MAKALAH K.H. ABDURRAHMAN WAHID “ISLAM KOSMOPOLITAN”

Posted by GLOBAL MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang
Setelah meluncurkan buku berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita pada 2006, kini KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama The Wahid Institute menghadirkan kembali sebuah karya yang sangat menarik untuk dibaca
Berbeda dengan karya Gus Dur sebelumnya yang merupakan kumpulan artikel pendek di media massa, buku Gus Dur ini merupakan tulisan-tulisan panjang, reflektif yang ditulis untuk sejumlah jurnal dan seminar. Bagi kita yang mengikuti perkembangan pemikiran Gus Dur dan gaya bertuturnya melalui tulisan, akan dengan cepat mengetahui keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya atas berbagai problem sosial keagamaan.
Satu hal yang sangat khas dari keseluruhan pemikiran Gus Dur yang tercermin dalam buku ini adalah penggunaan khazanah Islam yang hidup dan tumbuh di pesantren sebagai pisau analisis dan perspektif. Hal ini tidak terlepas dari kemampuan Gus Dur menguasai khazanah Islam klasik. Hal inilah yang menyebabkan Gus Dur tetap menjadi Muslim yang otentik meskipun ia bergelut dengan berbagai isu modern. Gus Dur juga tidak terlarut dengan modernitas meskipun sehari-hari Gus Dur bergelut dengan modernitas.

      B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah biografi Abdurrahman Wahid?
2.      Bagaimana pemikiran Abdurrahman wahid?
3.      Apakah yang dimaksud dengan islam kosmopolitan?
4.      Apakah yang menjadi dasar pemikiran Abdurrahman Wahid?

  
     C.    Tujuan
Dengan adanya tulisan ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui riwayat hidup Abdurrahman wahid,mengetahui dan memehami pemikiran Abdurrahman Wahid tentang islam cosmopolitan,dasar-dasar pemikirannya dan dapat menerapkannya dalam kehidupan agama sehari-hari.

BAB II
PEMBAHASAN

      A.    Biografi Gus Dur
Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syamsuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.
Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[1]
Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.

Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya.[2]
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan strok. Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri.[3] Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.[4]

Pemikiran
Titik tolak pemikiran Gus Dur bukan dengan mengagungkan modernisme, tetapi mengkritik modernisme yang diuniversalkan dengan menggunakan pisau tradisionalisme Islam. Dalam konteks ini, ungkapan John L Esposito dan John O Voll dalam buku Makers Contemporary Islam (2001), Gus Dur adalah "modern reformer but not Islamic modernist" (seorang pembaru modern tapi bukan Islam modernis) sangat tepat. Kalimat tersebut bukan sekadar menggambarkan afiliasi kultural dan asal-usul sosial Gus Dur, tetapi juga menggambarkan corak dan tradisi pemikirannya yang tetap setia dengan tradisi pemikiran Islam pesantren. Gaya pemikiran seperti ini tampak jelas ketika Gus Dur menjelaskan soal universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam, sebuah tema yang kemudian dijadikan judul buku ini. Dalam persoalan universalisme Islam misalnya, Gus Dur tidak perlu merujuk secara langsung kepada Al Quran atau hadis, sebagaimana sering digunakan kelompok Islam modernis, tetapi merujuk pada teori dalam ushûl al-fiqh yang disebut dharûriyat al-khamsah (lima hal dasar yang dilindungi agama).
Kelima hal dasar itu adalah, pertama, hifz al-dîn yang dimaknai Gus Dur sebagai keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan berpindah agama.
Kedua, hifz al-nafs, yang dimaknai sebagai keharusan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum. Ketiga, hifz al-aqli, pemeliharaan atas kecerdasan akal. Keempat, hifz al-nasl, keselamatan keluarga dan keturunan. Kelima, hifz al-mâl, keselamatan hak milik, properti dan profesi dari gangguan dan penggusuran di luar prosedur hukum.[5]
Dari penjelasan itu sebenarnya Gus Dur sudah menggunakan term Islam klasik kemudian diberi makna kontekstualnya. Term hifz al-dîn, misalnya, semula sekadar diberi makna memelihara agama, dalam arti orang Islam tidak boleh keluar dari Islam dan memeluk agama lain. Akan tetapi, di tangan Gus Dur, term ini menjadi spirit untuk melakukan pembelaan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Demikian juga dengan term hifz al-aqli, yang dalam fikih klasik selalu dicontohkan dengan larangan meminum minuman keras, tetapi di tangan Gus Dur hifz al-aqli dikaitkan dengan keharusan untuk memelihara dan mengasah kecerdasan.
Dengan demikian, bagi Gus Dur, universalisme Islam itu tercermin dalam ajaran-ajarannya yang mempunyai kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dibuktikan dengan memberikan perlindungan kepada masyarakat dari kezaliman dan kesewenang-wenangan. Karena itu, pemerintah harus menciptakan sebuah sistem pendidikan yang benar, dan ruang untuk memperoleh informasi dibuka lebar.
Dengan memberi makna demikian, konsep universalisme Islam seperti menjadi sangat inklusif dan terbuka dengan berbagai kemungkinan perkembangan modern. Islam juga tampak menjadi agama yang terbuka. Dari sinilah Gus Dur kemudian merumuskan konsep kosmopolitanisme Islam.

