MAKALAH STUDI ISLAM DALAM PENDEKATAN HADIST
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadis merupakan salah satu sumber hukum islam yang dijadikan
landasan utama oleh pemeluk islam dalam menjalani kehidupan, selain
Al –Qur’an tentunya sebagai sumber hukum islam pertama.Setiap persoalan yang
muncul di lingkungan individu maupun masyarakat muslim harus merujuk pada
sistem hukum yang ada pada kedua sumber hukum utama tersebut.
Hadis yang keberadaannya dibutuhkan sebagai sumber
tasyri’yang kedua sesudah al-Qur’an, memiliki kedudukan yang sangat strategis
dalam upaya pemahaman ayat – ayat Al-Qur’an , terutama yang bersifat mujmal
seperti halnya perintah salat didapati dalam Al-Qur’an tetapi tidak
dijelaskan tentang tata cara melaksanakanya, banyak rakaatnya, serta
rukun dan syarat – syaratnya. Melalui hadis hal tersebut dapat dijelaskan
secara rinci, sehingga tidak menyulitkan bagi umat Muhammad untuk
melaksanakannya.
Kedudukan hadis lainnya adalah sebagai pengukuh atau penguat
hukum yang telah disebutkan Allah di dalam kitab suci al-Qur’an, sehingga
Al-Qur’an dan hadis menjadi sumber hukum yang saling melengkapi dan
menyempurnakan.
Secara historis, setelah wafatnya nabi Muhammad SAW, maka
keperhatian terhadap hadis terus berkembang dari mulai periwayatan hadis secara
lisan, sampai pemeliharaan terhadap hadis secara berkesinambungan, sebagai
upaya untuk menghempang munculnya hadis –hadis palsu, sehingga keterbutuhan
terhadap studi hadis tidak dapat dipungkiri umat Muhammad SAW.
Dalam makalah ini, penulis berupaya memaparkan tentang studi
hadis, yang pembahasannya meliputi pada pengertian hadis, berbagai istilah
dalam hadis,unsur – unsur pokok hadis, perkembangan awal studi hadis,
pendekatan utama dalam studi hadis,perkembangan modern dan kritik studi hadis
dan referensi utama dalam studi.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas maka rumusan
maslah yang saya ambil disini ialah :
1. Apa
pengertian pendekatan Hadits itu ?
2. Bagaimana
pendekatan hadits dalam study islam ?
3. Bagaimana
pendekatan hadits dalam studi islam?
C.
Tujuan
Dengan rumusan masalah di atas maka tujuan
penulisan makalah ini ialah:
1. Menjelaskan
pengertian pendekatan hadits
2. Menjelaskan
pendekatan hadits dalam study islam
3. Menjelaskan
pendekatan hadits dalam study islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hadits
Hadis adalah sumber
hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Selain sebagai sumber, Hadis juga
berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Alquran. Berdasarkan hal tersebut, maka
kajian tentang Hadis memiliki kedudukan yang penting di dalam studi ilmu-ilmu
sumber dalam Islam.
Sejarah mencatat
bahwa dari tahun ke tahun, sepeninggalnya Rasul saw. Perhatian terhadap Hadis
terus berkembang. Dimulai periwayatan secara lisan, ditulis serta dibukukan,
meng-isnad dan sampai pada klasifikasi dan susunan dari kitab-kitab Hadis.
Seiring dengan perkembangan hal di atas, muncul pula Hadis-Hadis palsu, yang
melatarbelakangi kegiatan pemeliharaan Hadis, sehingga sangat perlu dilakukan
studi Hadis.
Dalam makalah ini
penulis akan mencoba memaparkan tentang studi Hadis. Langkah awal yang akan di
bahas mencakup pada pengertian Hadis, berbagai istilah dalam Hadis, awal mula
berkembang. Pendekatan dan metodologi yang akan digunakan dalam studi Hadis,
ilmu utama dan ilmu bantu dalam studi Hadis, serta referensi klasik dan modern
dalam studi Hadis.
a.
Pengertian
dan Berbagai Istilah Dalam Studi Hadis
Dalam
pembahasan mengenai studi Hadis, ada beberapa pengertian dan istilah yang
terlebih dahulu kita ketahui maksudnya, diantaranya yaitu :
Hadis
Hadis
1.
Secara
etimologi kata Hadis atau al-Hadis berarti al-jadid (sesuatu yang baru) lawan
dari al-qadim (sesuatu yang lama). Jamaknya adalah ahadis. Sedangkan secara
terminologi ahli Hadis dan ahli Ushul berbeda pendapat dalam memaparkan
pengertian tentang Hadis.
