MAKALAH
TENTANG
ISLAM NUSANTARA
Diajukan
Untuk Tugas Hukum Islam
Keterangan :
jika ingin mendownload File Makalah ini anda cukup klik dibawah ini :
==============================================
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya, makalah tentang
Islam Nusantara telah diselesaikan.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak – pihak yang telah membantu dan
mendukung penulis dalam
menyusun makalah ini. Ucapan terima
kasih ditujukan kepada:
1.
Allah
SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah serta kemudahan dalam pelaksanaan
penelitian dan penyusunan laporan kemajuan,
2.
Dr.
Ujang Suratno, S.H., M.H selaku Rektor Universitas Wiralodra,
3.
Suhaendi
Salidja, S.H., M.H selaku Dosen Fakultas Hukum di Universitas Wiralodra,
4.
Jajang
Arifin, SH selaku Dosen Fakultas Hukum di Universitas Wiralodra,
5.
Semua
pihak yang telah penulisan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran
serta masukan dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini. Akhir kata, penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pihak – pihak yang
berkepentingan.
Indramayu, 3 Oktober
2018
Penulis,
Muhammad Harri Nuzul Perkasa
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL ............................................................................................ 1
KATA
PENGANTAR............................................................................................... 2
DAFTAR ISI…......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 4
A. Latar
Belakang.................................................................................................. 4
B. Rumusan
Masalah............................................................................................ 4
C. Tujuan
dan Manfaat......................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 6
I.
Pengertian Islam Nusantara
............................................................................... 6
II. Karakteristik Islam
Nusantara
......................................................................... 6
III. Peran Para
Ulama (Wali songo) Dalam Perkembangan Islam Nusantara...... 10
IV. Praktek Islam Nusantara
Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara............................................................................................................. 14
V. Pro dan Kontra Tentang Islam
Nusantara...................................................... 15
BAB III PENUTUP................................................................................................. 18
A. Kesimpulan..................................................................................................... 18
B. Saran
.................................................................................... ..........................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 19
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Banyak
teori yang menjelaskan mengenai kedatangan islam ke Indonesia, baik mengenai
asal-usul, waktu, dan para pembawanya. Terdapat teori yang mengatakan bahwa
agama islam masuk ke Indonesia telah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan
islam di sekitar abad ke-7 M / 1 H, dan langsung dari Arab atau Persia. Namun,
ada pula yang mengatakan bahwa agama islam masuk ke Indonesia pada abad ke-11 M
/ 5 H. Bahkan ada yang berpendapat islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M
dan berasal dari Gujarat atau India. Agama islam masuk Indonesia secara
periodik, tidak sekaligus.[[1]]
Terdapat beberapa cara yang dipergunakan dalam penyebaran islam di Indonesia,
seperti perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian, dan tasawuf. Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan
Indonesia dikenal sebagai
pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal
abad masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.[[2]] Wilayah barat nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah
yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang di jual di sana
menarik bagi para pedagang
dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Pelabuhan-pelabuhan
penting Sumatera dan Jawa antara abad
ke 1 dan ke 7 sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri Aceh, Barus dan
Palembang di Sumatera. Sunda
Kelapa dan Gresik di Jawa.[[3]]Mereka yang datang ke Indonesia bertujuan
berdagang sekaligus menyebarkan agama yang mereka anut yaitu Islam.
B. Rumusan
Masalah
Apa
itu islam nusantara secara pendekatan sosiologis, filosofis, dan historis?
Bagaimana
karakteristik islam nusantara berdasarkan fiqih, teologi, dan tasawuf?
Bagaimana
peran ulama (walisongo) dalam pengembngan islam nusantara?
Bagaimana
praktek islam nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara?
Apa
pro dan kontra islam nusantara?
C. Tujuan
dan Manfaat
Tujuan
:
·
Menjelaskan
pengertian-pengertian islam nusantara secara pendekatan sosiologis, filosofis,
dan historis.
·
Menjelaskan karakteristik
islam nusantar berdasarkan fiqih, teologi, dan tasawuf.
·
Menjelaskan peran ulama
(walisongo) dalam pengembangan islam nusantara.
·
Menjelaskan praktek islam
nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
·
Menjelaskan pro dan
kontra mengenai islam nusantara.
Manfaat
:
·
Mengetahui pengertian-pengertian
islam nusantara secara pendekatan sosiologis, filosofis, dan historis.
·
Mengetahui karakteristik
islam nusantar berdasarkan fiqih, teologi, dan tasawuf.
·
Mengetahui peran ulama
(walisongo) dalam pengembangan islam nusantara.
