BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dikutip dari baabun.com Kerajaan Pajajaran ialah nama lain dari Kerajaan suku Sunda, yang mana
Kerajaan Pajajaran tersebut berada di daerah Pakuan, Kota Bogor, Jawa Barat.
Kata Pakuan ini diambil dari kata Pakuwuan yang mempunyai arti kota,
kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang mengatakan ibu kota seagai sebutan kerajaan.
Ada beberapa catatan yang mengatakan
bahwa Kerajaan Pajajaran ini berdiri kurang lebih sekitar pada tahun 923 Masehi
dan didirikan atau dibentuk oleh Sri Jayabhupati, ibarat yang tercantum didalam
Prasasti Sanghyang Tapak tahun 1030 Masehi yang dijumpai di Desa Pangcalikan
dan Desa Bantarmuncang, Cibadak, Sukabumi, dan pinggir Sungai Cicatih. Di akhir
tahun 1400-an Kerajaan
Majapahit mulai menyurut. Pemberontakan
dan kegegeran terjadi dimana – mana, masing-masing antar saudara sedarah saling
berebutan kekuasaan kerajaan. Masa kejatuhan atau kerobohan
kepemimpinan Brawijaya V ini yang kemudian mengakibatkan kerabat-kerabat
Kerajaan Majapahit berlindung atau menyelamatkan diri ke ibukota Kerajaan Galuh
di daerah Kawali, Kuningan, Jawa Barat.(baabun : 2017)
B.
Rumusan Masalah
1. Sejarah Kerajaan Pajajaran
2. Nama – Nama Kerajaan Bercorak Hindu dan budha
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kerjaan Pajajaran
Dikutip dari baabun.com Kerajaan
Pajajaran adalah salah satu kerajaan hindu yang letaknya di daerah Pulau Jawa,
yakni berada di bagian Pulau Jawa bagian barat yang beribu kota di daerah
Bogor. Diterangkan dari beberapa sumber yang ditangkap menerangkan bahwa
Sejarah Pajajaran atau Kerajaan Pajajaran ini dibentuk pada tahun 923 Masehi.
Yang mana Kerajaan Pajajaran ini
dibentuk dan didirikan oleh Sri Jayabhupati yang juga dikatakan didalam
prasasti Sang Hyang Tapak di desa Banrarmuncang dan Pancilakan Sukabumi.
(baabun :2017)
Didalam sejarah, Kerajaan Pajajaran
ini terbentuk sesudah meninggalnya Wasta Kencana yang mana Wasta Kencana ini
meninggal kurang lebih pada tahun 1475 mengikuti sejarah Kerajaan Galuh. Raja
dari kerajaan ini dibagi menjadi dua bagian sesudah meninggalnya Rahyang Wastu
Kencana.
Dewa Niskala dan Prabu Susuktunggal
ialah merupakan dari dua bagian dari Kerajaan Galuh yang mempunyai tingkatan
yang sama.
Kerajaan Pajajaran yang letaknya
berada di wilayah Kota Bogor dibawah dari kepemerintahan Prabu Susuktunggal dan
Kerajaan Galuh yang meliputi Parahyangan yang mana Parahyangan ini bertepatan
di wilayah Kawali kawasan Dewa Siskala. Kedua raja itu tidak mendapatkan gelar
Prabu Siliwangi, karena kekuasaan-kekuasaan mereka tidak meliputi seluruh
wilayah tanah sunda.
Berbeda sekali dengan Prabu Siliwangi
yang awalnya diduduki oleh Prabu Wangi dan Rahyang Wastu. Sebelum terbentuknya
Kerajaan Pajajran, berikut ini terdapat beberapa kerajaan-kerajaan yang mungkin
perlu kalian ketahui untuk menambah wawasan tentang sejarah. Kerajaan tersebut
ialah terdiri dari Tarumanegara, Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Kawali.
B. Nama – Nama Kerjaan Bercorak Hindu dan Budha
1.