Ulama
Hadis mendefenisikan Hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
saw, baik berupa perkataan, perbutan, takrir atau sifatnya.[2] Sementara ulama
Ushul memberikan defenisi Hadis sebagai berikut, “segala perbuatan Nabi saw
yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’.“[3]
Dari
pengertian di atas, baik menurut pengertian ahli Hadis maupun menurut ahli
Ushul, bahwa kedua pengertian tersebut memberikan penjelasan yang terbatas pada
sesuatu yang disandarkan kepada Rasul saw tanpa menyinggung perilaku dan ucapan
sahabat ataupun tabi’in. Dengan kata lain, defenisi di atas adalah rumusan yang
terbatas atau sempit.
2.
Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti jalan dan kebisaan yang baik atau yang jelek.[4] Sedangkan secara terminologi, sunnah adalah segala yang ditinggalkan (diterima) dari Rasul saw, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, tabiat dan budi pekerti, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul seperti di Gua Hira maupun sesudah kerasulannya.[5] Sebagian ulama berpendapat bahwa kata Hadis dan sunnah memiliki pengertian yang sama, yaitu sama-sama segala berita yang bersumber dari Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun takrir Nabi. Pendapat lain mengatakan bahwa pemakaian kata Hadis berbeda dengan sunnah. Kata Hadis dipakai untuk menunjukkan segala berita dari Nabi secara umum. Sedang kata sunnah dipakai untuk menyatakan berita yang bersumber dari Nabi yang berkenaan dengan hukum syara’.
Sunnah menurut bahasa berarti jalan dan kebisaan yang baik atau yang jelek.[4] Sedangkan secara terminologi, sunnah adalah segala yang ditinggalkan (diterima) dari Rasul saw, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, tabiat dan budi pekerti, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul seperti di Gua Hira maupun sesudah kerasulannya.[5] Sebagian ulama berpendapat bahwa kata Hadis dan sunnah memiliki pengertian yang sama, yaitu sama-sama segala berita yang bersumber dari Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun takrir Nabi. Pendapat lain mengatakan bahwa pemakaian kata Hadis berbeda dengan sunnah. Kata Hadis dipakai untuk menunjukkan segala berita dari Nabi secara umum. Sedang kata sunnah dipakai untuk menyatakan berita yang bersumber dari Nabi yang berkenaan dengan hukum syara’.
3.
Khabar
Khabar menurut bahasa berarti an-Naba’ (berita).[6] Yaitu segala berita yang disampiakan oleh seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut terminologi khabar lebih bersifat umum dibanding Hadis, yakni sesuatu yang datang dari Nabi saw atau orang selain Nabi.[7] Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah suatu berita yang datang dari selain Nabi, sedangkan Hadis adalah berita yang bersumber dai Nabi.
Khabar menurut bahasa berarti an-Naba’ (berita).[6] Yaitu segala berita yang disampiakan oleh seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut terminologi khabar lebih bersifat umum dibanding Hadis, yakni sesuatu yang datang dari Nabi saw atau orang selain Nabi.[7] Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah suatu berita yang datang dari selain Nabi, sedangkan Hadis adalah berita yang bersumber dai Nabi.
4.
Asar
Secara pendekatan bahasa, atsar sama artinya denga khabar. Secara istilah Asar merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in yang terdiri dari perkataan dan perbuatan.[9] Ulama Khurasan berpendapat bahwa atsar dipakai untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu’.
Secara pendekatan bahasa, atsar sama artinya denga khabar. Secara istilah Asar merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in yang terdiri dari perkataan dan perbuatan.[9] Ulama Khurasan berpendapat bahwa atsar dipakai untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu’.
5.
Sanad
Sanad menurut bahasa berarti mu’tamad, yaitu tempat bersandar, tempat berpegang yang dipercaya.[11] Dikatakan demikian, karena Hadis itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya.[12] Sedangkan menurut terminologi, sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang meriwayatkan matan dari sumbernya yang pertama.[13] Yang dimaksud dengan silsilah adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi Hadis tersebut, mulai dari yang pertama sampai kepada Nabi saw.
Sanad menurut bahasa berarti mu’tamad, yaitu tempat bersandar, tempat berpegang yang dipercaya.[11] Dikatakan demikian, karena Hadis itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya.[12] Sedangkan menurut terminologi, sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang meriwayatkan matan dari sumbernya yang pertama.[13] Yang dimaksud dengan silsilah adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi Hadis tersebut, mulai dari yang pertama sampai kepada Nabi saw.
6.