·
Mengetahui praktek islam
nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
·
Paham mengenai pro dan
kontra mengenai islam nusantara.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian Islam
Nusantara
a) Sosiologis
Islam
nusantara adalah islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi,
indigenisasi destruktif dan vernakularisasi islam universal dengan realitas
sosial, budaya dan agama di Indonesia. Islam nusantara yang kaya dengan warisan
islam menjadi harapan renaisans peradaban islam global yang akan berakulturasi
dengan tatanan dunia baru.[[4]]
b)
Historis
Islam nusantara adalah sebagai hasil ijma dan
ijtihad para ulama nusantara dalam melakukan istinbath terhadap al-muktasab min
adillatiha-tafshiliyah. Islam nusantara adalah idrakul hukmi min dalilihi ala
sabili-rujhan. Islam nusantara memberi karakter bermazhab dalam teks-teks para
ulama nusantara untuk menyambungkan kita dengan tradisi leluhur kita, untuk
dihormati, dan untuk kita teladani.[[5]]
c) Filosofis
Islam nusantara adalah islam sinkretik yang
merupakan gabungan nilai islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal
(non-teologis), budaya dan adat istiadat di tanah air.[[6]]
II. Karakteristik
Islam Nusantara
Menurut istilah, Islam Nusantara harus
bermula memahami pola dan karakter keislaman masyarakat muslim nusantara yang
memang mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan corak keislaman Timur
Tengah, tempat asal islam itu berkembang. Gagasan islam nusantara bukan sebuah
aliran baru sebagaimana sempalan dan firqah, tetapi adalah
sebagai upaya yang mencoba memotret keislaman dalam domain kawasan, sebagaimana
yang pernah disarankan oleh Gusdur yang menantang
para ilmuan islam untuk membuat teoritik apa yang disebut dengan studi islam
berdasarkan kawasan. Gusdur telah membuat hipothesa bahwa ada enam studi
kawasan islam : kawasan TimurTengah, Afrika, daratan
India, Asia Tengah termasuk Rusia, Nusantara dan Eropa.
Menurut Gusdur masing-masing memiliki karakteristik
yang menonjol.
Dalam konteks karakteristik islam nusantara
dapat dilihat setidaknya dengan delapan ciri-ciri menonjol yaitu :
a.
Pertama islam nusantara adalah hasil produk dari dakwah yang
kemudian dikenal tokoh-tokohnya sebagai wali songo, yaitu proses pengislaman
dengan cara damai melalui akulturasi budaya dan ajaran inti islam. Karenanya
islam dapat berkembang dengan cepat tanpa kekerasan. Keadaan ini dinilai oleh
pengkaji islam diantara Anwar Ibrahim, sebagai sebuah proses pengislaman yang
terbaik.
b.
Kedua, penganut setia faham Ahlusunnah dengan watak moderat. Ini
ciri yang menonjol dalam diri Islam Nusantara. Hal ini sangat bertolak belakang
dengan cara berpikir islam timur tengah.
c.
Ketiga, para ulama atau masyarakat islam nusantara dalam memilih
mazhab bukan sembarangan dan asal pilih. Selama ini yang dipilih atau dijadikan
panutan adalah mereka yang mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai dan
teruji daam sejarah sserta mereka yang mempunyai integritas, sosok ulama yang
benar-benar independen, sehingga hasil ijtihadnya merupakan hasil dari pengetahuan
yang lengkap dan hati yang jernih tanpa diintervensi kepentingan nafsu.
Masyarakat islam nusantara dalam bidang fiqih mengikut salah satu mazhab fiqih
yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali. Namun demikian yang paling populer
dan yang diajarkan dan menjadi pilihan faforit adalah mazhab
syafi’i, sehingga wajar jika kitab-kitab literatur daam lingkungan masyarakat
Islam Nusantara didominasikan kita-kitab mazhab syafi’i.
d.
Keempat, mayoritas masyarakat islam nusantara adalah pengamal
ajaran tasawuf karena itu tarekat berkembang dengan subur. Tokoh-tokoh tasawuf
yang menjadi panutan antara lain Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Imam
Syazili dan lain sebagainya yang sangat populer dikalangan islam
nusantara. Dari sanalah kemudian islam nusantara menjadi
islam yang sangat harmoni, toleran, dan menghargai pluralitas
sebagai watak asli ajaran tasawuf.
e.