Sri Baduga Maharaja/Prabu
Siliwangi
Dikutip dari tirto.id Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (Ratu Jayadewata)
putra Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana lahir 1401 M di
Kawali Ciamis, mengawali pemerintahan zaman Pakuan Pajajaran Pasundan, yang
memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah
Pakuan Pajajaran di Bogor mencapai puncak perkembangannya.
Prabu Siliwangi adalah seorang raja
besar. Ia memerintah rakyatnya di kerajaan Pakuan Pajajaran Putra Prabu
Anggalarang atau Prabu dewa Niskala Raja dari kerajaan Gajah dari dinasti Galuh
yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh di Ciamis Jawa barat.
Pada masa mudanya ia dikenal dengan
nama Raden Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih,
seorang juru pelabuhan Muara Jati di kerajaan singapura (sebelum bernama kota
Cirebon).
Nama Siliwangi adalah berasal dari
kata "Silih" dan "Wawangi", artinya sebagai pengganti Prabu
Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan
bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai
silih yang telah hilang.
Orang Sunda tidak memperhatikan
perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana
(Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Cerita Parahiyangan disebutkan bahwa
Mahaprabu Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi.
Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari
Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan
mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu,
sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Niskala Wastu
Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan
Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih"
(pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu
Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para
pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung
dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Mahaprabu
Niskala Wastu Kancana. (tirto.id)
2.
Surawisesa (1521-1535)
Dikutip dari wacana.co : 2009/3 Surawisesa
Jayaprakosa adalah raja Sunda-Pajaran pengganti Sri Baduga Maharaja. Ia adalah
putra Sri Baduga dari Mayang Sunda (Kentring Manik Mayang), jadi cucu Prabu
Susuktunggal sekaligus cucu Ningratkancana (Dewa Niskala).
Sebelum menjadi raja, Surawisesa oleh
Sri Baduga ayahnnya, pada 1512, diperintahkan untuk menghubungi Alfonso
d’Albuquerque, Panglima Portugis di Malaka. Kepergiannya guna mencari bantuan
militer dalam menghadapi kekuatan Demak-Cirebon. Ia ditunjuk sebagai penguasa (tohaan)
di daerah Sanghyang yang meliputi Pelabuhan Sunda Kapala. Maka dari itu, oleh
penulis Portugis Tome Pires ia ditulis Ratu Samian.
Dengan pengirimannya ke Malaka, Sri
Baduga mengharapkan agar Surawisesa menjadi raja pedagang bukan raja pedalaman
seperti dirinya. Surawisesa kemudian ditunjuk sebagai pemimpin misi Pajajaran
ke Malaka.
Ada pun tokoh Ratu Sanghyang
(Sangiang) dalam Carita Parahyangan yang diberitakan gugur
dalam perang menghadapi pasukan Islam, bukanlah Sanghyang Surawisesa, melainkan
pengganti Surawisesa di wilayah Sanghyang (Tohaan Sanghyang) setelah Surawisesa
dinobatkan menjadi ratu di Pakuan. Ada pun tokoh Sanghyang yang gugur dalam
perang itu meninggal pada masa pemerintahan Nilankendra, ketika Pakuan diserbu
Banten.
Penobatan
Surawisesa dinobatkan menjadi raja
Pajajaran pada 1521, bertepatan dengan penobatan Sultan Trenggana menjadi
sultan Demak. Penobatannya dihadiri oleh orang-orang Portugis yang tiba di
Pakuan sebagai kunjungan balasan mereka yang sebelumnya. Pimpinan Portugis
ketika itu adalah Hendrik de Leme alias Hendrik Bule, ipar Alfonso
d’Albuquerque.
Setelah menjadi raja di Pakuan,
Surawisesa untuk kedua kalinya membuat perjanjian kerjasama dengan Portugis,
pada 21 Agustus 1522. Naskah yang dibuat dua rangkap—masing-masing memegang
satu naskah. Melalui perjanjian ini, Portugis diizinkan mendirikan benteng dan
gudang dagang di pelabuhan Sunda Kalapa. Sebagai balasannya, Portugis harus
membantu Pajajaran dalam menghadapi Cirebon-Demak.