Matan
Matan menurut bahasa adalah sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi.[15] Sedangkan secara terminologi, matan berarti lafaz-lafaz Hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu.[16] Dengan demikian matan adalah lafaz Hadis itu sendiri.
Matan menurut bahasa adalah sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi.[15] Sedangkan secara terminologi, matan berarti lafaz-lafaz Hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu.[16] Dengan demikian matan adalah lafaz Hadis itu sendiri.
7.
Rawi
Rawi adalah orang yang meriwayatkan atau orang yang memberikan Hadis. Defenisi lain mengatakan, bahwa rawi adalah orang yang menerima hadis kemudian menghimpunnya dalam satu kitab tadwin. Seorang rawi dapat juga disebut sebagai mudawwin, yaitu orang yang membukukan Hadis.
Rawi adalah orang yang meriwayatkan atau orang yang memberikan Hadis. Defenisi lain mengatakan, bahwa rawi adalah orang yang menerima hadis kemudian menghimpunnya dalam satu kitab tadwin. Seorang rawi dapat juga disebut sebagai mudawwin, yaitu orang yang membukukan Hadis.
b.
Asal Mula
dan Perkembangan Studi hadis
Berbicara
tentang asal mula dan perkembangan Hadis tidak terlepas dari awal mula dan
tumbuh serta berkembangnya periwayatan Hadis itu sendiri. Akan tetapi,
ilmu-ilmu tersebut belum terlembaga menjadi satu disiplin ilmu khusus. Ia
menampakkan dirinya lebih jelas lagi setelah Rasul wafat.
Ketika
itu kaum muslimin merasa perlu adanya usaha untuk memperhatikan Hadis-Hadis
Rasul secara lebih serius dan berhati-hati. Untuk tujuan tersebut mulailah
usaha-usaha penyaringan dan pemilahan riwayat dilakukan. Maka terpisahkanlah
antara Hadis palsu dengan Hadis yang benar-benar bersumber dari Nabi saw.
Namun
demikian. Bukan berarti mereka melalaikan dan tidak menaruh perhatian pada
Hadis. Para sahabat memegang Hadis sebagai sunnah Rasul. Akan tetapi dalam
meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri. Hal ini dilakukan
agar tidak terjadi kekeliruan sehingga hadis terpelihara sebagaimana terpeliharanya
Alquran. Oleh karena itu para sahabat berusaha memperketat periwayatan dan
penerimaan Hadis.
Ketika
Nabi Muhammad saw masih hidup, beliau melarang para sahabat menuliskan apa yang
disampaikannya kecuali itu Alquran. Ini dikarenakan Nabi takut akan tercampur
adukkan antara Hadis dengan Alquran. Namun begitupun, para sahabat tetap
menuliskannya secara diam-diam. Selain itu, satu hal yang merupakan kelebihan
orangArab adalah kekutan ingatan mereka. Kuatnya ingatan inilah yang kemudian
dijadikan salah satu rujukan dalam mengkodifikasikan Hadis pada masa-masa
selanjutnya.
Selain
itu, Allah juga telah menjanjikan dalam sebuah firman-Nya, “wa inna lahu
lahafizun”. Ini bukan hanya berlaku bagi Alquran tetapi juga terhadap Hadis
Nabi saw. Hal ini juga terbukti bahwa sampai hari ini kita dapat menerima
Hadis-Hadis yang disampaikan Nabi pada 15 abad yang lalu. Meski sudah banyak
muncul Hadis-Hadis palsu, tetapi tetap ada usaha dari para ulama untuk memisahkannya
dari Hadis yang shahih.
Pada
masa Khulafaurrasyidin sikap kehati-hatian ditunjukkan dengan meminta diajukan
saksi bagi orang yang akan meriwayatkan hadis, atau terkadang diuji dengan
mengambil sumpahnya. Namun pada masa itu belum ada usaha secara resmi untuk
menghimpun Hadis dalam sebuah kitab sebagaimana halnya Alquran.
Para
khalifah juga banyak meriwayatkan Hadis, namun karena perkembangan politik,
banyak diantara karya mereka yang terabaikan. Selain itu karya-karya mereka
banyak yang tidak dibukukan pada masa itu sehingga sampai sekarang karya mereka
seolah-olah tidak ada. Misanya khalifah ali bin Abi Thalib. Beliau adalah salah
seorang sahabat Nabi yang banyak sekali menerima Hadis dari Nabi, satu hal yang
mengherankan adalah bahwa sampai hari ini jarang dijumpai Hadis yang diperoleh
melalui Ali. Salah satu penyebabnya adalah karena konflik politik antara Ali
dengan Muawiyah yang menyebabkan karena konflik politik sehingga ada “pembunuhan
karakter“.
