Keterangan :
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan
terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang
cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak, karena pada umumnya
aktivitas fi sik yang cukup tinggi dan masih dalam proses belajar. Apabila
intake zat gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan fi sik dan intelektualitas
balita akan mengalami gangguan, yang akhirnya akan menyebabkan mereka menjadi
generasi yang hilang (lost generation), dan dampak yang luas negara akan
kehilangan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas (Welasasih and Wirjatmadi 2012).
Menurut Dorice M. dalam Waspadji (2003), bahwa status gizi optimal
adalah keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi. Dengan
demikian asupan zat gizi Memengaruhi status gizi seseorang. Status gizi adalah
keadaan kesehatan individu yang ditentukan oleh keseimbangan antara asupan zat
gizi dengan kebutuhan zat gizi. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status
gizi seseorang .Banyaknya faktor yang berhubungan dengan
pertumbuhan linier atau tinggi badan anak balita, maka dalam penelitian ini
variabel yang akan diteliti meliputi karakteristik balita dan orang tua balita,
tingkat konsumsi zat gizi balita, riwayat menyusui dan pola konsumsi balita,
pola asuh keluarga terhadap balita, kejangkitan penyakit infeksi, dan praktek
hygiene sanitasi ibu pada balita (Welasasih and Wirjatmadi 2012).
Status gizi stunting disebut juga sebagai gizi kurang kronis yang
menggambarkan adanya gangguan pertumbuhan tinggi badan yang berlangsung pada
kurun waktu cukup lama. Pada kelompok balita stunting sebagian besar balita
berada pada kelompok umur 23–36 bulan, kemungkinan mereka pernah mengalami
kondisi gizi kurang pada saat berada di tahapan usia 12–24 bulan atau bahkan
sebelumnya. Dengan demikian manifestasi stunting semakin tampak pada mereka
saat berada pada tahapan usia 23–36 bulan. Keadaan ini sesuai dengan pendapat
Soetjiningsih (2005), bahwa umur yang paling rawan adalah masa balita, oleh
karena pada masa itu anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi. Masa
balita merupakan dasar pembentukan kepribadian anak sehingga diperlukan
perhatian khusus. Selain itu, masa balita adalah masa yang cukup penting karena
pada kelompok usia balita mengalami proses perkembangan dan pertumbuhan yang
cepat dan menentukan kualitas anak di kemudian hari dalam menghasilkan sumber
daya manusia yang berkualitas. Sedangkan pada kelompok umur 6–23 bulan
merupakan kelompok umur yang sedang mengalami pertumbuhan kritis. Oleh
karenanya penanganan gizi kurang pada kelompok umur ini (6–23 bulan) menjadi
lebih diperhatikan karena apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengalami kegagalan
tumbuh (growth failure) (Depkes 2000).
Pemantauan pertumbuhan merupakan
salah satu kegiatan utama program perbaikan gizi, menitikberatkan pada upaya
pencegahan dan peningkatan keadaan gizi balita (EVITA and Abidillah Musyid 2009). Keaktifan
balita ke posyandu sangat besar pengaruhnya terhadap pemantauan status gizi.
Posyandu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan bulanan, balita yang setiap
bulan aktif ke posyandu akan mendapatkan penimbangan berat badan, pemeriksaan
kesehatan jika ada masalah, pemberian makanan tambahan dan penyuluhan gizi.
Balita yang rutin dilakukan penimbangan berat badan dan tinggi badan setiap
bulannya, akan diketahui perubahan status gizinya. Anak sehat adalah anak yang
berat badannya mengalami kenaikan karena pertambahan tinggi badan bukan karena
anak semakin gemuk. Kehadiran ke posyandu bisa menjadi indikator terjangkaunya
pelayanan kesehatan pada balita, karena dengan hadir rutin balita akan mendapat
imunisasi dan program kesehatan lain seperti vitamin A dan kapsul yodium.
Dengan tercakupnya balita dengan program kesehatan dasar maka diharapkan balita
terpantau perkembangan dan pertumbuhannya, minimal selama masa balita, di mana
masa ini adalah masa rawan/rentan terhadap penyakit infeksi dan rentan terkena
penyakit gizi (Welasasih and Wirjatmadi 2012).
B.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam
makalah ini adalah
bagaimanakah :
1. Pengertian
Balita
2. Pertumbuhan
Balita
3. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan balita
4. Teori
dan Prinsip Pertumbuhan
5. Parameter
dan cara penilaian pertumbuhan
6. Kebutuhan
gizi pada Balita
7.
Masalah gizi pada
Balita
C.
TUJUAN
PENULISAN
Adapun tujuan dalam makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui Pertumbuhan Balita.
2.
Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
balita.
3.
Untuk mengetahui Teori dan Prinsip Pertumbuhan.
4.
Untuk mengetahui Parameter dan cara penilaian pertumbuhan.
5.
Untuk mengetahui Kebutuhan gizi pada Balita.
6. Untuk mengetahui Masalah gizi pada Balita
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Balita
Adapun
pengertian BALITA yaitu :
·
Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Balita merupakan salah satu periode usia manusia
setelah bayi dengan rentang
usia dimulai dari dua sampai dengan limatahun, atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 24-60 bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai
usia prasekolah. Pertambahan berat
badan menurun, terutama diawal balita. Hal ini terjadi
karena balita menggunakan banyak energi untuk bergerak (Wikipedia
2016).
·
Milyatani menyebutkan bahwa Balita adalah masa anak mulai berjalan dan
merupakan masa yang paling hebat dalam tumbuh kembang, yaitu pada usia 1 sampai
5 tahun. Masa ini merupakan masa yang penting terhadap perkembangan kepandaian
dan pertumbuhan intelektual (Mitayani
2010).
·
Menurut Depkes RI (2009) yang berada
pada kategori mur 0 - 5 tahun.
·
Menurut
Profil Kesehatan (2013), balita merupakan anak yang usianya berumur
antara satu hingga lima tahun. Saat usia balita kebutuhan akan aktivitas
hariannya masih tergantung penuh terhadap orang lain mulai dari makan, buang
air besar maupun air kecil dan kebersihan diri. Masa balita merupakan masa yang
sangat penting bagi proses kehidupan manusia. Pada masa ini akan berpengaruh
besar terhadap keberhasilan anak dalam proses tumbuh kembang selanjutnya.
B.
Pertumbuhan Balita
Secara
umum pertumbuhan setiap
anak berbeda-beda, namun prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama,
yakni (Erly 2015):
1.
Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah
(sefalokaudal). Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki, anak
akan berusaha menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan
kakinya.
2.
Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya adalah
anak akan lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam,
sebelum ia mampu meraih benda dengan jemarinya.
3.
Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar mengeksplorasi
keterampilan-keterampilan lain. Seperti melempar, menendang, berlari dan
lain-lain. Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala kuantitatif.
Pada
konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan
intraseluler pada tubuh anak. Dengan kata lain, berlangsung proses multiplikasi
organ tubuh anak, disertai penambahan ukuran-ukuran tubuhnya. Hal ini ditandai
oleh:
1.
Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.
2.
Bertambahnya ukuran lingkar kepala.
3.
Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham.
4.
Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.
5.
Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan
sebagainya.
Penambahan
ukuran-ukuran tubuh ini tentu tidak harus drastis. Sebaliknya, berlangsung
perlahan, bertahap, dan terpola secara proporsional pada tiap bulannya. Ketika
didapati penambahan ukuran tubuhnya, artinya proses pertumbuhannya berlangsung
baik. Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu sinyal
terjadinya gangguan atau hambatan proses pertumbuhan. Cara mudah mengetahui
baik tidaknya pertumbuhan bayi dan balita adalah dengan mengamati grafik
pertambahan berat dan tinggi badan yang terdapat pada Kartu Menuju Sehat (KMS).
Dengan bertambahnya usia anak, harusnya bertambah pula berat dan tinggi
badannya. Cara lainnya yaitu dengan pemantauan status gizi. Pemantauan status
gizi pada bayi dan balita telah dibuatkan standarisasinya oleh Harvard
University dan Wolanski. Penggunaan standar tersebut di Indonesia telah
dimodifikasi agar sesuai untuk kasus anak Indonesia.
C.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
balita
Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dari
waktu ke waktu (baik berat badan, tinggi badan atau ukuran tubuh lainnya) dan
merupakan gambaran tentang keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi
seorang anak dalam proses tumbuh (Aritonang
2003).
Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan
terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang
cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak, karena pada umumnya
aktivitas fi sik yang cukup tinggi dan masih dalam proses belajar. Apabila
intake zat gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik dan intelektualitas
balita akan mengalami gangguan, yang akhirnya akan menyebabkan mereka menjadi
generasi yang hilang (lost generation), dan dampak yang luas negara akan
kehilangan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Hasil Riskesdas
Indikator status gizi TB/U (gizi kurang kronis) menggambarkan adanya gangguan
pertumbuhan pada tinggi badan yang berlangsung pada kurun waktu yang cukup lama
tahun 2007 diperoleh keterangan bahwa prevalensi balita menurut indeks TB/U
menunjukkan bahwa prevalensi balita pendek masih cukup tinggi yaitu sebesar
36,5%. Berdasarkan analisa lebih lanjut diketahui bahwa 18,4% balita yang BB/U
kurang ternyata dikontribusi oleh 12,42% balita pendek dan hanya 4,82% tidak
pendek. Hal ini menunjukkan bahwa balita yang status gizinya pendek memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap terjadinya status gizi kurang berdasarkan
indeks BB/U (Basuni, 2009) (Welasasih and Wirjatmadi 2012).
Banyaknya faktor yang berhubungan dengan pertumbuhan linier atau tinggi
badan anak balita, maka dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti
meliputi karakteristik balita dan orang tua balita, tingkat konsumsi zat gizi
balita, riwayat menyusui dan pola konsumsi balita, pola asuh keluarga terhadap
balita, kejangkitan penyakit infeksi, dan praktek hygiene sanitasi ibu pada
balita (Welasasih and Wirjatmadi 2012).
Secara normal pertumbuhan dan
perkembangan antara anak yang satu dengan yang lain pada akhirnya tidak selalu
sama, karena dipengauhi oleh interaksi banyak faktor. Menurut Soetjiningsih
faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu faktor dalam (internal) dan faktor eksternal/lingkungan (pra natal dan
pasca natal) (Soetjiningsih and Gde 2005; Kusminarti 2009).
1.
Faktor dalam (internal), meliputi :
Genetik Faktor genetik merupakan
modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui
instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat
ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan
kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur
pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Termasuk faktor genetik antara
lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin,
suku bangsa atau bangsa.
2.
Faktor eksternal (luar) meliputi :
a. Lingkungan Lingkungan merupakan
faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan
yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan
lingkungan yang kurang baik akan menghambatnya. Faktor lingkungan ini secara
garis besar dibagi menjadi lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih
di dalam kandungan (faktor pranatal) dan lingkungan yang mempengaruhi tumbuh
kembang anak setelah lahir (faktor postnatal).
a.) Faktor Lingkungan Pranatal
1)
(Gizi Ibu pada waktu hamil Gizi ibu yang jelek sebelum terjadinya
kehamilan maupun pada waktu sedang hamil, lebih sering menghasilkan bayi
BBLR/lahir mati, menyebabkan cacat bawaan, hambatan pertumbuhan otak, anemia
pada bayi baru lahir,bayi baru lahir mudah terkena infeksi, abortus dan
sebagainya (Soetjiningsih, 1995:3).
2)
Mekanis Trauma dan cairan ketuban yang kurang, posisi janin dalam uterus
dapat menyebabkan kelainan bawaan, talipes, dislokasi panggul, tortikolis
kongenital, palsi fasialis, atau kranio tabes (Soetjiningsih, 1995:3).
3)
Toksin/zat kimia Zat-zat kimia yang dapat menyebabkan kelainan bawaan
pada bayi antara lain obat anti kanker, rokok, alkohol beserta logam berat
lainnya (Soetjiningsih, 1995:3).
4)
Endokrin Hormon-hormon yang mungkin berperan pada pertumbuhan janin,
adalah somatotropin, tiroid, insulin, hormon plasenta, peptida-peptida lainnya
dengan aktivitas mirip insulin. Apabila salah satu dari hormon tersebut
mengalami defisiensi maka dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada
pertumbuhan susunan saraf pusat sehingga terjadi retardasi mental, cacat bawaan
dan lain-lain (Soetjiningsih, 1995:3).
5)
Radiasi Radiasi pada janin sebelum umur kehamilan 18 minggu dapat
menyebabkan kematian janin, kerusakan otak, mikrosefali, atau cacat bawaan
lainnya, sedangkan efek radiasi pada orang laki-laki dapat menyebabkan cacat
bawaan pada anaknya (Soetjingsih, 1995:4).