      B.     Pengertian Islam Kosmopolitan
Secara bahasa, kosmopolitan dapat dimaknai dengan: 1) mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas, 2) terjadi dari orang-orang atau unsusr-unsur yang berasal dari berbagai bagian dunia. Kosmopolitan mengindikasikan adanya sebuah nilai universal yang dianut dan diyakini oleh masyarakat dalam lingkup yang luas atau bahkan tanpa batas.
Kosmopolitanisme merupakan harapan ideal tentang warga dunia tanpa perbatasan, dan kosmopolitanisme bersumber dari inspirasi pemikiran humanitas rasional, sebuah nilai yang terkandung dalam diri setiap manusia. Clash of civilization atau perbenturan budaya yang pernah dituliskan oleh Huntington menyebabkan manusia saling curiga-mencurigai. Menurut Fathullah Gülen, salah satu upaya menjawab Clash of civilization tersebut adalah dengan dialog. Dengan landasan saling mengakui dan menghargai, dialog dapat digunakan sebagai pijakan dalam menata dunia yang plural, membuka perspektif baru akan adanya penghargaan Islam terhadap nilai-nilai toleransi dengan rekonsiliasi pemikiran-pemikiran agama dengan aturan kehidupan modern.[2]
Harmonisasi antara modernitas dan spiritualitas, serta semangat melayani dan peduli terhadap manusia menjadi kata kunci dari kosmopolitanisme dalam ajaran Fathullah Gülen. Baginya, melayani manusia sama artinya dengan melayani Tuhan. Dengan spiritualitas, Fathullah Gülen memimpikan sebuah nilai-nilai moral yang hidup kembali, kehidupan yang penuh toleransi, saling memahami, dan tercipta kerjasama internasional yang baik. Semua itu akan menghantarkan perdamaian antara umat manusia, serta menjadikan dunia ini tempat persemaian peradaban inklusif yang tunggal.
Kosmopolitanisme dalam ajaran Fathullah Gülen mengisyaratkan adanya keterbukaan pada semua keyakinan dan tradisi agama melalui jalan dialog. Ia menambahkan, dalam proses dialog, bukan perbedaan yang dicari, tapi permasalahanlah yang harus ditemukan. Namun demikian, kecurigaan suatu agama terhadap agama lain akan menghambat proses dialog tersebut, yang pada akhirnya akan menghambat proses menuju perdamaian. Beberapa pilar dalam menegakkan dialog antar agama menurut Fathullah Gülen meliputi love (cinta), compassion(sikap simpati pada orang lain), tolerance (toleransi), dan forgiving (saling memaafkan).
Seorang muslim harus menjauhkan diri dari perilaku merusak dan mengganggu orang lain sepenuh kemampuannya. Kewajiban setiap segmen masyarakat muslim adalah menegakkan rasa aman dan ketentraman. Fathullah Gülen juga menyatakan bahwa muslim sejati adalah wakil perdamaian universal yang paling dapat dipercaya.