Pada
abad ke-2 H, yakni pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kekhawatiran akan
hilangnya Hadis dan bercampurnya dengan hadis-Hadis palsu memunculkan inisiatif
khalifah untuk membukukan Hadis tersebut. Akan tetapi pada abad ke-2 ini masih
bercampu antara Hadis Rasul, fatwa sahabat dan tabi’in.
Pada
awal abad ke-3 H, para ahli Hadis mulai berusaha membedakan antara Hadis dengan
fatwa sahabat dan tabi’in, dengan disusun kitab musnad yang bersih dengan
fatwa-fatwa.
Pada
pertengahan abad ke-3, maka mulai dibuat kaedah-kaedah dan syarat-syarat untuk
menentukan suatu Hadis, apakah ia termasuk Hadis dha’if atau shahih. Kitab
Hadis pada masa ini antara lain shahih al-Bukhari oleh Muhammad bin Ismail
al-Bukhari dan Shahih Muslim oleh Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim
al-Qusyairi.
Pada
abad ke-4 ulama mutakhkhirin menyusun kitab Hadis dari kitab-kitab Hadis yang
disusun ulama sebelumnya. Usaha yang dilakukan ulama Hadis pada abad ke-5 dan
seterusnya lebih ditujukan untuk mengklasifikasikan Hadis dan menghimpun
Hadis-Hadis sejenis kandungan atau sifat isinya ke dalam satu kitab Hadis.
Dismping itu juga mereka mensyarah dan mengikhtisar Hadis yang telah ada.
c.
Pendekatan
Utama dan metodologi dalam Studi Hadis
Perhatian
ummat Islam cukup besar terhadap Hadis Nabi saw, sejak masa sahabat mereka
berusaha mengumpulkannya semaksimal mungkin dan menyampaikannya kepada orang
lain sebagaimana mestinya. Oleh karena itu Hadis yang disampaikan tersebut
harus benar-benar terjaga keshahihannya.
Dalam
studi hadis ada beberapa pendektan dan metodologi yang ditempuh, yakni
pendekatan dari segi sanad dan matan. Kedudukn sanad dalam riwayat Hadis sangat
penting. Apabila sebuah berita dikatakan seseorang sebagai Hadis, jika tidak memiliki
sanad, maka ulama Hadis tidak dapat menerimanya.
Penelitian
matan pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan dari segi kandungan Hadis
dengan menggunakan rasio, sejarah dan prinsif-prinsif ajaran Islam. Pendekatan
sanad dilakukan karena keadaan dan kualitas sanad merupakan hal yang pertama
diperhatikan dan dikaji oleh para ulama Hadis dalam melakukan penelitian.
d.
Ilmu
Utama dan Ilmu Bantu dalam Studi Hadis
Dalam
mempelajari ilmu-ilmu Hadis kita mengenal berbagai macam ilmu. Diantaranya :
1.
Ilmu Hadis
Riwayah
Kata
riwayah artinya periwayatan atau cerita. Secara terminology yang dimaksud
dengan Hadis riwayah adalah suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara
penukilan, pemeliharaan dan pendewanan apa-apa yang disndarkan kepada Nabi
Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ikrar dan lain sebagainya.[18]
Dengan kata lain, ilmu Hadis riwayah adalah ilmu tentang Hadis itu sendiri.
Perintis pertama dari Hadis riwayah ini adalah Muhammad bin Shihab az-Zuhri[19],
wafat pada tahun 124 H.
2.
Ilmu Hadis
Dirayah
Ilmu
Hadis dirayah adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan,
syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan
para perawi baik syarat-syaratnya, macam-macam Hadis yang diriwayatkan dan
segala yang berkaitan dengannya.[20] Dengan kata lain ilmu Hadis dirayah
merupakan kumpulan kaedah untuk mengetahui dan mengkaji permasalahan sanad dan
matan dan yang berkaitan dengan kualitasnya. Ilmu ini mulai dirintis dalam
garis-garis besar sejak pertengahan abad ke-3. Kemudian sekitar abad ke-4 ilmu
ini dibukukan sejajar dengan ilmu-ilmu lain.
Ilmu Hadis riwayah dan ilmu Hadis dirayah merupakan ilmu utama yang digunakan dalam studi Hadis.
Ilmu Hadis riwayah dan ilmu Hadis dirayah merupakan ilmu utama yang digunakan dalam studi Hadis.
3.
Ilmu
Rijal al-Hadis
Ilmu
Rijal al-Hadis adalah ilmu untuk mengetahui para perawi Hadis dalam kapasitas
mereka sebagai perawi Hadis
4.