Kelima, dalam
bermasyarakat mengutamakan kedamaian, harmoni dan toleran. Masyarakat islam
nusantara telah mengamalkan sikap toleran atau tasamuh ini sebagia bagian dari
landasan ajaran islam yang memberi kebebasan beragama. Islam bukan saja
mengecam pemaksaan agama, tetapi lebih dari itu sangat menjunjung tinggi
hak-hak non muslim dalam pemerintahan kerajaan islam, karena hubungan islam dan
non islam adalah hubungan damai, kecuali jika terjadi perkara-perkara yang
dapat menyebabkan pertentangan antara kedua belah pihak
f.
Keenam, adaptasi budaya secara alami masyarakat islam nusantara
berpandangan keartitan lokal tidak dapat dihilangkan saja, ia perlu dilestarikan
sebagai jati diri sebuah bangsa selama tidak bertentangan dengan syariat dan
ini dibenarkan daam alquran bahwa allah menciptakan manusia dalam berbagai suku
(qobail) dan berbangsa bangsa (syu’uba) lita’taarafu untuk saling ta’aruf
(saling pengertian) tentang suku bangsa, tentu juga dengan budaya.
g.
Ketujuh, visi islam
rahmatan lil’alamin mendominasi pemikiran ke islaman nusantara masyarakat islam
berusaha mengusung visi islam rahamat lil’alamin sebagai misi utama dlam
mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan. Dalam hal ini selalu merujuk
kepada tugas utama mulia Nabi Muhammad SAW, yaitu tugas yang suci, tugas yang
sempurna dan tugas yang meyeluruh dari ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi.
Karena itu jelas bahwa risalah islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah
memberi rahmat sebagaimana firman Allah artinya “Tiada kami utus engkau
Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” Al Anbiya 107. Tidak
diragukan lagi bahwa islam sebagai rahmat dan hidayah, cahaya yang akan membawa
keselamatan. Hal ini bermaksud rahmat akan membawa keselamatan baik dunia
maupun diakhirat.
h.
Kedelapan, dalam memahami
nash menggunakan pendekatan literal dalam hal yang bersifat Qath’i, seperti
wajibnya solat serta tata cara ibadah mahdhah, rukun islam, rukun iman, dan
sebagainya. Oleh karena itu pendekatan literal dalam menggunakan nash lebih
terfokus pada hal-hal yang bersifat ibadah mahdhah dan persoalan teologi.
Sedangkan dalam kaitan kemasyarakatan lebih menggunakan pendekatan kontekstual.
Pendekatan ini tidak hanya mengambil makna teks tetapi lebih banyak mengambil
substansi atau nilai-nilai yang terkandung dalam nash. [[7]]
a) Fiqih
1. Sempurna. Syariat Islam
diturunkan dalam bentuk umum dan garis besar. Karena itu, hukum-hukumnya
bersifat tetap, tidak berubah-ubah karena perubahan masa dan tempat. Bagi
hukum-hukum yang lebih rinci, syariat Islam hanya menetapkan kaidah dan
memberikan patokan umum. Penjelasan dan rinciannya diserahkan kepada ijtihad
pemuka masyarakat.
2. Dengan menetapkan
patokan-patokan umum tersebut, syariat Islam dapat benar-benar menjadi petunjuk
yang universal dan dapat diterima di semua tempat dan di setiap saat. Selain
itu, umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis
kebijaksanaan al-Qur’an, sehingga mereka tidak melenceng.
3. Penetapan al-Qur’an
terhadap hukum dalam bentuk global dan simpel itu dimaksudkan untuk memberikan
kebebasan pada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan
kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global ini diharapkan hukum Islam dapat
belaku sepanjang masa.
4. Elastis. Fiqih Islam juga
bersifat elastis (lentur dan luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan
kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani,
hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Khalik, serta tuntutan hidup
dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Fiqih Islam memperhatikan berbagai
segi kehidupan, baik bidang ibadah, muamalah, jinayah dan
lain-lain. Meski demikian, ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan
memaksa. Ia hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan oleh
manusia.
5. Universal dan
Dinamis. Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi alam tanpa
batas, tidak seperti ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Ia berlaku bagi orang
Arab dan orang ‘ajam (non arab), kulit putih dan kulit hitam.
Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik hukum itu sendiri yang
kekuasaan-Nya tidak terbatas. Di samping itu hukum Islam mempunyai sifat
dinamis (cocok untuk setiap zaman).
6. Bukti yang menunjukkan apakah hukum Islam
memenuhi sifat tersebut atau tidak, harus dikembalikan kepada al-Qur’an, karena
al-Qur’an merupakan wadah dari ajaran Islam yang diturunkan
Allah kepada umatnya di muka bumi. Al-Qur’an juga merupakan garis kebijaksanaan
Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia.