      C.    Islam Indonesia
Islam lahir dan berkembang sepenuhnya dalam darah daging sejarah, tidak dalam kevakuman budaya juga tidak dalam berhentinnya peradaban disuatu daerah tertentu, termasuk di Indonesia. Islam datang ke Indonesia sepenuhnya dengan kenyataan bahwa di Indonesia sudah memiliki budaya dan peradaban yang mapan. Namun dalam prosesnya, Islam dapat di terima oleh masyarakat nusantara kala itu dengan terbuka, salah satunya berkat digunakannya budaya atau tradisi masyarakat sebagai pengakomodasi Islam oleh para Walisongo
Penyebaran Islam di nusantara dengan menggunakan pendekatan budaya inilah yang dianggap oleh Yahya Sergio sebagai cerminan Islam yang bijak, yang menggambarkan bahwa Islam tidak menolak budaya lokal. Dia menyebutkan bahwa cara ini memang berbada dengan cara yang dilakukan oleh orang Arab, dan menurutnya cara atau metode yang ditempuh dengan mengunakan pendekatan budaya ini lebih cocok untuk dikembangkan di Italia.[3]
Islam Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan semangat pribumisasi Islam yang pernah digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid. Islam Indonesia adalah Islam yang tetap menampilkan dua komponen yang berbeda secara fleksibel, yaitu Islam dan budaya lokal tanpa manafikan identitas keduanya.[4]  
Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan di akomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Menurut Nurcholis Madjid, nilai-nilai keislaman yang dimiliki oleh Indonesia merupakan harta yang paling berharga bagi bangsa Indonesia. Maka dari itu perlu dijaga orisinilitas kepribadian nasional tersebut sebagai milikan murni nasional.
Sejarah kebangkitan bangsa Indonesia sejak mulai memperjuangkan kemerdekaan sangat besar di pengaruhi oleh keIslaman penduduknya. Setelah merdeka, gejolak untuk mendirikan negara Islam mulai muncul, namun para pemuka Islam yang juga berorientasi pada keindonesiaan tetap memperjuangkan negara Indonesia, bukan negara Islam. Hal itu barangkali tercermin dalam penetapan pancasila sebagai dasar negara Indonesia, dengan pertimbangan multikultur yang ada di Indonesia. Semangat tersebut mencerminkan dengan sesungguhnya Islam Indonesia. Karena pada dasarnya, gagasan pendirian Negara Islam tersebut hanyalah apologetis terhadap ideologi-ideologi barat modern dan apologi legalisme, yang mungkin hanya akan bertahan beberapa saat saja.
Islam pribumi, atau yang dalam hal ini adalah Islam Indonesia, secara umum memiliki karakter yang melekat pada dirinya, yaitu:[5]

1.      Kontekstual
Islam, agama yang shalih li kulli zaman wa makan, yang selalu relevan kapanpun dan dimanamun. Berkenaan dengan hal itu, dan karena perubahan merupakan suatu kepastian, perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk kerja-kerja penafsiran dan ijtihad. Karena hanya dengan begitu, Islam akan mampu terus memperbarui diri dan dinamis dalam merespon perubahan zaman, serta Islam akan mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia yang satu ke sudut yang lain.
sumber :wikipedia.com 



     2.      Toleran
Sikap toleran akan lahir bila pada tahap kontekstualisasi Islam dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kontekstualisasi Islam pada gilirannya akan melahirkan pandangan dan penafsiran bahwa Islam yang beragam (tanpa kehilangan identitas aslinya) bukanlah hal yang menyimpang. Pada tahap inilah akan lahir karakter toleran dalam diri Islam.

3.      Menghargai tradisi
Tradisi merupakan kerangka kehidupan masyarakat, dan nilai-nilai Islam perlu kerangka yang akrab dengan kehidupan pemeluknya. Sebagaimana Islam pada masa Nabi dibangun di atas tradisi yang baik yang membuktikan bahwa Islam tidak selamanya memusuhi tradisi lokal.

4.      Progresif
Realitas kehidupan yang dinamis ditandai dengan semakin berkembangnya zaman mengharuskan Islam menampakkan karakter progresifnya, yaitu dengan tidak menganggap bahwa kemajuan zaman adalah ancaman melainkan suatu hal yang positif dan perlu direspon dengan kreatif dan intens. Dengan begitu, merupakan hal yang sah bilamana Islam berdialog dengan tradisi pemikiran orang lain, termasuk dengan Barat. Jalur isolasi diri sebagai bentuk penolakan terhadap kemajuan zaman ataupun dengan barat merupakan resep paling mujarab untuk makin menjauhkan umat Islam dari kemajuan atau kebangkitan setelah kemundurannya.[6]