Ilmu
‘Ilal al-Hadis
Ilmu
‘ilal al-Hadis adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang dapat
mencacatkan keshahihan hadis, seperti mengatakan bersambung pada Hadis
munqathi’, mengatakan marfu’ pada Hadis mauquf, memasukkan Hadis ke dalam Hadis
lain dan sebagainya.
5.
Ilmu
Jarh wa Ta’dil, yaitu ilmu yag membahas hal ihwal para perawi dari segi
diterima atau ditolak periwayatannya.
6.
Ilmu
Gharib al-Hadis, yakni ilmu pengetahuan untuk megetahui lafaz-lafaz dalam matan
Hadis yang sulit dipahami karena jarang sekali digunakan.
7.
Ilmu
Asbab al-Wurud, yaitu ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab lahirnya
Hadis.
8.
Ilmu
Nasikh wa mansukh yaitu ilmu yang membahas Hadis-Hadis yang saling berlawanan
maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat
pada sebahagiannya, karena ia sebagai nasikh terhadap hukum lain. Karena itu
Hadis yang mendahuluinya disebut sebagai mansukh dan Hadis terkhir sebagai
nasikh.
9.
Ilmu
Mukhtalif al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas Hadis-Hadis yang menurut lahirnya
saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan.
e.
Perkembangan
Modern dan Kritik Studi Hadis
Sebenarnya
kritik Hadis telah dilakukan sejak dahulu, yakni dengan menyelidiki otentisitas
berita yang bersumber dari Nabi saw. Hanya saja kritik yang dilakukan hanya terbatas
pada kritik matan saja.
Kriteria
otentisitas Hadis dirumuskan kemudian dengan menetapkan bahwa Hadis dikatakan
otentik apabila memenuhi empat syarat, yaitu diriwayatkan dengan sanad yang
bersambung, sanad dari orang yang takwa dan kuat ingatannya, materi Hadis tidak
berlawanan dengan Alquran dan hadis lain yang lebih unggul kulitasnya dan tidak
mengandung unsur-unsur kecacatan. Persyaratan tersebut yang diterapkan ahli
Hadis dalam menyeleksi dan mengkritik hadis sejak abad pertama sampai pada abad
ke-13 H.
Satu
hal yang mengherankan adalah bahwa banyak diantara para orientalisme yang belomba-lomba
untuk mengkaji Islam, salah satunya adalah studi tentang Hadis. Hal yang patut
dipuji dan dicontoh sebenarnya, karena para orientalis ini begitu tekun dan
uletnya meneliti tentang Islam. Namun ada satu hal yang juga harus diperhatikan
bahwa dalam meneliti tentang Islam, tujuan mereka bukan hanya semata-mata untuk
mengetahui atau untuk memperoleh ilmu pengetahuan sekaligus untuk menambah
khazanah keilmuan, tetapi lebih dari itu seringkali para orientalis ini
meneliti tentang Islam dengan tujuan untuk mengetahui kelemahan Islam sendiri.
Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh orientalis Goldziher dan
Schacht.
Pada
tahun 1980 Masehi, dunia penelitian Hadis dikejutkan dengan munculnya metode
baru dalam kritik hadis, yakni setelah terbitnya buku yang berjudul
Muhammadanische Student yang ditulis oleh Ignaz Goldziher dan Joseph Schacth
dengan teori projecthing back-nya, dimana mereka menolak otentisitas Hadis
seperti yang telah disebutkan di atas.
Back
Goldziher mupun Schacth berpendapat bahwa Hadis bukan berasal dari Muhammad
saw, melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua. Dengan kata
lain, Hadis merupakan hasil karya para ulama abad pertma dan kedua Hijrah.
Ulama-ulama
kontemporer mnyangkal teori Goldziher maupun schacth. Mereka adalah as-Sunnah
Muhammatuhu fi at-Tasyri al-Islam, Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya
as-Sunnah Qabla at-Tadwin. Dan Muhammad Musthafa Zami dalam bukunya Studies in
Early Hadisth Literature. Referensi klasik dan modern dalam studi Hadis.
Pada
masa tabi’in ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu Hadis adalah
Muhammad bin Shihab az-Zuhri pada perkembangan berikutnya, kaedah-kaedah
tersebut dikembangkan oleh ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga
Hijriyah. Kemudian lahir ulama Mudawwin Hadis, Malik bin Anas, al-Bukhari,
Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibn Majah, namun karya mereka masih
dalam bentuk-bentuk risalah.
Dalam
sejarah perkembangan Hadis, ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu
Hadis dalam satu disiplin ilmu secara lengkap adalah ulama Sunni yang bernama
al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abdur rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w. 360).