6)
Infeksi Setiap hiperpirexia pada ibu hamil dapat merusak janin. Infeksi
intrauterin yang sering menyebabkan cacat bawaan adalah TORCH, sedangkan
infeksi lainnya yang juga dapat menyebabkan penyakit pada janin adalah
varisela, malaria, polio, influenza dan lain-lain (Soetjingsih, 1995:4).
7)
Stress Stres yang dialami oleh ibu pada waktu hamil dapat mempengaruhi
tumbuh kembang janin, antara lain cacat bawaan, kelainan kejiwaan dan lain-lain
(Soetjingsih, 1995:4).
8)
Imunitas Rhesus atau ABO inkomtabilitas sering menyebabkan abortus,
hidrops fetalis, kern ikterus, atau lahir mati (Soetjingsih, 1995:4).
9)
Anoksia embrio Menurunnya oksigenisasi janin melalui gangguan pada
plasenta atau tali pusat, menyebabkan BBLR (Soetjingsih, 1995:4).
b.) Faktor Lingkungan Postnatal
Lingkungan postnatal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak secara umum dapat
digolongkan menjadi :
1. Lingkungan biologis, yang
dimaksud adalah:
1)
ras/suku bangsa, bangsa eropa mempunyai pertumbuhan somatik lebih tinggi
daripada bangsa asia
2)
jenis kelamin, laki-laki lebih sering sakit daripada perempuan namun
belum diketahui alasannya.
3)
Umur umur yang paling rawan adalah balita maka anak mudah sakit dan
terjadi kurang gizi. Disamping itu masa balita merupakan dasar pembentukan
kepribadian anak sehingga diperlukan perhatian khusus (Soetjiningsih, 1995:6).
4)
Gizi Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, dimana
kebutuhan anak berbeda dengan orang dewasa, karena makanan bagi anak dibutuhkan
juga untuk pertumbuhan, dimana dipengaruhi oleh ketahanan makanan (food
security) keluarga. Satu aspek yang penting yang perlu ditambahkan adalah
keamanan pangan (food safety) yang mencakup pembebasan makanan dari berbagai
”racun” fisika, kimia, biologis yang kian mengancam kesehatan manusia
(Soetjingsih, 1995:7).
5)
Perawatan kesehatan perawatan kesehatan yang teratur tidak hanya saat
anak sakit, tetapi pemeriksaan kesehatan dan menimbang anak secara rutin akan
menunjang tumbuh kembang anak (Soetjingsih, 1995:7).
6)
Fungsi metabolisme Khusus pada anak, karena adanya perbedaan yang
mendasar dalam proses metabolisme pada berbagai umur, maka kebutuhan akan
berbagai nutrien harus didasarkan atas perhitungan yang tepat atau
setidak-tidaknya memadai (Soetjiningsih, 1995:7).
7)
Jarak kelahiran kurang dari 2 tahun Bila jarak kelahiran dengan anak
sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim Ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan
dalam keadaaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan pertumbuhan janin
kurang baik, mengalami persalinan lama/ perdarahan (Soetjiningsih, 1995:5).
8)
Riwayat Balita Berat Lahir rendah (BBLR) Ibu yang lingkar lengan atas
kurang dari 23,5 cm perlu diwaspadai karena berarti Ibu mungkin menderita
kekurangan energi kronik (KEK) atau 23 kekurangan gzi. Bila hamil Ibu akan
melahirkan bayi berat lahi rendah (BBLR) dan pertumbuhan perkembangan janin
terhambat. Anak yang lahir dari Ibu yang gizinya kurang dan hidup di lingkungan
miskin akan mengalami kurang gizi dan mudah terkena penyakit infeksidan
selanjutnya mengahasilkan wanita dewasa yang berat dan tinggi badannya kurang
(Soetjiningsih, 1995:3).
9)
Riwayat persalinan Ibu Bila Ibu hanil pernah mengalami kehamilan dan
persalinan yang bermasalah sebelumnya, Ibu perlu memperhatikan riwayat
perdarahan, kejang-kejang, demam tinggi, persalinan lama (>12 jam),
melahirkan dengan caesar, bayi lahir mati akan mempengaruhi pertumbuhan janin
(Soetjiningsih, 1995:3).
2. Faktor Fisik, antara lain :
1)
Sanitasi Sanitasi lingkungan mempunyai peran yang cukup dominan dalam
penyediaan lingkungan yang mendukung kesehatan anak dan tumbuh kembangnya.
Kebersihan, baik kebersihan perorangan maupun lingkungan memegang peranan
penting dalam timbulnya penyakit. Akibat kebersihan yang kurang, maka anak akan
sering sakit, misalnya diare, kecacingan, dan sebagainya. Demikian pula dengan
polusi udara baik yang berasal dari pabrik, asap kendaraan, atau asap rokok
dapat berpengaruh terhadap tingginya angka kejadian ISPA. Apabila anak sering
menderita sakit maka tumbuh kembangnya akan terganggu (Soetjiningsih, 1995:8).
2)
Cuaca Musim kemarau yang panjang
atau adanya bencana alam lainnya dapat berdampak pada tumbuh kembang anak
antara lain sebagai akibat gagal panen sehingga banyak anak kurang gizi.
Demikian pula gondok endemik banyak ditemukan pada daerah pegunungan, dimana
air tanahnya kurang mengandung yodium (Soetjiningsih, 1995:8).
3. Faktor Psikososial,
antara lain :
1)
Stimulasi Stimulasi merupakan hal yang penting dalam tumbuh kembang
anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat
berkembang dibandingkan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi
(Soetjiningsih, 1995:9).
2)
Kualitas interaksi anak-orangtua Interaksi timbal balik antara anak dan
orangtua akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Interaksi tidak ditentukan
oleh seberapa lama kita bersama anak, tetapi lebih ditentukan oleh kualitas
dari interaksi tersebut, yaitu pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan
upaya optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi oleh rasa saling
menyayangi (Soetjiningsih, 1995:10).
4. Faktor keluarga dan
adat istiadat, antara lain :
1)
Pekerjaan/ Pendapatan keluarga (orangtua) Pendapatan keluarga yang
memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan
semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder (Soetjiningsih,
1995:10).
2)
Pendidikan Ayah/Ibu Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang
penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka
orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara
pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, atau
pendidikannya (Soetjiningsih, 1995:10).