Surawisesa dalam Carita
Parahyangan
Surawisesa dipuji oleh Carita
Parahyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran”
(perkasa), dan “kuwanen” (pemberani). Selama 14 tahun memerintah
Surawisesa melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita
Parahyanganterhadapnya memang berkaitan dengan hal ini.
Cerita Parahyangan menceritakan bahwa selama
berkuasa, Surawisesa melakukan peperangan selama 15 kali dan semuanya tak
terkalahkan. Namun, naskah ini tak menceritakan, pihak mana yang memulai
peperangan, apakah Pajajaran atau pihak musuh. Dalam kenyataannya, selama ia
memerintah Pajajaran justru banyak kehilangan wilayah kekuasaannya.
Dua pelabuhannya berturut-turut jatuh
ke pihak Demak-Cirebon-Banten: tahun 1526 pelabuhan Banten, tahun 1527 Sunda
Kalapa. Pada tahun berikutnya, 1528, peperangan bergeser ke timur, di
Rajagaluh, Majalengka. Dua tahun berikutnya, 1530, terjadi peperangan di
Talaga, di mana salah seorang istri Surawisesa berasal dari daerah ini.
Dalam Sajarah Talaga, Surawisesa dikenal dengan tokoh Pucuk
Umun, dan istrinya disebut sebagai ahli waris Kerajaan Talaga.
Perjanjian dengan Portugis
Nagarakretabhumi menyebut Surawisesa sebagai Guru
Gantangan. Nagarakretabhumi pupuh I sarga 2 dan sumber
Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso
d’Albuquerque, Laksamana Bungker, di Malaka.
Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan
1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada
tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah
kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme, ipar Alfonso, ke
ibukota Pakuan.
Dalam kunjungan itu disepakati
persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan, akan tetapi sumber
Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst
werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield”
(Perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang
satu). Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangani pada 21 Agustus
1522.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa
Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu, tiap kapal
Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan
barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat
benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1.000 karung lada tiap
tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua “costumodos” yang
beratnya kurang lebih 351 kuintal.
Perjanjian Pajajaran-Portugis sangat
mencemaskan Sultan Trenggana, penguasa ketiga Demak. Selat Malaka sebagai pintu
masuk perairan Nusantara di sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang
berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk
perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan
laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggana segera mengirim armadanya di
bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. Barros menyebut
Fadillah dengan Faletehan, lafal Portugis untuk Fadillah Khan.
Pinto menyebut Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan
sehari-hari). Carita Parahyangan menyebut Fadillah dengan Arya
Burah.
Melawan Demak-Cirebon
Pasukan Fadillah yang merupakan
gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1.967 orang. Sasaran pertama adalah
Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan
pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya
mengungsi ke Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya, Susuhunan Jati,
menjadi Bupati Banten pada 1526.
Setahun kemudian, 1527, Fadillah
bersama 1.452 orang pasukannya menyerang dan merebut Pelabuhan Kalapa. Bupati
Kalapa bersama keluarga dan para menteri Kerajaan yang bertugas di pelabuhan,
gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur pleh Fadillah.
Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak
dimiliki oleh laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat
karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi
Gubernur Goa di India. Kapal Galiun yang dinaiki de Sa dan berisi peralatan
untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai
di Teluk Benggala, dan baru tiba di Malaka pada 1527.
Dari Malaka, mereka menuju Banten,
akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke
Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, de Sa memancangkan padrao pada
30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane sebagai “Rio de Sa Jorge”.
Kemudian kapal galiun de Sa memisahkan diri; hanya kapal Brigantin yang
dipimpin Duarte Coelho yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho yang tak mengetahui perubahan
situasi yang terjadi, menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan
pasukan Fadillah. Dengan kerusakan dan korban yang banyak, mereka berhasil
meloloskan diri ke Pasai.
Ada pun, setelah Sri Baduga wafat,
Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meski yang berkuasa
di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi di belakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana
alias Walasungsang atau dikenal pula sebagai Haji Abdullah Iman. Cakrabuana
adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon
menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.
