MAKALAH
PERNIKAHAN DINI
Keterangan :
untuk download makalah ini anda bisa download di link dibawah :
------------------------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Isu pernikahan
dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini dipicu oleh pernikahan Pujiono Cahyo
Widianto, seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren dengan Lutviana Ulfah.
Pernikahan antara pria berusia 43 tahun dengan gadis belia berusia 12 tahun ini
mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. Bahkan dari para
pengamat berlomba memberikan opini yang bernada menyudutkan. Umumnya komentar
yang terlontar memandang hal tersebut bernilai negatif.
Di sisi lain, Syeh
Puji, begitu ia akrab disapa berdalih untuk mengader calon penerus
perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena dianggap masih murni
dan belum terkontaminasi arus modernitas. Lagi pula dalam pandangan Syeh Puji,
menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama.
Sebenarnya kalau kita
mau menelisik lebih jauh, fenomena pernikahan dini bukanlah hal yang baru di
Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat yakin bahwa mbah buyut kita
dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur. Bahkan—jaman dulu—pernikahan di
usia ”matang” akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Perempuan
yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim
disebut perawan kaseb.
Namun seiring
perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang
melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah
di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu
dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus kreativitasnya serta
mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
BAB II
PENJELASAN
A.
Arti Pernikahan Dini
Istilah
pernikahan dini adalah kontenporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni di awal
waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluarsa.
Pernikahan Dini
adalah Agar tidak melebar dari tujuan utama penulisan ini, mengingat banyaknya
definisi ‘usia dini’ dalam ungkapan ‘pernikahan dini’ maka penulis membatasi
definisi ‘pernikahan dini’ sebagai sebuah pernikahan yang dilakukan oleh mereka
yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk menikah dalam Undang-Undang
Perkawinan nomor 1 tahun 1974, yaitu minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19
tahun untuk laki-laki.
a.
Pernikahan Dini menurut Negara
Undang-undang negara
kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab
II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai
umur 16 (enam belas tahun) tahun.
Kebijakan pemerintah
dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan
berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar
siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari sudut pandang
kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak
yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan
dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi
yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat
pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif.
Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun
untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
b.
Pernikahan Dini menurut Agama Islam
Hukum Islam secara
umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan,
harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah
agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim
dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga,
hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan.
Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur
keturunan) akan semakin kabur.
Agama dan negara
terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan
melewati batas minimnal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak
sah. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara
dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh
orang yang belum baligh.
Terlepas dari semua
itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup
oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke
permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi
antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Pendapat yang
digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan dini
(pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan
adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua
hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan
pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah
mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek
historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi
pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu
Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa
ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas
pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil
interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa
Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan
dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama
menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum
Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas
dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di
bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.
Imam Jalaludin
Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya.
Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat
ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika
(diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.
Hadis Nabi kedua berbunyi,
”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia
12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut
dibebankan atas orang tuanya”.
Pada hakekatnya,
penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang
dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma
agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap
kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan
betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat
penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan
negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian
mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu
legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak ?
B. Faktor yang menyebabkan terjadinya
pernikahan dini
Praktek
pernikahan dini dipengaruhi oleh budaya lokal. Sekalipun ada ketetapan
undang-undang yang melarang pernikahan dini, ternyata ada juga fasilitas
dispensasi.
Misalnya Sutik
perempuan asal Tegaldowo, Rembang Jawa Tengah, pertama kali dijodohkan
orangtuanya pada usia 11 tahun. Kuatnya tradisi turun temurun membuatnya tak
mampu menolak. Terlebih lagi, Sutik belum mengerti arti sebuah pernikahan.
Sutik adalah satu dari sekian banyak perempuan di wilayah Tegaldowo, Rembang,
yang dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Kuatnya tradisi memaksa
anak-anak perempuan melakukan pernikahan dini.
Maraknya tradisi pernikahan
dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos anak
perempuan. Seperti diungkapkan Suwandi, pegawai pencatat nikah di Tegaldowo,
Rembang Jawa Tengah, ”Adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang
ngelamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak
laku-laku”.
Fenomena pernikahan
diusia anak-anak menjadi kultur sebagian masyarakat Indonesia yang masih
memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas ke-2. Para orang tua ingin
mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi, sosial anggapan tidak
penting pendidikan bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status
perawan tua.