3)
Pengetahuan Ibu Pemilihan makanan dan kebiasaan diet, dipengaruhi oleh
pengetahuan, sikap terhadap makanan, dan praktik-praktik. Pengetahuan tentang
nutrisi melandasi pemilihan makanan dan mempunyai asosiasi positif dengan
pengembangan pola-pola konsumsi makanan dalam keluarga. Beberapa studi
menunjukkan bahwa apabila pengetahuan ibu tentang nutrisi dan
praktik-praktiknya baik, maka usaha untuk memilih makanan yang bernilai nutrisi
makin meningkat. Ibu rumah tangga yang mempunyai pengetahuan nutrisi akan
memilih makanan yang lebih bergizi daripada yang kurang bergizi (Mulyono
Joyomartono, 2005:98).
D.
Teori dan Prinsip Pertumbuhan
1.
Teori Pertumbuhan
a.
Teori Deprivasi Pertumbuhan (Konvensional)
Mendeskripsikan pertumbuhan sebagai suatu patokan yang pasti, seorang
anak telah memiliki patokan tersebut sejak lahir, yang bersifat tunggal dan ia
akan tetap berada pada kurva pertumbuhan tersebut selama hidupnya dan ia akan
jatuh ke keadaan terganggu manakala faktor lingkungannya tiak mendukung
b.
Teori Homeostatik Pertumbuhan
Menjelaskan bahwa faktor genetic berperan dalam memberikan ruang
pertumbuhan potensial, suatu kawasan berspektrum luas. Faktor lingkungan
membentuk kurva pertumbuhan pada kawasan tersebut, dikontrol oleh mekanisme
homeostatik
c.
Teori Potensi Pertumbuhan Optimal
Mendeskripsikan bahwa faktor genetic menyediakan batas atas kurva
pertumbuhan, yang apabila faktor lingkunagan seorang anak mendukung
pertumbuhannya akan tercapai, sebaliknya kelemahan faktor lingkungan dapat
memnyebabkan tidak tercapainya kurva pertumbuhan maksimal
2.
Prinsip Pertumbuhan
Menurut Sutterly Donnely (1973) terhadap 10
prinsip dasar pertumbuhan:
a.
Pertumbuhan adalah kompleks, semua aspek-aspeknya berhubungan sangat
erat
b.
Pertumbuhan mencakup hal-hal kuntitatif dan kualitatif
c.
Pertumbuhan adalah proses yang berkesinambungan dan terjadi secara teratur
d.
Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat keteraturan arah
e.
Tempo pertumbuhan tiap anak tidak sama
f.
Aspek-aspek berbeda dari pertumbuhan, berkembang pada waktu dan
kecepatan berbeda
g.
Kecepatan dan pola pertumbuhan dapat dimodifikasikan oleh faktor intrinsic
dan ekstrinsik
h.
Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat masa-masa krisis
i.
Pada suatu organism akan kecenderungan untuk mencapai potensi
perkembangan yang maksimum
j.
Setiap indivisu tumbuh dengan caranya sendiri yang unik
E.
Parameter dan cara penilaian pertumbuhan
Untuk memantau keadaan gizi masyarakat, kelompok anak balita merupakan
parameter yang sangat sesuai karena dinilai berada pada masa yang cukup
sensitif. Hal ini berhubungan erat dengan konsumsi energi dan protein yang
merupakan dua jenis zat gizi yang paling sering menimbulkan masalah gizi
kesehatan pada skala nasional atau daerah luas regional di Indonesia (Sediaoetama
2008). Masa balita merupakan masa kritis dalam
upaya menciptakan SDM yang berkualitas. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang
gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan balita di masa
yang akan datang dan sulit diperbaiki (Shekar, Heaver et al. 2006; Erni and Rialihanto 2008).
Status gizi terutama ditentukan oleh ketersediaan zatzat gizi pada
tingkat sel dalam jumlah yang cukup dan kombinasi yang tepat yang diperlukan
tubuh untuk tumbuh, berkembang, dan berfungsi normal. Oleh karena itu, pada
prinsipnya status gizi ditentukan oleh dua hal, yaitu: asupan zat-zat gizi yang
berasal dari makanan yang diperlukan tubuh serta peran faktor yang menentukan
besarnya kebutuhan, penyerapan, dan penggunaan zat-zat gizi tersebut (Erni and Rialihanto 2008; Waspadji, Suyono et al. 2010).
Pemantauan pertumbuhan memerlukan
standar yang tepat yang bertujuan untuk mendeteksi dini adanya gangguan
pertumbuhan, memantau status gizi serta dapat meningkatkan gizi anak, menilai
dampak kegiatan intervensi medis dan nutrisi, serta deteksi dini penyakit yang
mendasari gangguan pertumbuhan. Adapun pengukran pertumbuhan balita dapat
dilakukan sebagai berikut (LAB 2012):
1.
Alat-alat
Perlengkapan pengukuran dasar seperti timbangan
berat badan yang sudah ditera, papan pengukur panjang /tinggi badan, pita
pengukur lingkar kepala, pita pengukur lengan kiri atas.
2.
Persiapan
Untuk anak <2 tahun: timbangan
pediatrik dengan alas tidur (pediatric
scale with pan). (Gambar 1)
Gambar 1. Timbangan pediatrik (pediatric
scale)
Gambar 2. Beam balance scale
UNISCALE (timbangan elektronik untuk
menimbang ibu dan anak sekaligus (Gambar
3)
Timbangan berat badan yang
direkomendasikan adalah sbb:
-
Solidity built dan durable
-
Elektronik (digital)
-
Dapat mengukur berat sampai 150 kg
-
Mengukur sampai ketelitian 0,1 kg (100g)
-
Penimbangan berat badan dengan cara ditera
Timbangan harus ditera secara
berkala sesuai dengan spesifikasi masing-masing timbangan.
Anak dalam kondisi tidak berpakaian
atau berpakaian minimal
3.
Mengukur pertumbuhan anak
Mulai dari catatan pertumbuhan (growth record) anak, Tentukan umur anak
pada saat pengukuran. Kenali tanda-tanda klinis marasmus dan kwashiorkor
Ukur dan catat berat badan anak.
Ukur dan catat lingkar kepala anak
Ukur dan catat lingkar lengan kiri
atas anak
Tentukan BMI dengan menggunakan
tabel atau kalkulator
BMI = BB (kg)
-------------
[TB ]2 (m2)
4.
