harta benda bersama jatuh pada famili kedua belah pihak.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan penjabaran
definisi dan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Hukum waris perdata Islam adalah suatu bagian dari hukum Islam yang
bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan atau pembagian harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal
dunia (pewaris) kepada orang lain sebagai ahli waris serta penentuan hak
perolehan dari masing-masing ahli waris tersebut.
2.
Hukum waris adat adalah hukum yang mengatur proses penerusan dan peralihan
harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu
masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
3.
Perbedaan antara hukum waris perdata
Islam dengan hukum waris adat yaitu:
a.
Dalam
Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie (bagian mutlak),
sebagaimana diatur dalam hukum waris Islam.
b.
Sistem
hukum kewarisan dalam Islam meliputi tiga aspek bahasan yang utama, yaitu
mengenai penentuan tirkah (harta peninggalan), penentuan ahli waris serta
penentuan besar bagian masing - masing ahli waris berdasarkan Al Quran dan
Hadist
c.
Sistem hukum waris adat merupakan sekumpulan hukum yang mengatur
proses pengoperan warisan dari satu generasi selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Yunus,
Mahmud, 1989 Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakartya Agung
Lubis,
Suhrawardi K. dan Komis Simanjutak, 1995, Hukum Waris Islam Lengkap dan
Praktis, Jakarta: Sinar Grafika.
Basyir,
Ahmad Azhar, 2001, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Edisi Revisi, UII Press.
Al-Siddieqy,
Hasby, 2001, Fiqihul Mawaris, cet-2, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Rahman,
Fatchur, 1971, Ilmu Mawaris¸ Bandung: PT. Alma’arif.
Ali,
Mohammad Daud, 1998, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesi,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Al
Kahlani, Muhammad Ibn Ismail, tth., Subulus Salam, Juz 3, Bandung: Dahlan.
Rafiq,
Ahmad, 2000, Hukum Islam di Indonesia, Cet. Ke-4, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum
Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII Press,2005).
Asri
Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Eman Suparman, Hukum Waris RI dalam Perspektif Islam Adat
dan BW, (Bandung: Refika Aditama, 2005).
I Gde Pudja Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila
dan Ajaran Hindu Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama INDONESIA, (selanjutnya disingkat I
Gde Pudja I).
[[11]
] http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FHS1HUKUM/207711066/BAB%20II.pdf, hal. 17, 06-11-2013,
07.10 WIB
[[12]] Asri Thaher,
S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis. Universitas
Diponegoro. Semarang. Hal. 4
Post a Comment