Selain
ar-Ramahurmuzi terdapat al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi dengan kitabnya
Ma’rifah Ulum al-Hadis. Di samping kitab-kitab klasik di atas, kitab-kitab
modern di atas dapat dijadikan referensi dalam studi Hadis diantarannya kitab
Ulum al-Hadis wa Musthalah oleh Subhi as-Shalih, Muhammad Ajjaj al-Khatib
dengan kitabnya Ushul al-Hadis : Ulumuhu wa Musthalahuhu, Tadrib ar-Rawi fi
Syarah Taqrib an-Nawawi oleh as-Suyuti dan lain-lain.
B. Perkembangan Modern dan
Kritik Studi Hadis
Perlunya kajian ulang terhadap hadis adalah sebagai wujud
optimalisasi proses dinamisasi pemikiran keagamaan islam sekarang.,seperti yang
pernah mewarnai kehidupan para sahabat, tabi’un dan tabi’u al tabi’in. Namun
karena al-kutub al sittah sebagai yang mewakili hadis sudah sangat terpatri
sebagaimana terpatrinya al Qur’an dalam Mushaf Ustman.Maka tanpa disadari
terjadilah apa yang disebut pembakuan dan pembekuan terhadap hadis.
Komitmen ini tentu mengakibatkan terjadinya penghambatan terhadap
pengembangan pemikiran hadis dan pemikiran keagamaan secara lebih
luas lagi.
Era modernisasi, teknologi dan informasi yang begitu cepat,mengandaikan urgensitas kajian ulang terhadap proses pentadwinan hadis, tanpa perlu menghilangkan otentisitas spiritual islam yang bersumber dari Qur’an dan sunnah.
Era modernisasi, teknologi dan informasi yang begitu cepat,mengandaikan urgensitas kajian ulang terhadap proses pentadwinan hadis, tanpa perlu menghilangkan otentisitas spiritual islam yang bersumber dari Qur’an dan sunnah.
Sebenarnya konsep “shalihun likulli zaman wa makan”lebih
menunjukan fleksibilitas dan elastisitas ajaran bukan ortodoksi yang ketat dan
kaku.
Sikap kritis dan menela’ah proses perkembangan dan pertumbuhan hadis bukanlah bermaksud untuk melepaskan sendi- sendi keislaman, tetapi lebih memberi ruang dan gerak yang lebih fleksibel dan dinamis, serta memberi kesempatan berkembangnya islam dimasa yang akan datang. Kendatipun demikian, studi kritis tentang hadis di dunia pemikiran islam tersendat –sendat karena adanya kekhawatiran yang berlebihan dari umat akan divonis sebagai “inkar al-sunnah “.
Sikap kritis dan menela’ah proses perkembangan dan pertumbuhan hadis bukanlah bermaksud untuk melepaskan sendi- sendi keislaman, tetapi lebih memberi ruang dan gerak yang lebih fleksibel dan dinamis, serta memberi kesempatan berkembangnya islam dimasa yang akan datang. Kendatipun demikian, studi kritis tentang hadis di dunia pemikiran islam tersendat –sendat karena adanya kekhawatiran yang berlebihan dari umat akan divonis sebagai “inkar al-sunnah “.
Padahal inti persoalan adalah bagaimana
menghubungkan ajaran dan normativitas Qur’an dan sunnah. Studi kritik
hadis sebenarnya sudah dimulai oleh sarjana muslim yang pakar hadis atau
al-muhadditsun.Kegiatan ini bertujuan untuk memveifikasi mata rantai isnad
secara historis. Studi kritik hadis muncul akibat adanya kontroversi dan
perbedaan pandangan antar kaum Sunni,Syiah,dan Khawarij dalam hal
keabsahan hadis. Pengontrolan hadis dilakukan oleh kelompok –kelompok
tersebut dianggap sebagai faktor yang mengkondisikan bagi keabsahan otoritas
khilafah yang kemudian mendapat tentangan dari syi’ah dan khawarij.
Salah satu pendekatan ilmu yang dilakukan oleh para kritikus
hadis adalah dengan metode jarh dan ta’dil dalam mengkritisi sanad.
Dengan ilmu ini kemudian dapat dibedakan martabat sebuah hadis.Ilmu ini sangat
berperan dalam memelihara hadis.
Jarh secara bahasa berarti luka atau aib. Sedangkan secara
istilah adalah tersifatinya seorang rawi dengan sifat-sifat tercela
seperti kadzab,su’al hifz,mukhtalath,ghairu ma’mun,dan lain
–lain. Ta’dil atau ‘adl secara bahasa adalah watak untuk menghindari
dosa.