7. Sistematis. Arti dari pernyataan
bahwa hukum Islam itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum Islam itu
mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya
saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
8. Perintah sholat dalam
al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Perintah berima dan bertakwa senantiasa dibarengi dengan
perintah beramal saleh. Ini berarti hukum Islam tidak mandul yang hanya
berkutat pada hubungan vertikal kepada Allah dan hanya berupa keyakinan semata.
Akan tetapi merupakan hukum yang menyatu dengan hubungan horizontal sesama
manusia dan hukum yang harus diamalkan dan diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
9. Hukum Islam Bersifat Ta’aqquli dan Ta’abbudi. Hukum Islam mempunyai
dua dasar pokok; al-Qur’an dan sunnah Nabi. Di samping dua sumber pokok
tersebut, ajaran Islam juga memiliki sumber lain yaitu konsensus
masyarakat (ulama) yang mencerminkan suatu transisi ke arah satu hukum yang
berdiri sendiri (penafsiran terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah).
10. Untuk memahami kedua sumber tersebut perlu digunakan kejernihan
hati dan fikiran, kecerdasan dan pengetahuan dan mempertimbangkan konteks
masyarakat yang ada. Hal ini karena di dalam kedua sumber tersebut terdapat
ajaran yang bersifatta’abbudi (tidak bisa dirasionalisasika) dan
ada yang bersifatta’aqquli (bersifat rasional).[[8]]
b) Teologi
Islam nusantara adalah
islam di wilayah melayu (Asia tenggara). Karakter diktrinalnya adalah berpaham
Asy’ariyah dari segi kalam (teologi), berfikih mazhab syafi’i sekaipun menerima
mazhab yang lainnya dan menerima tasawuf model Imam Ghazali. Lalu
mengkontraskannya dengan islam arab yang berpaham teologi Muhammad bin Abdul
Wahab (Wahabi) dan berfiqih mazhab imam Amad bin Hambal yang katanya sangat
rigid dan keras. Islam jenis ini menolak tasawuf karena dianggap banyak
bid’ahnya.[[9]]
c) Tasawuf
Pada
umunya, para pengajar tasawuf atau para sufi adalah guru-guru pengembara,
mereka sering kali berhubungan dengan perdagangan, mereka mengajarkan teosofi
yang telah bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas masyarakat
Indonesia. Dengan tasawuf, bentuk islam yang diajarkan kepada para penuduk
pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang
sebelumnya memeluk agama hindu, sehingga ajaran islam dengan mudah diterima
mereka.[[10]]
III. Peran Para Ulama (Walisongo) dalam Pengembangan Islam
Nusantara
Walisongo mempunyai
peranan yang sangat besar dalam pengembangan islam di Indonesia. Bahkan mereka
adalah perintis utama dalam bidang dakwah islam di indonesia. Sekaligus pelopor
penyiaran agama islam di nusantara ini. “wali” adalah singkatan dari perkataan
Arab Waliyullah dan itu bermaksud “orang yang mencintai Allah dan dicintai
Allah” sedangkan “songo” juga perkataan jawa yang bermaksud sembilan. Jadi
“walisongo” merujuk kepada wali sembilan yakni sembilan orang yang mencintai
dan dicintai Allah. Mereka diberi gelaran yang sedemikian karena mereka
dianggap penyiar-penyiar agama islam yang terpenting. Karena sesungguhnya
mereka mengajar dan menyebarkan islam. Disamping itu, islam juga merupakan
para intektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Adapun kesembilan wali
tersebut adalah : Sunan Gresik (Syeikh Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel
(Raden Rahmat), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim),
Sunan Drajat (Syeikh Syarifudin), Sunan Kudus (Syekh Ja’far Shadiq), Sunan
Muria (Raden Umar Said), Sunan Gunung Jati ( Sayid Syarif Hidayatullah), dan
Sunan Kalijaga (Raden Mahmud Syahid). Para Wali ini mempunyai cara pendekatan
da’wah yang beragam diantaranya :
1. Pendekatan Teologis
Menanamkan dasar-dasar keyakinan dan pandangan
hidup islami yang dilakukan oleh Sunan Gresik dan Sunan Ampel dimana yang
menjadi sasaran adalah rakyat bawah yeng merupakan mayoritas penduduk.