Tanda-tanda marasmus dan kwashiorkor
Tanda-tanda klinis marasmus dan kwashiorkor perlu
diketahui karena perlu penanganan khusus segera yang meliputi pemberian asupan
khusus, pemantauan ketat, antibiotika, dll. Anak dengan kondisi seperti ini
sebaiknya segera dirujuk.
5.
Pengukuran berat badan
Mengukur berat badan anak usia di
bawah 2 tahun. Penimbangan juga dapat dilakukan dengan timbangan pediatrik.
Pada penimbangan dengan menggunakan alat ini, harus dipastikan anak ditempatkan
di alas baring sehingga berat badan terdistribusi secara merata. Setelah anak
berbaring dengan tenang, berat badan dicatat. (Gambar 1).
Bila tidak ada alternatif, dapat
digunakan UNISCALE. (Gambar 3)
·
Mengukur berat badan anak usia >2 tahun dengan beam balance scale atau timbangan
elektronik
·
Penimbangan sebaiknya dilakukan setelah anak mengosongkan kandung kemih
dan sebelum makan.
·
Timbangan harus ditempatkan di alas yang keras dan datar serta
dipastikan ada pada angka nol sebelum digunakan.
·
Anak berdiri tenang di tengah timbangan dan kepala menghadap lurus ke
depan, tanpa dipegangi.
·
Adanya edema atau massa harus dicatat. Berat badan dicatat hingga 0,1 kg
terdekat.
6.
Pengukuran panjang badan
Untuk bayi dan anak dengan panjang
badan ≤85 cm, panjang badan diukur menggunakan papan pengukur kayu atau Perspex
(Perspex measuring board, (Gambar 4).
Gambar 4. Papan pengukur panjang (Length board)
Pengukuran dilakukan oleh dua
pemeriksa untuk memastikan posisi anak secara benar agar hasilnya akurat dan
dapat dipercaya.
Anak diposisikan dengan wajah
menghadap ke atas, kepala menempel pada sisi yang terfiksasi (Gambar 5), bahu menempel di permukaan
papan, dan tubuh paralel terhadap aksis papan.
Pemeriksa kedua memegang kaki anak,
tanpa sepatu, jari kaki menghadap ke atas, dan lutut anak lurus.
Ujung papan yang dapat digerakkan,
didekatkan hingga tumit anak dapat menginjak papan (Gambar 6).
Bila anak tidak dapat diam,
pengukuran dapat dilakukan hanya dengan mengukur tungkai kiri.
Gambar 6. Pengukuran panjang badan
Cantumkan hasil pengukuran pada
grafik sesuai umur.
7.
Pengukuran tinggi badan
Untuk anak dengan tinggi badan
>85 cm atau berusia >2 tahun dan sudah bisa berdiri, pengukuran tinggi
badan harus dilakukan dalam posisi berdiri karena terdapat perbedaan sebesar
0.7 cm antara pengukuran dalam posisi berdiri dan berbaring.
Jika memungkinkan, gunakan free-standing stadiometer atau
anthropometer (Gambar 7).
Gambar 7. Papan pengukur tinggi (height board)
Pengukuran juga dapat dilakukan
dengan right-angle headboard dan
batang pengukur, pita yang tidak meregang dan terfiksasi ke dinding, atau wall-mounted stadiometer.
Pakaian anak seminimal mungkin
sehingga postur tubuh dapat dilihat dengan jelas. Sepatu dan kaos kaki harus
dilepas.
Anak diminta berdiri
tegak, kepala dalam posisi horisontal, kedua kaki dirapatkan, lutut lurus, dan
tumit, bokong, serta bahu menempel pada dinding atau permukaan vertikal stadiometer atau anthropometer. Kedua lengan berada disisi tubuh dan telapak tangan menghadap
ke paha; kepala tidak harus menempel pada permukaan vertikal. Untuk anak yang
lebih muda, tumit perlu dipegang agar kaki tidak diangkat (Gambar 8).
Gambar 8. Pengukuran tinggi badan posisi berdiri
Papan di bagian kepala yang dapat bergerak
(movable head-board) diturunkan
perlahan hingga menyentuh ujung kepala. Tinggi badan dicatat saat anak
inspirasi maksimal dan posisi mata pemeriksa paralel dengan papan kepala. Tinggi
badan diukur hingga milimeter terdekat. Cantumkan hasil pengukuran pada grafik
sesuai umur.
8.
Pengukuran lingkar kepala
Cara pengukuran
Pengukuran lingkar kepala dilakukan
pada semua bayi dan anak secara rutin untuk mengetahui adanya mikrosefali,
makrosefali, atau normal sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Alat yang
dipakai adalah pita pengukur fleksibel, terbuat dari bahan yang tidak elastik
(pita plastik atau metal yang fleksibel). Sebaiknya ada yang membantu memegang
kepala bayi/anak selama pemeriksaan agar posisi kepala anak tetap. Kepala
pasien harus diam selama diukur
Pita pengukur ditempatkan melingkar
di kepala pasien melalui bagian yang paling menonjol (protuberantia occipitalis) dan dahi (glabella), pita pengukur harus kencang mengikat kepala.
Cantumkan hasil pengukuran pada
grafik lingkar kepala.
Interpretasi
Pemeriksaan lingkar kepala secara
serial dapat menentukan pertumbuhan dan perkembangan otak: normal, terlalu
cepat (keluar dari jalur pertumbuhan normal) seperti pada hidrosefalus ,
terlambat atau tidak tumbuh yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit. Jika
lingkar kepala lebih besar dari 2 SD di atas angka rata-rata untuk umur dan
jenis kelamin/ras (> + 2 SD) disebut makrosefali. Bila lingkar kepala lebih
kecil dari 2 SD di bawah angka rata-rata untuk umur dan jenis kelamin/ras (<
- 2 SD) disebut mikrosefali.
9.
Pengukuran lingkaran lengan kiri atas.
Alat pengukuran yang dipakai adalah
pita skala Shakir yang disederhanakan oleh Morley dengan memberi warna hijau,
kuning dan merah agar mudah dipahami. Pengukuran dilakukan pada pertengahan
lengan kiri atas, antara akromion dan olekranon.
Ukuran normal lingkaran lengan :
Bayi baru lahir : 11 cm
Umur 1 tahun : 16 cm
Umur 5 tahun : 17 cm.