Sedangkan ta’dil secara istilah ialah tersifatinya seorang
perawi yang mengarah pada diterimanya periwayatan. Maka secara
kumulatif defenisi jarh dan ta’dil adalah sebagai berikut ;
1. Jarh adalah suatu sifat
dimana rawi dan persaksiannya dianggap jatuh dan batal dalam
pengamalannya
2. Ta’dil adalah suatu
sifat dimana rawi dan persaksiannya diterima. Ilmu kritik ini
dikembangkan dengan tujuan utamanya adalah :
a. Untuk mengetahui dengan
pasti otentisitas suatu riwayat.
b. Untuk menetapkan
validitasnya dalam rangka memantapkan suatu riwayat.
c. Budaya kritik hadis yang
dibangun oleh para ulama merupakan wujud kesadaran sejarah yang kuat
dikalangan umat islam. Dengan kesadaran inilah kebenaaran sejarah akan mampu
menepis setiap bentuk penyimpangan (bid’ah) dari ajaran yang
sebenarnya di masa yang akan datang. Sehingga kemurnian islam khususnya yang
disampaikan oleh nabi Muhammad SAW akan tetap abadi hingga akhir zaman. Hal ini
karena wacana kritik hadis yang diwariskan ulama, sesungguhnya amat
menarik untuk dikaji lebih lanjut, terutama dalam rangka kritik hadis yang
dilakukan oleh orientalis yang meragukan konsep hadis.
C. Referensi Utama Dalam Studi
Hadis.
Ketika ulama mutakhirin, antara lain Al- Hazimi mulai
termasyhur dikalangan masyarakat, maka mereka memepromosikan lima kitab
induk hadis
(Al-Kutub Al Khamsah)sebagai referensi utama dalam mempelajari dan menela’ah hadis. Lima kitab yang dikategorikan sebaga Al-Ushulul Al Khamsah tersebut adalah, Shahih Al Bukhari,Shahih Muslim,Sunan Abu Daud,Jami’ Al Turmudzi dan sunan
(Al-Kutub Al Khamsah)sebagai referensi utama dalam mempelajari dan menela’ah hadis. Lima kitab yang dikategorikan sebaga Al-Ushulul Al Khamsah tersebut adalah, Shahih Al Bukhari,Shahih Muslim,Sunan Abu Daud,Jami’ Al Turmudzi dan sunan
Nasai. Kemudian diantara ulama mutaakhiran lainnya,
yaitu Sunan Ibn Majah menjadi kitab pokok, sehingga sebutannya ditambah
satu lagi menjadi kutubu al sittah.Diantara ulama yang yang menambahkan menjadi
kutub al sittah adalah Abu Al Fadl Ibn Thahir Abdul ghani Al-Maqdisi, dan
selanjutnya dipopulerkan Al-Mizi.
Al –Khajraji dan Ibn Hajar Asqalani. Namun beberapa
ulama yang meyakini bahwa Al-Muwaththa lebih layak menjadi kitab
yang keenam.Namun Ibn Hajar Al-Asqalani tetap meyakini bahwa bahwa Sunan Ibn
Majah sebagai Kitab pokok.
Dari kutub al-sittah tersebut, satu sama lain berbeda
martabat.Secara bertingkat martabat kitab hadis tersebut ialah Shahih
Al-Bukhari,Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Al-Turmudzi,Sunan Al- Nasa’i
dan Sunan Ibn Majah.
Namun selain 6(enam )nama besar ulama hadis tersebut diatas, ada empat ulama besar lainnya yang berperan dalam pelestarian hadis,dari proses pengumpulan, penyeleksian hingga menghasilkan kumpulan hadis.Mereka itu adalah Umar Ibn Abdul Al-Aziz,Amarah Binti Abd al-Rahman dan Ahmad Ibn Hanbal.
Dalam sejarah perkembangan hadis, ulama yang pertama sekali berhasil menyusun ilmu hadis dalam satu disiplin ilmu secara lengkap adalah ulama Sunni yang bernama al –Qadi Abu Muhammad al –Hasan bin Abdurrahman bin Khalad al-Ramahurmuzi. Selain itu terdapat Al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi dengan kitabnya Ma’rifah Ulum al Hadis.Disamping kitab- kitab klasik diatas, kitab kitab modern dapat dijadikan referensi dalam studi hadis diantaranya kitab Ulum al-Hadis wa Musthalah oleh Subhi as-Shalih,Muhammad Ajjaj al-Khatib dengan kitabnya Ushul al Hadis :Ulumuhu wa Musthalahuhu,Tadribal-rawi fi Syarah al Nawawi oleh Al-Suyuti dan lain lain.