Cirebon sebenarnya relatif lemah. Akan
tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan
Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan di mana
Sultan Trenggana tebunuh, kemudian disusul dengan perang perebutan tahta,
Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan
Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon-Pajajaran berlangsung 5
tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak
berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota
pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke
selatan. Pertempuran melawan Galuh terjadi pada tahun 1528.
Di sini pun terlihat peran Demak karena
kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan pasukan meriam Demak tepat saat
pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah
besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta
memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam
Demak. Galuh pun jatuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng
terakhir Kerajaan Galuh.
Dengan kedudukan yang mantap di timur
Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke
Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak
mengambil jalan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing.
Pada ahun 1531 tercapai perdamaian
antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai
negara merdeka. Di pihak Cirebon, yang ikut menandatangani naskah perjanjian
adalah Pangeran Pasarean (putra mahkota Cirebon), Fadillah Khan, dan Hasanudin
(Bupati Banten).
Membuat Prasasti Batutulis
Perjanjian damai dengan Cirebon
memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah
berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang
situasi diri dan kerajaannya.
Warisan dari ayahnya hanya tinggal
setengahnya, itu pun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya
Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1.000 orang pasukan belamati yang
setia kepadanya, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.
Dalam suasana seperti itulah ia
mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi
kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya.
Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu
mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya.
Pada tahun 1455 Saka atau 1533, tepat
12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sakakala sebagai
tanda peringatan buat ayahnya. Ditampilkannya di sakakala itu karya-karya besar
yang telah dilakukan oleh Sri Baduga Pajajaran. Itulah Prasasti Batutulis yang
diletakkannya di Kabuyutan, tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa
Lingga Batu yang ditanamkan.
Penempatannya sedemikian rupa,
sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin
agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca)
orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah.
Prasasti Batutulis memakai bahasa
Sunda Kuno dan terletak di Kelurahan Batutulis, Kec. Bogor Selatan. Sri Baduga
yang telah wafat atau purane disebut sebagai Prabu Ratu
Purana. Prasati ini berbunyi:
Wangna pun
ini sakakala, prebu ratu purane pun. Diwastu diya
wingaran Prebu Guru Dewataprana, diwastu diya
wingaran Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pun
ya nu nyusuk na Pakwan. Diva anak Rahyang Dewa Niskala Sa(ng)
sida mokta
dim Guna Tiga, i(n)cu Rahyang Niskala Wastu Ka(n)
cana Sa(ng) sida mokta ka Nusalarang. Ya siya ni
nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan Samida,
nyiyan Sa(ng) Hyang Talaga Rena Mahawijaya, ya siya, o
o i saka, Panca Pandawa Emban Bumi.
Terjemahan bebasnya:
Semoga selamat, ini tanda peringatan
Prabu Ratu Purana (almarhum). Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru
Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di
Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan)
Pakuan. Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu
Rahiyang Niskala Wastukancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang
membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat punden undakan untuk
hutan Samida, membuat Sanghiyang (Telaga) Rena Mahawijaya (yang dibuat) dalam
(tahun) Saka Panca Pandawa Emban Bumi (1455).
Batutulis diletakkan agak ke belakang
di samping kiri Lingga Batu. Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam
prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu
berisi Astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi Padatala ukiran
jejak kaki.
Pemasangan Batutulis itu bertepatan
dengan upacara Sradha, yaitu “penyempurnaan sukma” yang
dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang
yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Guru Gantangan dalam Babad Pakuan/Babab Pajajaran
Hampir tiga per empat cerita
dalam Babad Pajajaran atau Babad Pakuanmengisahkan
“petualangan” Guru Gantangan yang mendapat perintah ayahnya, Prabu Silwangi,
untuk mencari calon istri baginya ayahnya yang ditemui dalam mimpi. Babad ini
memakai gaya cerita panji menggunakan bahasa Jawa dan dalam bentuk tembang
macapat Jawa dan disusun pada tahun 1816-1817, pada masa Bupati Sumedang
Pangeran Kornel.
Oleh sebagian ahli, tokoh Guru
Gantangan ini diidentikkan sebagai Surawisesa, karena merupakan Prabu Siliwangi
yang diidentikkan sebagai Sri Baduga. Nagarakretabhumi pun
menyebut nama Guru Gantangan yang diduga besar mengacu kepada Surawisesa.