2. Pendekatan Ilmiah
Seperti yang dilakukan Sunan Giri yaitu dengan
mendirikan pesantren dan melakukan pelatihan da’wah secara sistematik,
metodelogis seperti permainan anak, lagu-lagu(lir –ilir, padang-padang bulan)
yang mengandung nilai dan makna islami. dan juga sekaligus penugasan da’i untuk
dikirim ke daerah-daerah seperti Madura, Bawean sampai Maluku.
3. Pendekatan kelembagaan
Dengan mendirikan pemerintahan atau kerajaan,
lembaga peribadatan seperti masjid-masjid atau bangunan lainnya yang memberikan
ketertarikan masyarakat untuk mengetahui lebih dalam mengenai agama Islam,
seperti yang dilakukan oleh Sunan Demak, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.
4. Pendekatan Sosial
Yang dilakukan oleh Sunan Muria dan Sunan
Drajat yang lebih senang hidup ditengah-tengah rakyat kecil yang jauh dari
keramaian, membina dan meningkatkan kualitas keagamaan dan kehidupan sosial.
5. Pendekatan Kultural
Dengan kemampuan intelektual dan pendalamannya
terhadap islam Sunan Kalijaga, Sunan Bonang melakukan islamisasi budaya yaitu
budaya masyarakat yang telah ada diislamkan.[[11]]
Aktualisasi Nilai Da’wah
Walisongo
Da’wah
harus mempunyai tujuan yang jelas, kesamaan arah meskipun berbeda-beda dalam
cara penyampaiannya, yakni mengubah keadaan masyarakat dari yang kurang baik
menjadi lebih baik secara syar’iyah maupun kemasyarakatan. Disamping itu
keberhasilan da’wah juga dipengaruhi oleh kualitas para figur da’I
yang dapat memberi teladan hidup sehari-hari yang selalu menjadi “tuntunan” dan
bukan hanya sebagai “tontonan” seperti pribadi-pribadi para Wali yang sampai
sekarang tetap diakui sebagai teladan dan panutan umat islam khususnya di pulau
Jawa.
a. Tokoh yang pertama
ialah Maulana Malik Ibrahim yang berbangsa Arab dari keturunan Rasulullah.
Beliau datang dari Kasyan, Persia dan tiba di jawa pada 1404 sebagai penyebar
agama islam dan menetap di Leran, sebuah desa yang terletak di Gresik. Beliau
telah menjalankan dakwah islam dengan bijaksana dan dapat mengadaptasikan
pengajarannya dengan masyarakat sekeliling sehingga ramai rakyat tertarik
dengan agama baru ini, lalu memeluknya. Beliau telah memperkenalkan bidang
perdagangan dan melalui ini, beliau berjaya mendapat tempat dihati masyarakat
di tengah-tengah krisis ekonomi dan perang saudara. Dengan ini lah beliau telah
berjaya menarik orang-orang jawa dari kasta bawahan memeluk islam. Beliau juga
merupakan pencipta pondok atau pesantren pertama digresik, umumnya ditanah
jawa. Pondok ini dibina karena bilangan pengikutnya yang kian bertambah.
Disinilah juga, beliau melahirkan mubaligh-mubaligh islam yang bergiat di tanah
jawa.
b. Tokoh yang kedua ialah
Sunan Ampel. Nama aslinya adalah Raden Rahmat. Ia merupakan putra tertua
Maulana Malik Ibrahim. Nama Ampel diambil dari nama sebuah tempat ia bermukim,
wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya, kota Wonokromo sekarang. Ia
mendapat hadiah berupa daerah Ampel Denta dari raja Majapahit. Di tempat inilah,
Sunan Ampel membangun dan mengembangkan pondok pesantren, yang dikenal dengan
sebutan Ampel Denta. Pada pertengahan abad ke-15 M, pesantren tersebut menjadi
pusat pendidikan islam di Nusantara, bahkan manca negara. Sunan Ampel pula yang
mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh
madat, moh madon), yaitu seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman
keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
c. Tokoh ketiga ialah
Sunan Giri yang dilahirkan pada tahun 1365 di Blambangan. Ayahnya adalah
Maulana Ishak seorang ulama Islam dari Arab dan bermukmin di Pasai, Aceh. Suna
Giri juga dikenali dengan Raden Paku atau Maulana Ainul Yaqin dan merupakan
seorang ulama yang dibekali dengan pengatahuan agama yang mencukupi. Sunan Giri
telah menyiarkan islam dan menanamkannya kedalam jiwa penduduk dalam
berbagai cara. Beliau telah mendirikan masjid dikampung laut sebagai langkah pertama
untuk menyebarkan islam dan sehingga kini masjid itu masih kekal dalam bentuk
asalnya meskipun telah dipindahkan ketempat lain. Selain itu beliau juga telah
memilih lokasi yang strategis untuk mendirikan pesantren-pesantren yang telah
bertahan sampai abad ke 17 untuk murid-muridnya untuk mengajarkan fiqih,
hadits, nahwu serta sharaf. Murid-muridnya pula bukan saja terdiri dari mereka
yang datang dari Surabaya, tetapi ada pula yang datang dari Madura, Lombok dan
Makassar. Dengan terdirinya pesantren-pesantren tersebut, ia menjadi pusat dan
markas gerakan dakwah yang terbesar dan terawal di jawa. Disamping itu, beliau
juga merupakan seorang pedagang yang mengelilingi pulau-pulau di Indonesia
seperti Kalimantan dan Sulawesi. Dengan inilah beliau telah berjaya memikat
ramai orang kaya dan orang-orang terpandang di Maluku, Pontianak dan Banjarmasin
untuk memeluk agama islam.