Namun selain 6(enam )nama besar ulama hadis tersebut diatas, ada empat ulama besar lainnya yang berperan dalam pelestarian hadis,dari proses pengumpulan, penyeleksian hingga menghasilkan kumpulan hadis.Mereka itu adalah Umar Ibn Abdul Al-Aziz,Amarah Binti Abd al-Rahman dan Ahmad Ibn Hanbal.
Dalam sejarah perkembangan hadis, ulama yang pertama sekali berhasil menyusun ilmu hadis dalam satu disiplin ilmu secara lengkap adalah ulama Sunni yang bernama al –Qadi Abu Muhammad al –Hasan bin Abdurrahman bin Khalad al-Ramahurmuzi. Selain itu terdapat Al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi dengan kitabnya Ma’rifah Ulum al Hadis.Disamping kitab- kitab klasik diatas, kitab kitab modern dapat dijadikan referensi dalam studi hadis diantaranya kitab Ulum al-Hadis wa Musthalah oleh Subhi as-Shalih,Muhammad Ajjaj al-Khatib dengan kitabnya Ushul al Hadis :Ulumuhu wa Musthalahuhu,Tadribal-rawi fi Syarah al Nawawi oleh Al-Suyuti dan lain lain.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis merupakan sumber hukum islam setelah al Qur’an.Hadis
menjelaskan al Qur’an dari berbagai segi, menjelaskan ibadah dan hukum yang
bersifat global dan menguraikan hukum – hukum yang belum dijelaskan secara
eksplisit didalam Al-Qur’an.Dengan demikian hadis merupakan tuntutan
praktis terhadap apa yang dibawa al-Qur’an.
Karena pentingnya hadis sebagai sumber hukum islam, maka
sebuah keharusan bagi para ulama untuk lebih teliti dan hati-hati dalam
mengutip hadis, serta terus melakukan kaji ulang terhadap matan dan
sanad,denagn tidak mengurangi otentisitas hadis,tapi lebih mengedepankan upaya
pemeliharaan hadis dari serangan hadis palsu dan kritik orientalis terhadap
hadis yang tidak dilandasi oleh keimanan kepada Allah.
Perkembangan awal studi hadis, sangat dipengaruhi oleh hadis
nabi yang melarang kodifikasi hadis,kekhawatiran bercampurnya hadis dengan al
Qur’an serta tendensi politik dan kekhilafahan.
Pendekatan utama yang dilakukan oleh ulama hadis dalam
studi hadis adalah dengan melacak sanad hadis,melakukan autentikasi hadis dan
upaya kritik perawi, dengan mengelompokan perawi berdasarkan ahwal dan biografi
perawi.
Ketika muncul hadis –hadis palsu dan tandingan studi hadis dari orientalis maka, ulama hadis mulai melakukan kritik hadis sebagai usaha untuk melakukan pemeliharaan hadis.Namun tetap saja perkembangan pemikiran islamberjalan tersendat-sendat karena khawatir akan dianggap sebagai inkar al-sunnah.Salah satu metode yang dikembangkan ulama untuk melakukan pemeliharaan hadis adalah dengan mengembangkan metode jarh dan ta’dil.
Ketika muncul hadis –hadis palsu dan tandingan studi hadis dari orientalis maka, ulama hadis mulai melakukan kritik hadis sebagai usaha untuk melakukan pemeliharaan hadis.Namun tetap saja perkembangan pemikiran islamberjalan tersendat-sendat karena khawatir akan dianggap sebagai inkar al-sunnah.Salah satu metode yang dikembangkan ulama untuk melakukan pemeliharaan hadis adalah dengan mengembangkan metode jarh dan ta’dil.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.Amin. Studi
Agama :Normativitas atau Historisitas ?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011.
Abdurrahman, M.
dan Elan Sumarna. Metode Kritik Hadis. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2011.
Arkoun, Mohammed.
Rethinking Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Ash Shiddiqie, TM
Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang,
1991
Khaeruman, Badri.
Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2004.
Mudasir. Ilmu
Hadis. Bandung: Pustaka Setia, cet.5, 2010.
Nata,
Abudin. Al-Qur’an dan Hadis: Dirasah Islamiyah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, cet.3 1995.
====================================================
Keterangan :
jika anda sudah melihat isi makalah yang berjudul diatas, dan jika anda minat, bisa langsung Copas (Copy Paste), kalau tidak mau Copas anda boleh download file makalahnya di bawah ini :
DOWNLOAD (File berbentuk Document)
Post a Comment