Apabila hasil pengukuran terdapat
pada warna hijau, hasil pengukuran adalah normal. Interpretasi
kecenderungan pada kurva pertumbuhan, dan menentukan apakah anak tumbuh normal,
mempunyai masalah pertumbuhan atau berisiko mengalami masalah pertumbuhan. Peningkatan
dan penurunan tajam pada garis pertumbuhan (growth
line).
10. Garis pertumbuhan datar (flat growth line/stagnation)
Kecenderungan pada BMI terhadap umur. BMI tidak
meningkat sesuai dengan umur. Pada kurva normal, BMI pada bayi meningkat tajam
dimana pencapaian berat cepat relatif terhadap panjang badan pada 6 bulan
kehidupan. BMI kemudian menurun kemudian setelah itu dan relatif stabil dari
umur 2 tahun sampai 5 tahun. BMI terhadap umur bermaanfaat untuk skrining overweight dan obesitas. Jika mengatakan
anak overweight, perhatikan berat
badan orangtuanya. Jika salah satu orangtua obese,
40% kemungkinan menjadi overweight,
jika keduanya, 70% kemungkinan anak mengalami overweight.
F.
Kebutuhan gizi pada Balita
Masa
Balita merupakan penentu kehidupan selanjutnya. Agar tumbuh kembang optimal,
berikan anak balita makanan dengan gizi seimbang (Kemenkes 2011).
1. MAKANAN YANG BAIK BAGI ANAK
•
Sumber zat tenaga ( beras, beras jagung,kentang, sagu, bihun, mie, roti,
makaroni, biskuit).
•
Sumber zat pembangun ( ayam, ikan, daging, telur, hati, keju, susu,
kacang-kacangan, tahu, tempe).
•
Sumber zat pengatur ( sayur dan buah yang berwarna segar).
2. BAHAN MAKANAN YANG DIBATASI
Makanan
dan minuman yang manis/gurih seperti: dodol, coklat (kecuali coklat bubuk),
permen, junk food dan soft drink.
3. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN :
Gunakan bahan makanan yang beraneka ragam
- Pilih bahan
makanan yang mudah dicerna
- Irisan lauk pauk
dan sayur dibuat dalam potongan- potongan kecil
• Gunakan bumbu yang tidak terlalu merangsang/pedas
• Hindari makanan yang membuat tersedak seperti kacang
goreng, anggur atau klengkeng dalam bentuk utuh.
• Gunakan alat makan yang aman, menarik dan berwarna-
warni
• Agar anak balita mau makan sendiri, bujuk dan dampingi
dengan sabar.
G.
Masalah gizi pada Balita
Kunjungan petugas puskesmas sebaiknya lebih ditingkatkan untuk
memberikan pelayanan kesehatan, penyuluhan gizi, dan hal-hal lain dalam rangka
meningkatkan status kesehatan dan gizi pada masyarakat SAD terutama anak balita (Erni and Rialihanto 2008). Usia
terbanyak pada kelompok balita stunting yaitu usia 25–36 bulan, sedangkan pada
kelompok balita normal terbanyak pada usia 12–24 bulan. Terbagi dalam beberapa
tahapan usia pada balita, dikatakan masa rawan di mana balita sering mengalami
infeksi dan atau gangguan status gizi adalah usia antara 12–24 bulan, karena
pada usia ini balita mengalami masa peralihan dari bayi menjadi anak. Pada usia
ini banyak perubahan pola hidup yang terjadi, diantaranya perubahan pola makan
dari yang semula ASI bergeser ke arah makanan padat, beberapa balita mulai
mengalami kesulitan makan, sedangkan balita sudah mulai berinteraksi dengan
lingkungan yang tidak sehat. Apabila pola pengasuhan tidak betul diperhatikan,
maka balita akan lebih sering beberapa penyakit terutama penyakit infeksi.
Kejadian penyakit infeksi yang berulang tidak hanya berakibat pada menurunnya
berat badan atau akan tampak pada rendahnya nilai indikator berat badan menurut
umur, akan tetapi juga indikator tinggi badan menurut umur (Welasasih and Wirjatmadi 2012).
Hal tersebut bisa dijelaskan bahwa status gizi stunting disebut juga
sebagai gizi kurang kronis yang menggambarkan adanya gangguan pertumbuhan
tinggi badan yang berlangsung pada kurun waktu cukup lama. Pada kelompok balita
stunting sebagian besar balita berada pada kelompok umur 23–36 bulan,
kemungkinan mereka pernah mengalami kondisi gizi kurang pada saat berada di
tahapan usia 12–24 bulan atau bahkan sebelumnya. Dengan demikian manifestasi
stunting semakin tampak pada mereka saat berada pada tahapan usia 23–36 bulan.
Keadaan ini sesuai dengan pendapat Soetjiningsih (2005), bahwa umur yang paling
rawan adalah masa balita, oleh karena pada masa itu anak mudah sakit dan mudah
terjadi kurang gizi. Masa balita merupakan dasar pembentukan kepribadian anak sehingga
diperlukan perhatian khusus. Selain itu, masa balita adalah masa yang cukup
penting karena pada kelompok usia balita mengalami proses perkembangan dan
pertumbuhan yang cepat dan menentukan kualitas anak di kemudian hari dalam
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sedangkan pada kelompok umur
6–23 bulan merupakan kelompok umur yang sedang mengalami pertumbuhan kritis.
Oleh karenanya penanganan gizi kurang pada kelompok umur ini (6–23 bulan)
menjadi lebih diperhatikan karena apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mengalami kegagalan tumbuh (growth failure) (Soetjiningsih and Gde 2005; Welasasih and Wirjatmadi 2012).
Keaktifan balita ke posyandu sangat besar pengaruhnya terhadap
pemantauan status gizi. Posyandu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan
bulanan, balita yang setiap bulan aktif ke posyandu akan mendapatkan
penimbangan berat badan, pemeriksaan kesehatan jika ada masalah, pemberian
makanan tambahan dan penyuluhan gizi. Balita yang rutin dilakukan penimbangan
berat badan dan tinggi badan setiap bulannya, akan diketahui perubahan status
gizinya. Anak sehat adalah anak yang berat badannya mengalami kenaikan karena
pertambahan tinggi badan bukan karena anak semakin gemuk. Kehadiran ke posyandu
bisa menjadi indikator terjangkaunya pelayanan kesehatan pada balita, karena
dengan hadir rutin balita akan mendapat imunisasi dan program kesehatan lain
seperti vitamin A dan kapsul yodium. Dengan tercakupnya balita dengan program
kesehatan dasar maka diharapkan balita terpantau perkembangan dan
pertumbuhannya, minimal selama masa balita, di mana masa ini adalah masa
rawan/rentan terhadap penyakit infeksi dan rentan terkena penyakit gizi. Hal ini sesuai dengan pendapat Aritonang
(2003), bahwa upaya pelayanan kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan
kesehatan dan status gizi anak sehingga terhindar dari kematian dini dan mutu
fisik yang rendah (Aritonang 2003).