5.      Membebaskan
Dalam kenyataan, Islam harus mampu membuktikan bahwa ia adalahrahmatan lil ‘alamin, yang memang dekat dengan permasalahan manusia serta dapat memberi solusi konkrit, bukan hanya berbicara mengenai dosa dan pahala serta alam ghoib. Islam harus peduli dengan fenomena sosial, seperti penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, anarki sosial, dan lain-lain dengan semangat pembebasan agar predikat rahmatan lil ‘alamin tidak hilang darinya.
     D.    Pandangan KH. Abdurrahman Wahid Tentang Islam Kosmopolitan
Islam kosmopolitan dalam pandangan KH. Abdurrahman Wahid merupakan gambaran Islam yang mencerminkan keluasan dan kematangan wawasan serta pandangan dalam keberislaman seseorang. Keluasan dan kematangan tersebut dapat tercermin dalam keterbukaan sikap yang dengan sendirinya akan melahirkan sifat inklusif, toleran, moderat, serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Dengan sifat-sifat tersebut, maka Islam akan mampu mensejajarkan posisi dengan bangsa-bangsa lain dalam menyikapi kemajuan teknologi.[7]
Kebangunan kembali peradaban Islam hanya akan dapat direngkuh apabila kaum muslim bersikap terbuka terhadap perkembangan dunia. Menutup diri sebagai bentuk penolakan dan atau ketidakmampuan kaum muslim dalam menyikapi perkembangan dunia sebagaimana disebutkan oleh Gus Dur justru akan memperlihatkan kelemahan Islam di mata dunia. Namun demikian, nilai dan prinsip universal dalam Islam harus tetap menjadi dasar atau landasan dalam setiap ekspresi keagamaan kaum muslim dalam merespon perkembangan zaman tersebut.
Dengan demikian, Islam tidak akan kehilangan identitasnya serta mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman sehingga mampu menciptakan kosmopolitanisme peradaban Islam. Selain itu, keberlangsungan tujuan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan statusnya yang shalih li kulli zaman wa makan juga akan tetap terjaga sampai abad modern ini.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpendapat bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam akan mencapai titik optimal manakala terjadi keseimbangan antara kecenderungan normatif dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat. Implikasinya terhadap konsep pendidikan Islam adalah keharusan adanya keseimbangan dalam pembelajaran pengetahuan agama yang akan melahirkan kecenderungan normatif dan pengetahuan umum yang ditandai dengan kebebasan berfikir, baik dalam penekanannya maupun dalam pendalamannya.
Keseimbangan tersebut pada hakikatnya juga merupakan pengembangan dari dua dimensi yang dimiliki manusia, yaitu dimensi qolbiyah dan dimensi aqliyah. Keharusan adanya keseimbangan pembelajaran tentunya mengharuskan pula adanya lembaga yang mengajarkan keseimbangan tersebut secara adil.
Melihat kenyataan pendidikan di Indonesia sekarang ini, sebenarnya terdapat dua pilihan yang bisa diterapkan, yaitu:
1.      Lembaga formal atau sekolah umum dengan mengasramakan peserta didiknya. Di dalam asrama, peserta didik diberi pelajaran yang berkaitan dengan norma-norma agama, sedangkan di sekolah peserta didik hanya belajar pengetahuan umum. Namun harus diperhatikan, pembelajaran dan pendalaman kedua jenis pengetahuan ini harus dilakukan secara seimbang.
2.      Pesantren dengan pembaruannya. Artinya, pesantren diperbarui sistemnya dengan memasukkan sekolah umum di dalam system pendidikan pesantren tanpa kehilangan substansi pendidikan agama Islam yang menjadi ciri khas pesantren selama ini. Dengan sistem ini, tidak perlu lagi sistem madrasah. Sekolah umum khusus mengajarkan pengetahuan umum bagi peserta didik atau santrinya, sedangkan pesantren tetap berfungsi seperti biasa dengan keseimbangan penekanan serta pendalaman diantara keduanya.