Selain sebagai Guru Gantangan,
Surawisesa pun dalam kisah tradisional dikenal sebagai Munding Laya
Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang
terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta sekarang. Kinawati adalah putri Mental
Buana, cicit Munding Kawati yang semuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat
terletak di tepi Sungai Ciliwung. Di antara dua kerajaan ini terletak kerajaan
kecil bernama Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kaung Pandak). Di Muara
Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan
Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur.
Kota pelabuhan sungai ini zaman dahulu
merupakan titik silang. Menurut catatan VOC, tempat ini terletak satu setengah
perjalanan dari Muara Ciliwung, dan disebut Jalan Banten Lama (Oude
Bantamsche Weg). (wacana.co : 2009.03)
3.
Ratu Dewata
Dikutip dari Wikipedia.org Ratu Dewata menggantikan
ayahnya Surawisesa, Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai
panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim
dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan
melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut
istilah sekarang vegetarian.
Resminya perjanjian perdamaian
Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tunggul
negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk politik.(Wikipedia.org
: 2017)
4.
Ratu Sakti
Dikutip dari Wikipedia.org 2017 Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik
tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah
tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita
Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar
yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa
senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa
kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih
parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang
datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam
aliran keagamaan Tantra. Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi dengan
mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan
hubungan antara laki laki dan perempuan. Shri Kertanegara dari Kerajaa
Singhasari juga penganut ajaran ini.
"Lawasnya ratu kampa kalayan
pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan
beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh
makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak
dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah
memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu
("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah
keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah
dengan emas.
Mengenai musuh yang harus dihadapinya,
sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera
keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang
diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam
menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib
Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan"
(kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Nilakendra sejaman dengan Panembahan
Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang
serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf,
dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah
Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika
Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun
kemudian).
Demikianlah, sejak saat itu ibukota
Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk
dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12
tahun lagi.(Wikipedia.org : 2017)
5.
Raga Mulya
Dikutip dari wacana.co.2009 Ragamulya
(1567-1579) adalah raja terakhir Pajajaran yang oleh Carita
Parahyangan disebut Nusiya Mulya.
Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia
disebut Ragamulya alias Prabu Suryakancana. Ia menggantikan ayahnya, Ratu
Nilakendra, sebagai raja Pajajaran.
Suryakancana Sebagai Pucuk Umun
Prabu Ragamulya ini tidak berkedudukan
di Pakuan, melainkan di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk
Umun (Panembahan) Pulasari. Mungkin raja ini berkedudukan di Kadu Hejo,
Kecamatan Menes di lereng Gunung Palasari
Jatuhnya Pakuan
Sajarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan
Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam “Pupuh Kinanti”, yakni
(artinya):
“Waktu
keberangkatan itu
terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan
hari Ahad tahun Alif
inilah tahun Sakanya
satu lima kosong satu”
terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan
hari Ahad tahun Alif
inilah tahun Sakanya
satu lima kosong satu”
Walaupun tahun Alief baru
digunakan pada masa Sultan Agung Mataram pada tahun 1633 M, namun dengan
perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan tahun 1579 itu memang akan jatuh
pada tahun Alif. Y
ang keliru hanyalah hari, sebab dalam
periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Sajarah Banten memberitakan, benteng Kota
Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi “pengkhianatan”. Seorang komandan
pengawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memeroleh kenaikan
pangkat”.
Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang
kepercayaan Panembahan Yusuf. Pada tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan
khusus menyelinap ke dalam Pakuan setelah pintu benteng terlebih dahulu
dibukakan oleh saudaranya itu. Kisah ini bisa benar bisa tidak.
Yang jelas, tergambar betapa
tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat Sri Baduga. Setelah ditinggalkan oleh
raja (Nilakendra) selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan
cara halus untuk menembusnya.