C. Dampak pernikahan dini
(perkawinan di bawah umur)
Baru saja kita
mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi anak
perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian
khalayak karena merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya,
perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan
anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau
perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan
dibawah umur dapat dikemukakan sbb.:
1. Dampak terhadap hukum
Adanya
pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal
7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Pasal
6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.
b. UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Pasal
26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik dan
melindungi anak
b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat dan minatnya dan;
c. mencegah terjadinya perkawinan pada
usia anak-anak.
c. UU No.21 tahun 2007 tentang
PTPPO
Patut
ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak
yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi
anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang
serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua
melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut
harus dilakukan untuk melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa
dan orang tua. Sesuai dengan 12 area kritis dari Beijing Platform of Action,
tentang perlindungan terhadap anak perempuan.
2. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam
proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks
dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika
dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang
akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut
dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam
hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan
pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
Dokter spesialis obseteri dan ginekologi dr Deradjat
Mucharram Sastraikarta Sp OG yang berpraktek di klinik spesialis Tribrata Polri
mengatakan pernikahan pada anak perempuan berusia 9-12 tahun sangat tak lazim
dan tidak pada tempatnya. ”Apa alasan ia menikah? Sebaiknya jangan dulu
berhubungan seks hingga anak itu matang fisik maupun psikologis”. Kematangan
fisik seorang anak tidak sama dengan kematangan psikologisnya sehingga meskipun
anak tersebut memiliki badan bongsor dan sudah menstruasi, secara mental ia
belum siap untuk berhubungan seks.
Ia memanbahkan, kehamilan bisa saja terjadi pada anak usia
12 tahun. Namun psikologisnya belum siap untuk mengandung dan melahirkan. Jika
dilihat dari tinggi badan, wanita yang memiliki tinggi dibawah 150 cm
kemungkinan akan berpengaruh pada bayi yang dikandungnya. Posisi bayi tidak
akan lurus di dalam perut ibunya. Sel telur yang dimiliki anak juga
diperkirakan belum matang dan belum berkualitas sehingga bisa terjadi kelainan
kromosom pada bayi.
3. Dampak psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang
hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam
jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang
berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya.
Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh
pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta
hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
Menurut psikolog dibidang psikologi anak Rudangta Ariani
Sembiring Psi, mengatakan ”sebenarnya banyak efek negatif dari pernikahan dini.
Pada saat itu pengantinnya belum siap untuk menghadapi tanggungjawab yang harus
diemban seperti orang dewasa. Padahal kalau menikah itu kedua belah pihak harus
sudah cukup dewasa dan siap untuk menghadapi permasalahan-permasalan baik
ekonami, pasangan, maupun anak. Sementara itu mereka yang menikah dini umumnya
belum cukup mampu menyelesaikan permasalan secara matang”.
Ditambahkan Rudangta, ”Sebenarnya kalau kematangan
psikologis tidak ditentukan batasan usia, karena ada juga yang sudah berumur
tapi masih seperti anak kecil. Atau ada juga yang masih muda tapi pikirannya
sudah dewasa”. Kondisi kematangan psikologis ibu menjadi hal utama karena
sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak di kemudian hari. ” yang namanya
mendidik anak itu perlu pendewasaan diri untuk dapat memahami anak. Karena
kalau masik kenak-kanakan, maka mana bisa sang ibu mengayomi anaknya. Yang ada
hanya akan merasa terbebani karena satu sisi masih ingin menikmati masa muda
dan di sisi lain dia harus mengurusi keluarganya”.
4. Dampak sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya
dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada
posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi
ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang
sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan
melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan
terhadap perempuan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur lebih bayak mudharat dari
pada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan
untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau
harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.
Namun dilain pihak permasalahan
pernikahan dini tidak bisa diukur dari sisi agama terutama dari sisi agama
Islam. Karena menurut Agama Islam jika dengan menikah muda mampu
menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan maka menikah
adalah alternatif yang terbaik. Namun jika dengan menunda pernikahan sampai
usia matang mengandung nilai positif maka hal ini adalah lebih utama
DAFTAR PUSTAKA
1. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
2. Yusuf Fatawie, Santri Lirboyo Kediri,
Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara. http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/islam-kontenporer/124 tanggal 21 September 2010
3. Kementrian Negara Pemberdayaan
Perempuan/Deputi Perlindungan Anak, Dampak Pernikhan Dini (Perkawinan Muda)
4. Abdul Bukhari Irwan Ibnu Abas, SS,
M,Hum, Pernikahan Dini, http://www,wahdah.or.id/wahdah-Wahdah Islamiyah tanggal 18 Desember
2003
5. Noni Arni, Kuatnya Tradisi, Salah Satu
Penyebab Pernikahan Dini, Sosial Budaya tanggal 16 November 2009
6. Warta kota, Kiai Nikahi ABG, Secara
Medis Membahayakan, tanggal 24 Oktober 2008
7. Chaerunnisa, Ketahui Resiko Pernikanan
Dini, Yuk !, http://www.Okezone.com tanggal 29 Oktober 2008
Post a Comment