Dari kedua pilihan tersebut di atas, pesantren dengan pembaruannya akan lebih mudah untuk di realisasikan serta lebih efektif dalam rangka menciptakan keseimbangan tersebut di atas. Selain karena pesantren adalah lembaga pendidikan tertua sekaligus paling asli di Indonesia, pesantren juga merupakan lembaga yang dinamis dan lentur, yang memungkinkan mudahnya sekolah umum masuk dalam sistem pesantren.
Keunggulan lain adalah dengan sistem 24 jamnya, serta pendidikan keagamaan yang selama ini menjadi garapannya, pesantren dengan pembaruannya ini akan lebih optimal dalam rangka menciptakan generasi yang unggul secara intelektual, berkarakter, serta terpuji moralnya. Dalam sistem pesantren yang baru ini, serangkaian pembelajaran yang lazim digunakan dalam pesantren dapat digunakan sebagai komponen pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Namun perlu adanya sentuhan pambaruan dalam hal tujuan, kurikulum dan metode pembelajarannya, serta penyesuaian antara ketiganya dengan jenjang serta karakteristik ilmu yang diajarkan.
Kosmopolitanisme Islam sudah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan Islam. Hal ini dibuktikan dengan kebersediaan Islam untuk berinteraksi dan menyerap unsur-unsur lain di luarnya. Keterbukaan itulah yang memungkinkan kaum Muslim selama sekian abad menyerap berbagai macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari peradaban lain. [6]
Kosmopolitanisme peradaban Islam, bagi Gus Dur, muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, heteroginitas politik dan kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. [7] Watak kosmopolitanisme dan universalisme ini digunakan Gus Dur untuk melakukan pengembangan terhadap teologi ahl al-sunnah wa al-jama'ah (aswaja) dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan masyarakat.
Jika selama ini faham aswaja, terutama di lingkungan NU, hanya terkait dengan masalah teologi, fikih, dan tasawuf, bagi Gus Dur, pengenalan aswaja harus diperluas cakupannya meliputi dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat. Tanpa melakukan pengembangan itu, aswaja akan sekadar menjadi muatan doktrin yang tidak mempunyai relevansi sosial.
Dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat yang dimaksud Gus Dur adalah, pertama, pandangan manusia dan tempatnya dalam kehidupan. Kedua, pandangan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan bermasyarakat. Keempat, pandangan hubungan individu dan masyarakat. Kelima, pandangan tentang tradisi dan dinamisasinya melalui pranata hukum, pendidikan, politik, dan budaya. Keenam, pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat. Ketujuh, pandangan tentang asas-asas internalisasi dan sosialisasi yang dapat dikembangkan dalam konteks doktrin formal yang dapat diterima saat ini.[8]
Dengan kerangka pengembangan aswaja yang diajukan Gus Dur ini, terlihat sekali upayanya agar aswaja tidak menjadi doktrin yang baku dan beku, tetapi doktrin yang dinamis. Gus Dur seolah ingin mengatakan kalau aswaja ingin menjadi doktrin yang hidup, tidak ada pilihan lain kecuali dia harus mau berinteraksi secara terbuka dengan perkembangan realitas sosial.

E.     Dasar pemikiran Gus Dur
Buku yang dieditori Agus Maftuh Abegebriel ini dibagi dalam tiga bab. Bab I berisi tulisan-tulisan Gus Dur tentang ajaran, transformasi, dan pendidikan agama. Bab II berisi tentang nasionalisme, gerakan sosial dan antikekerasan, dan Bab III berisi tentang pluralisme, kebudayaan, dan hak asasi manusia. Masing-masing bab dalam buku ini berisi sepuluh tulisan sehingga secara keseluruhan buku ini berisi tiga puluh tulisan Gus Dur yang ditulis pada era 1980-an.
Era ini adalah masa-masa sewaktu tulisan-tulisan Gus Dur sangat reflektif dan tajam sehingga secara substansial buku ini sangat penting untuk dibaca. Dari tulisan-tulisan inilah pembaca akan mengetahui dasar-dasar pemikiran Gus Dur, baik tentang agama, politik, maupun kebudayaan. Prinsip-prinsip pemikiran ini yang terus diperjuangkan Gus Dur hingga sekarang.
Meski demikian, ada beberapa catatan kecil yang penting dikemukakan tentang buku ini. Pertama, tulisan-tulisan Gus Dur yang termuat dalam buku ini bukanlah yang pertama dikompilasi dalam sebuah buku. Bahkan, ada beberapa tulisan Gus Dur yang ada dalam buku ini sudah dipublikasikan dalam buku lain, seperti buku Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan [9] dan Prisma Pemikiran Gus Dur.[10] Entah disadari atau tidak, menyangkut beberapa artikel, dalam buku ini terjadi apa yang oleh ulama ushûl al-fiqh disebut sebagai tahsîl al-hashil, menghasilkan sesuatu yang sudah dihasilkan sebelumnya. Kedua, buku ini akan lebih informatif kalau ditambahkan dengan sumber tulisan, kapan, dan dalam media apa Gus Dur menulis. Sayang, informasi ini tidak ditemukan dalam buku ini.
Ketiga, kesalahan-kesalahan kecil berupa penulisan dan transliterasi juga masih ditemukan di sana sini.
Terlepas dari itu, buku ini penting dibaca bagi peminat kajian Islam, politik, dan kebudayaan. Apalagi kalau pembaca mampu menggabungkan tulisan dalam buku ini dengan dua buku yang saya sebutkan di atas, di situlah akan ditemukan dasar-dasar epistemologis pemikiran Gus Dur