Peran pelayanan kesehatan telah lama diadakan untuk memperbaiki status
gizi. Pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap kesehatan dengan adanya
penanganan yang cepat terhadap masalah kesehatan terutama masalah gizi.
Pelayanan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan sangat membantu
dalam meningkatkan derajat kesehatan. Dengan pelayanan kesehatan masyarakat
yang optimal kebutuhan kesehatan masyarakat akan terpenuhi. Memantau status gizi penduduk
secara rutin merupakan bentuk komitmen untuk menjaga akuntabilitas pelaksanaan
program melalui penyediaan data dan informasi berbasis bukti dan spesifik
wilayah untuk daerah dan pusat. Untuk itu, sejak tahun 2014 telah dilaksanakan
Pemantauan Status Gizi (PSG) yang bermanfaat sebagai sumber informasi yang
cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan yang dapat digunakan untuk
perencanaan, penentuan kebijakan dan monitoring serta pengambilan tindakan
intervensi.
Berdasarkan hasil PSG 2015
menunjukkan hasil yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Persentase balita
dengan gizi buruk dan sangat pendek mengalami penurunan. PSG 2015
menyebut 3,8% Balita mengalami gizi buruk. Berikut adalah
Hasil PSG 2015, antara lain (Kemenkes 2016):
·
Status Gizi Balita menurut Indeks Berat Badan per Usia (BB/U),
didapatkan hasil: 79,7% gizi baik; 14,9% gizi kurang; 3,8% gizi buruk, dan 1,5%
gizi lebih.
·
Status Gizi Balita Menurut Indeks Tinggi Badan per Usia (TB/U),
didapatkan hasil: 71% ormal dan 29,9% Balita pendek dan sangat pendek.
·
Status Gizi Balita Menurut Indext Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB),
didapatkan hasil,: 82,7% Normal, 8,2% kurus, 5,3% gemuk, dan 3,7% sangat kurus.
Tingkat keseringan balita menderita penyakit infeksi lebih banyak
terdapat pada kelompok stunting daripada kelompok normal. Banyak faktor yang
Memengaruhi status gizi diantaranya adalah faktor penyebab langsung yang
meliputi asupan gizi dan penyakit infeksi. Balita yang sering mendapat infeksi
dalam waktu yang lama tidak hanya berpengaruh terhadap berat badannya akan
tetapi juga berdampak pada pertumbuhan linier. Status gizi TB/U merupakan
cerminan status gizi masa lampau yang menggambarkan kondisi anak pada waktu
yang lalu. Timbulnya status gizi stunting tidak hanya karena makanan yang
kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik
tetapi sering menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi.
Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka
daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian akan mudah diserang
infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang
gizi.
Masalah Gizi Pada Balita :
·
Balita gemuk
Ditandai dengan kurangnya berat
badan menurut panjang/tinggi badan anak (BB/TB). Panjang badan digunakan untuk
anak berumur kurang dari 24 bulan dan tinggi badan digunakan untuk anak berumur
24 bulan ke atas. Balita gemuk disebabkan karena kebiasaan pemberian makanan
yang kurang baik, banyak makanan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan
anak. Kondisi balita gemuk terjadi dalam waktu yang lama (tidak terjadi
mendadak), maka ciri masalah gizinya merupakan masalah gizi kronis.
·
Balita gizi kurang
Ditandai dengan kurangnya berat
badan menurut umur anak (BB/U). Anak dengan gizi kurang dapat diakibatkan oleh
kekurangan makan atau karena anak tersebut pendek. Status gizi tersebut tidak
memberikan indikasi spesifik tentang karakteristik masalah gizi yang diderita
(akut, kronis atau akut-kronis), tapi secara umum mengindikasikan adanya
gangguan gizi.
·
Balita kurus (wasting)
Ditandai dengan kurangnya berat
badan menurut panjang/tinggi badan anak (BB/TB). Panjang badan digunakan untuk
anak berumur kurang dari 24 bulan dan tinggi badan digunakan untuk anak berumur
24 bulan ke atas. Balita kurus disebabkan karena kekurangan makan atau terkena
penyakit infeksi yang terjadi dalam waktu yang singkat. Karakteristik masalah
gizi yang ditunjukkan oleh balita kurus adalah masalah gizi akut.
·
Balita pendek (stunting)
Ditandai dengan kurangnya
tinggi/panjang badan menurut umur anak (TB/U). Panjang badan digunakan untuk
anak berumur kurang dari 24 bulan dan tingga badan digunakan untuk anak berumur
24 bulan ke atas. Balita pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama,
maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi
yang sifatnya kronis.
·
Gizi baik
Keadaan gizi seseorang terjadi karena seimbangnya jumlah
asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (required) oleh tubuh yang
ditandai dengan berat badan menurut umur (BB/U) yang berada pada > -2SD
sampai 2 SD tabel baku WHO-NCHS. (Sumber: Pemantauan Pertumbuhan Balita, Dit.
GM, Depkes, 2003)
·
Gizi kurang (under nutrition)
Keadaan kurang zat gizi tingkat sedang yang disebabkan
oleh rendahnya asupan energi dan protein dalam waktu cukup lama yang ditandai
dengan berat badan menurut umur (BB/U) yang berada pada <-2 SD sampai
>-3SD tabel baku WHO-NCHS. (Sumber: Pemantauan Pertumbuhan Balita, Dit. GM,
Depkes, 2003)
·
Gizi lebih (over nutrition)
Keadaan kelebihan zat gizi yng disebabkan oleh kelebihan
konsumsi energi dan protein yang ditandai dengan berat badan menurut umur
(BB/U) yang berada pada >2SD tabel baku WHO-NCHS. (Sumber: Pemantauan
Pertumbuhan Balita, Dit. GM, Depkes, 2003)
·
KEP = Kurang Energi Protein
Keadaan kurang zat gizi tingkat sedang yang disebabkan
oleh rendahnya asupan energi dan protein dalam waktu cukup lama yang ditandai
dengan berat badan menurut umur (BB/U) yang berada pada <-2 SD sampai
>-3SD tabel baku WHO-NCHS. (Sumber: Pemantauan Pertumbuhan Balita, Dit. GM,
Depkes, 2003)
Schroeder (2001), menyatakan bahwa kekurangan gizi dipengaruhi oleh
functional outcome (misalnya kognitif, status gizi/pertumbuhan, kematian,
asupan makan, perawatan/pola asuh ketersediaan makanan, penyakit infeksi, dan
pelayanan kesehatan), sedangkan penyebab mendasar adalah asupan makan,
perawatan (pola asuh) dan pelayanan kesehatan. Pendapat lain juga mengatakan
bahwa infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur, tetapi lebih
nyata pada kelompok anak. Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap defi
siensi energi, protein, dan gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga
asupan makanan berkurang. Kebutuhan energi pada saat infeksi bisa mencapai dua
kali kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme basal, sehingga hal ini
menyebabkan deplesi otot dan glikogen hati (Thoha, 1995).