d. Tokoh selanjutnya
ialah Sunan Bonang. Ia memainkan peranan yang sangat besar dalam penumbuhan kerajaan Demak didalam
dakwahnya dan kedudukannya sebagai penyokong kerajaan Demak, beliau telah
berusaha memasukkan pengaruh islam kedalam kalangan bangsawan keraton
Majapahit. Ini dilakukannya dengan memberi didikan islam kepada Raden Patah,
Sultan Demak pertama. Selain itu beliau juga membantu dalam penumbuhan Majid
Agung di kota Bintora Demak. Keistimewaan dan sekaligus pembaharuan yang dibuat
oleh Sunan Bonang ialah kebijaksaan dan keunikannya
dalam berdakwah yang telah membuat hati rakyat agar datang ke masjid. Beliau
juga telah menciptakan alat musik jawa yang disebut Bonang serta tembang dan
gending-gending jawa yang berisikan ajaran islam untuk berdakwah. Bonang itu akan dibunyikan
untuk menarik perhatian masyarakat sekitar yang mendengarnya agar berkunjung ke
masjid sementara pengikut-pengikutnya pula diajarkan menyanyikan
tembang-tembang, sehingga mereka menghafalnya yang kemudian mereka pula akan
mengajarkannya kepada ahli keluarga masing-masing. Sedikit demi sedikit sunan
Bonang dapat merebut hati rakyat dan kemudian menanamkan pengertian yang teguh
tentang islam.
e. Tokoh selanjutnya
ialah Sunan Kalijaga. Ia lahir sekitar 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta,
Adipati Tuban, seorang keturunan pemberontak Majapahit, bernama Ronggolawe.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said, dan mempunyai beberapa nama
panggilan, seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman. Sunan Kalijaga ikut merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon,
dan Masjid Agung Demak. Tiang tatal (pecahan kayu) merupakan
salah satu tiang utama masjid, dan merupakan kreasi Sunan Kalijaga. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga mempunyai
pola yang sama dengan gurunya, yaitu Sunan Bonang. Paham keagamaannya
cenderung sufistik berbasis salaf, bukan sufi
panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayan
sebagai sarana dakwahnya, dalam melakukan gerakan dakwahnya, ia menggunakan
seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara. Beliaulah pencipta baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon
lawak petruk jadi raja, lanskap pusat kota berupa
keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid.
f. Tokoh selanjutnya
ialah Sunan Gunung jati atau Syarif Hidayatullah. Lahir sekitar tahun 1448 M.
Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri Raja Pajajaran raden Manah Rasa,
sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir,
keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Ia mendirikan
Kesultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kesultanan Pakungwati. Ia
merupakan satu-satunya Walisongo yang memimpin pemerintahan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas.
g. Tokoh selanjutnya
ialah Sunan Drajat. Nama kecil sunan Drajat adalah raden Qosim dan
bergelar raden Syaifuddin. Ayahnya adalah Sunan Ampel, dan bersaudara dengan
Sunan Bonang. Ia memberikan materi tauhid dan aqidah dalam berdakwah, dan
dengan cara langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Ia menggubah
sejumlah suluk, seperti suluk petuah berilah tongkat pada si buta /
beri makan pada yang lapar / beri pakaian pada yang telanjang.
h. Tokoh selanjutnya
ialah Suana Kudus. Nama kecilnya adalah Ja’far Shadiq. Ia putra pasangan Sunan
Ngudung dan Syarifah, adik Sunan Bonang. Sunan Kudus banyak berguru dari Sunan
Kalijaga, dan cara dakwahnya pun meniru Sunan Kalijaga, yaitu sangat toleran
pada budaya setempat. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah
dengan memnafaatkan simbol-simbol hindu dan budha, karena mayoritas kalangan
penduduk Kudus waktu itu beragama hindu.
i. Tokoh selanjutnya
ialah Sunan Muria. Ia merupakan putra Dewi Saroh dan Sunan Kalijaga. Dewi Saroh
adalah adik kandung Sunan Giri. Nama kecil Sunan Muria adalah Raden Prawoto.
Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya, yaitu lereng gunung muria.
Dalam menyebarkan ajaran islam, ia lebih suka tinggal di desa terpencil dan
jauh dari kota. Salah satu hasil dakwahnya adalah lagu sinom dan kinanti.
Dengan demikian , walisongo sesungguhnya telah
memainkan peranan yang penting dalam penyebaran agama islam di Nusantara, yaitu
dengan cara berdakwah. Para pedagang islam juga berperan sebagai mubaligh yang
datang bersama pedagang dengan misi agamanya. Penyebaran islam melalui dakwah
ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan
menggunakan pendekatan sosial budaya. [[12]]
IV. Praktek
Islam Nusantara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Gagasan
Islam Nusantara merupakan salah satu pemikiran yang khas untuk Indonesia dari
dulu dan saat ini. Secara historis, berdasarkan data-data filologis (naskah
catatan tulis tangan), keislaman orang Nusantara telah mampu memberikan
penafsiran ajarannya sesuai dengan konteksnya, tanpa menimbulkan peperangan
fisik dan penolakan dari masyarakat. Contohnya, ajaran-ajaran itu dikemas
melalui adat dansyarak basandi kitabullah. Lalu, pada saat itu di Buton
terdapat ajaran martabat tujuh dari tasawuf menjadi bagian tak terpisahkan dari
undang-undang kesultanan Buton. Hal serupa di Jawa, baik melalui ajaran
Walisongo ataupun gelar seorang raja dengan menggabungkan tradisi lokal dan
tradisi Arab, seperti Senopati ing Alogo Sayyidin Panatagama Khalifatullah
Tanah Jawa. Dengan demikian, praktik Islam Nusantara mampu memberikan kedamaian
umat manusia. Pada saat itu di Nusantara, baik kepulauan Jawa, Sumatera,
Sulawesi dan sekitarnya para ulama dalam hal menuliskan ajarannya juga
mempunyai tradisi akulturatif dan adaptif. Strategi dakwah tersebut tertulis
dalam berbagai aksara dan bahasa sesuai dengan wilayahnya. Di Jawa terdapat
aksara carakan, dan pegon dengan bahasa Jawa, Sunda, atau Madura, yang
diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab. Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan,
terdapat aksara Jawi dengan bahasa Melayu, dan aksara/bahasa lokal sesuai
sukunya, Bugis, Batak, dst.
Praktik Islam Nusantara
mampu memberikan kedamaian umat manusia. Karya-karya ulama Nusantara dalam
bahasa lokal tersebut untuk penyebaran Islam merupakan salah satu dari
kelebihan dan kekhasan Islam Nusantara. Ajaran Islam
Nusantara, baik dalam bidang fikih (hukum), tauhid (teologi), ataupun tasawuf
(sufism) sebagian telah diadaptasi dengan aksara dan bahasa lokal.
Praktik keislaman
Nusantara, seperti tahlilan, tujuh bulanan, muludan, bedug/kentongan
sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada harmoni, keseimbangan hidup di masyarakat.
Adat yang tetap berpegang dengan syari’at Islam itu dapat membuktikan praktik
hidup yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan pribumi.
Jejaring Islam
Nusantara di dunia penting dilakukan untuk mengantisipasi politik global yang
terkesan bagian dari terorisme global. Karakter Islam Nusantara dapat
menjadi pedoman berfikir dan bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini,
sehingga terhindar dari pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada
kekerasan fisik, dan kerusakan alam.[[13]]
V. Pro
dan Kontra Tentang Islam Nusantara
Istilah Islam
Nusantara akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu
keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak. Alasan penolakan mungkin
adalah karena istilah itu tidak sejalan dengan dengan keyakinan bahwa Islam itu
satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an dan
As-Sunah.
Dalam pengertian hukum
yang ini kita sah dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti
Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam
Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam
segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf,
budaya, dan realita di bumi Nusantara. Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak
ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara
Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi
bahasa Al-Qur’an.