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Secara bahasa, kosmopolitan dapat dimaknai dengan: 1) mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas, 2) terjadi dari orang-orang atau unsusr-unsur yang berasal dari berbagai bagian dunia. Kosmopolitan mengindikasikan adanya sebuah nilai universal yang dianut dan diyakini oleh masyarakat dalam lingkup yang luas atau bahkan tanpa batas.
Islam Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan semangat pribumisasi Islam yang pernah digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid. Islam Indonesia adalah Islam yang tetap menampilkan dua komponen yang berbeda secara fleksibel, yaitu Islam dan budaya lokal tanpa manafikan identitas keduanya.
Islam kosmopolitan dalam pandangan KH. Abdurrahman Wahid merupakan gambaran Islam yang mencerminkan keluasan dan kematangan wawasan serta pandangan dalam keberislaman seseorang. Keluasan dan kematangan tersebut dapat tercermin dalam keterbukaan sikap yang dengan sendirinya akan melahirkan sifat inklusif, toleran, moderat, serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Dengan sifat-sifat tersebut, maka Islam akan mampu mensejajarkan posisi dengan bangsa-bangsa lain dalam menyikapi kemajuan teknologi.
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa titik tolak pemikiran Gus Dur bukan mengagunhkan modernism namun mengkritik modernism dengan pisau tradisionalisme. Menurut Gus Dur dalam persoalan universalisme islam tidak perlu merujuklangsung pada Alquran atau hadis namun merujuk pada ushul fiqh yang disebut dhoruriyat al khamsyah yaitu hifz al din,hifz al nafs, hifz al nasl, dan hifz al mal.
Kosmopolitanisme islam menurut Gus Dur muncul dalam sejumlah unsure seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, heterogenitas polotik dan kehidupan beragama. Kosmopolitanisme digunakan untuk melakukan pengembangan terhadap teologi ahlu sunah wal jama’ah dalam menghadapi perubahan dan tantangan masyarakat.

B.     Kritik dan Saran
1.      Kritik
Jika dipandang dari pengertian islam kosmopolitan sendiri yang mengarah pada suatu keluasan dalam pandangan serta fleksibel dalam segala hal, ini akan memungkinkan terjadinya suatu degradasi nilai-nilai keislaman itu sendiri. Hal tersebut bisa saja terjadi karena islam dalam pandangan ini menuntut untuk bisa mengikuti perkembangan zaman, yang terkadang hal tersebut kurang sesuai dengan ajaran islam.
2.      Saran
Saran dari kami, islam boleh mengikuti perkembangan zaman yang ada saat ini, namun yang perlu diperhatikan, jangan samapai perkembangan zaman menjadikan nilai-nilai islam yang telah perjuangkan sejak dahulu luntur, bahkan hilang sama sekali.


  

DAFTAR PUSTAKA


http://multiply.com
www.Abdurrahman Wahid-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedibebas.htm
Wahid,Abdurrahman.2007.Islam Kosmopolitan : Nilai-Nilai Indonesia Dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta : The wahid Institut
Hafil, Muhammad. “Italia Terpikat Islam Indonesia”, dalam http://m.republika.co.id/berita/koran/news-update/mzv1o-italia-terpikat-Islam-indonesia, diakses pada Minggu, 7 februari 2016 pukul 05:45.
Madjid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan. 2013.
Marzuki, Wahid. “Inspirasi Dari Pemikiran Gus Dur”, www.gusdur.net, dalamwww.google.com, diakses pada senin, 8 februari 2016. Pukul 14.00.
Rahmat, M. Imdadun. Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realita .Jakarta: erlangga. 2003.

Related Post



Post a Comment