Balita pada kelompok stunting lebih banyak yang menderita sakit dalam
waktu lama dibandingkan jumlah balita pada kelompok normal. Sebagian besar
balita pada kelompok stunting tersebut menderita penyakit ISPA. Balita yang
sering mengalami sakit dalam waktu yang lama akan segera berpengaruh pada
keadaan gizinya, karena adanya sakit akan diikuti nafsu makan menurun yang pada
akhirnya berat badan anak juga akan ikut menyusut seiring dengan berkurangnya
nafsu makan. Apabila kondisi ini terjadi dalam waktu lama dan tidak segera
diatasi maka akan berpengaruh pada status gizinya. Sedangkan penyakit ISPA
maupun diare merupakan jenis penyakit yang sering diderita balita dalam waktu
lama jika tidak segera diobati. Hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan
bahwa penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi buruk.
Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi dapat menyebabkan
turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi berkurang padahal anak justru
memerlukan zat gizi yang lebih banyak. Penyakit infeksi sering disertai oleh
diare dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sejumlah zat
gizi seperti mineral, dan sebagainya (Moehji, 2002).
BAB III
KESIMPULAN
Balita merupakan masa
emas terjadinya pertumbuhan. Pertumbuhan terjadi sangat pesat pada umur
tersebut. Peningkatan berupa ukuran tubuh yang terjadi pada balita seperti perubahan fisik dengan bertambahnya berat badan dan tinggi
badan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan balita. Faktor tersebut
perlu dijaga agar Balita dapat bertumbuh menjadi balita sehat. Sehingga dalam
menganani masalah pertumbuhan Balita dapat segera ditangani.
Penanganan masalah
pertumbuhan balita dapat dilakukan melalui pemantaun pertumbuhan balita.
Pemantauan tersebut dapat dilakukan dengan mengikuti kegitan posyandu. Hal ini
penting karena melalui pemantauan tersebut, Ibu dapat melihat bagaimana
pertumbuhan anak dari bulan ke bulan. Jika terdapat masalah pertumbuhan maka
ibu dapat segera mengatasi masalah pertumbuhan tersebut dengan tanggap.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, I. (2003).
"Pemantauan Pertumbuhan Balita." Pt. Kanisius Jakarta.
Depkes,
R. (2000). "Pedoman Tatalaksana Kekurangan Energi Protein Pada Anak Di
Rumah Sakit Kabupaten/Kodya." Jakarta: Departemen Kesehatan Ri.
Erly,
H. (2015). Pengaruh Pengetahuan Gizi Ibu Dan Pendapatan Orang Tua Terhadap Pola
Makan Anak Balita Umur 6 Bulan-5tahun Di Dusun 1 Desa Palumbungan Kecamatan
Bobotsari Kabupaten Purbalingga, Uny.
Erni,
M. And M. P. Rialihanto (2008). "Pola Makan, Asupan Zat Gizi, Dan Status
Gizi Anak Balita Suku Anak Dalam Di Nyogan Kabupaten Muaro Jambi Provinsi
Jambi." Jurnal Gizi Klinik Indonesia 5(2): 84-90.
Evita,
J. And S. Abidillah Musyid (2009). Pengaruh Pelatihan Terhadap Pengetahuan,
Keterampilan, Kepatuhan Kader Posyandu Dalam Menerapkan Standar Pemantauan
Pertumbuhan Balita Di Kota Bitung, Sulawesi Utara, Universitas Gadjah Mada.
Kemenkes.
(2011). "Makanan Sehat Untuk Bayi." 23 September 2016, From Http://Gizi.Depkes.Go.Id/Wp-Content/Uploads/2012/08/Brosur-Anak-Balita-Dan-Bayi-Sehat_Rev.Pdf.
Kemenkes.
(2016, 22 Maret 2016). "Tahun 2015, Pemantauan Status Gizi Dilakukan Di
Seluruh Kabupaten/Kota Di Indonesia." 22 September 2016, From Http://Www.Depkes.Go.Id/Pdf.Php?Id=16032200005.
Kusminarti,
D. E. (2009). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pertumbuhan Balita Usia 2-4
Tahun Di Kelurahan Salaman Mloyo Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang,
Universitas Negeri Semarang.
Lab, T.
P. S. (2012). Penuntun Skills Lab Blok 1.6 Siklus Kehidupan. Padang, Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
Mitayani,
S. W. (2010). Buku Saku Ilmu Gizi, Jakarta: Cv. Trans Info Media.
Sediaoetama,
A. (2008). "Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa Dan Profesi Di Indonesia."
Jilid Ii. Jakarta: Dian Rakyat.
Shekar,
M., R. Heaver, Et Al. (2006). Repositioning Nutrition As Central To
Development: A Strategy For Large Scale Action, World Bank Publications.
Soetjiningsih,
P. And I. Gde (2005). "Tumbuh Kembang Anak." Jakarta. Egc.
Waspadji,
S., S. Suyono, Et Al. (2010). Pengkajian Status Gizi Studi Epidemiologi Dan
Penelitian Di Rumah Sakit Edisi Kedua, Jakarta: Balai Penerbit Fkui.
Welasasih,
B. D. And R. B. Wirjatmadi (2012). "Beberapa Faktor Yang Berhubungan
Dengan Status Gizi Balita Stunting." Public Health 8(3).
Wikipedia.
(2016, 3 Maret 2016). "Balita." 23 September 2016, From
Https://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Balita.
Post a Comment