“Mengapa
Islam Nusantara”, baik dari sisi historis maupun untuk kepentingan saat ini,
dapat disingkat sebagai berikut:
1. Ajaran Islam
Nusantara, baik dalam bidang fikih (hukum), tauhid (teologi), ataupun tasawuf (sufism)
sebagian telah diadaptasi dengan aksara dan bahasa lokal. Sekalipun untuk
beberapakitab tertentu tetap menggunakan bahasa Arab, walaupun substansinya
berbasis lokalitas, seperti karya Kyai Jampers Kediri.
2. Praktik keislaman
Nusantara, seperti tahlilan, tujuh bulanan, muludan,
bedug/kentongan sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada harmoni,
keseimbangan hidup di masyarakat. Keseimbangan ini menjadi salah satu karakter
Islam Nusantara, dari dulu dan saat ini atau ke depan.
3. Adat yang tetap
berpegang dengan syari’at Islam itu dapat membuktikan praktik hidup
yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan pribumi, sehingga ajaran
Ahlus sunnah wal jamaah dapat diterapkan. Tradisi yang baik tersebut
perlu dipertahankan, dan boleh mengambil tradisi baru lagi, jika benar-benar
hal itu lebih baik dari tradisi sebelumnya.
4. Manuskrip (catatan
tulisan tangan) tentang keagamaan Islam, baik babad, hikayat, primbon, dan
ajaran fikih, dst. sejak abad ke-18/20 merupakan bukti filologis bahwa Islam
Nusantara itu telah berkembang dan dipraktikkan pada masa lalu oleh para ulama
dan masyarakat, terutama di komunitas pesantren.
5. Tradisi Islam
Nusantara, ternyata juga terdapat keserupaan
dengan praktik tradisi Islam di beberapa Negara Timur Tengah, seperti Maroko
dan Yaman, sehingga Islam Nusantara dari sisi praktik bukanlah monopoli NU atau
umat Islam Indonesia semata, karena jejaring Islam Nusantara di dunia penting
dilakukan untuk mengantisipasi politik global yang terkesan bagian dari
terorisme global.
6. Karakter Islam
Nusantara, seperti disebut sebelum ini, tidaklah berlebihan jika dapat menjadi
pedoman berfikir dan bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini, sehingga
terhindar dari pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada kekerasan
fisik, dan kerusakan alam.
7. NU sebagai organisasi
yang dilahirkan untuk mengawal tradisi para ulama Nusantara, terutama saat
keemasannya, Walisongo, penting kiranya untuk tetap mengawal dan
menegaskan kembali tentang Islam Nusantara, yang senantiasa mengedapkan
toleransi.[[14]]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Peranan
para walisongo dalam menyebarkan agama Islam sangat dinamis sehingga islam
sangat mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Para walisongo dalam
penyampainnya menggunakan beberapa pendekatan atau saluran agar Islam dapat di anut oleh masyarakat
antara lain: saluran perdagangan,
saluran perkawinan, saluran tasawuf, saluran pendidikan, saluran
kesenian dan saluran politik. Padahal
pada saat itu Indonesia tidak dalam kekosongan kultural peradaban karena pada saat ituterdapat dua
kerajaan besar seperti kerajaan Hindu dan kerajaan Budha. Karena kerajaan hanya memikirkan keluarga
kerajaan (lapisan atas) sedangkan orang-orang yang berada dilapisan bawah (petani, budak, buruh) tidak
mendapat perhatian dari kerajaan. Sehingga Islam yang mempunyai ajaran yang tidak memberatkan, luwes dan
mengajarkan keadilan dan kebijaksanaan mudah masuk dalam lapisan-lapisan masyarakat. Agama yang masih
kuat dianut oleh masyarakat sebelum Islam
datang ke Indonesia, para walisongo menggabungkan kedua ajaran
agama tersebut. Sehingga sampai sekarang masih ada tradisi agama Hindu maupun
agama Budha yang di kerjakan sebagian masyarakat Indonesia.
B. SARAN
Berkaitan
dengan makalah ini, agar dapat memperoleh gambaran lebih baik, penulis
menyarankan agar pembaca, membagi ilmu yang dimilikinya kepada orang lain,
sehingga manfaat dari makalah ini juga dapat tersalurkan kepada orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Roeslan, Sejarah Perkembangan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983).
Anies, Afif Nadjih, Prospek
Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta:Lantabora
Press. 2005).
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Pengantar
Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967).
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang:
PT. Karya Toha Putra. 2011).
Poeponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho
Notosusanto (Ed), Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Balai Pustaka,
1984).
Sarkun, Dr. Mukhlas, islamnusantara.web.id/umum/islam-nusantara-antara-teoritik-dan-karakteristik
Post a Comment