Pemboyongan Palangka Sriman Swiwacana
ke Banten
Setelah berhasil menguasai Kota Pakuan
Pajajaran (1482 – 1579), pasukan Maulana Yusuf segera memboyong palangka (tempat
duduk tempat penobatan takhta) bernama Sriman Sriwacana dari Pakuan ke
Surasowan di Banten.
Batu palangka yang berukuran 200 x 160
x 20 cm itu, diboyong ke Banten sebagai keharusan tradisi politik waktu itu.
Dengan dirampasnya palangka, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru,
dan Maulana Yusuf berhak mengklaim sebagai penerus “sah” kekuasaan Pajajaran karena
buyut perempuannya adalah putri Sri Baduga Maharaja sendiri.
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat
ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena
mengkilap, orang Banten menyebutnya “Watu Gigilang”; gigilang berarti
mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Menurut Pustaka Nusantara
III/1 dan Nagarakretabhumi I/2, “Pajajaran sirna ing
ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala”
(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka).
Jadi, Pajajaran jatuh pada 8 Mei 1579 M.
Nusiya Mulya
Mengenai kapan Suryakancana meninggal
dunia, tak diketahui jelas. Ia hanya diketahui gelar anumertanya: Ratu
Ragamulya (Nagarakretabhumi) atau Prabu Nusiya Mulya (Carita Parahyangan),
tanpa diketahui dipusarakan di mana. (wacana.co:2009.04)
6.
Rahyang Niskala Wastu
Kancana
Dikutip dari
unit-bermanfaat.blogspot.com :2012 Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana
adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di medan Bubat dalam tahun
1357. Ketika terjadi Pasunda Bubat, usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia
adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya
meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi Suradipati
atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean, sedangkan dalam
Babad Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia
pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang
ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.
Setelah pemerintahan dijalankan
pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja
pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara
Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir Sang Haliwungan, yang setelah
dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang
kedua adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari
perkawinannya dengan Mayangsari lahir Ningrat Kancana, yang setelah menjadi
penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475,
kerajaan dipecah dua di antara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan
sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu
Wastu Kencana. Jayadewata, putera Dewa Niskala, mula-mula memperistri
Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian memperistri Subanglarang.
Yang terakhir ini adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura.
Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama dua tahun. Ia adalah nenek Syarif Hidayatullah.
Kemudian Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan. (unit-bermanfaat.blogspot.com:2012)
Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama dua tahun. Ia adalah nenek Syarif Hidayatullah.
Kemudian Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan. (unit-bermanfaat.blogspot.com:2012)
7.
Ratu Samian Atau Prabu
Surawisesa
Pada masa pemerintahannya tahun 1512 M
dan 1521 M. Ia berkunjung ke Malaka untuk meminta bantuan Portugis dalam
menghadapi kerajaan Demak. Namun harapannya sia-sia karena pelabuhan terbesar
kerajaan Pajajaran, yaitu Sunda Kelapa sudah dikuasai oleh pasukan Kerajaan
Demak dibawah pimpinan Fatahilah. Akibatnya, hubungan Pajajaran dengan dunia
luar terputus.
8.
Prabu Ratu Dewata
(1535-1543 M)
Raja ini memerintah menggantikan Prabu
Surawisesa. Pada masa pemerintahannya terjadi serangan-serangan dari kerajaan
Banten yang dipimpin oleh Maulana Hasanudin dibantu anaknya Maulana Yusuf.
Berkali-kali pasukan Banten ( Islam ) berusaha merebut ibukota Pajajaran pada
tahun 1579 M. Peristiwa ini mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Hindu Pajajaran di
Jawa Barat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kerajaan-kerajaan diketahui
berdiri sesudah runtuhnya kerajaan Tarumanegara hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya sebuah Candi di desa Cangkuang dekat leles yang keberadaannya
pastinya belum diketahui, akibat dari data-data yang kurang untuk
mengungkapkannya secara pasti. Kerajaan pajajaran adalah sebuah kerajaan
hindu yang diperkirakan beribukotanya di pakuan (bogor) jawa barat.
Adapun Raja-rajanya yaitu:
Ø Maharaja
Jayabhupati
Ø Rahyang
Niskala Wastu Kencana
Ø Rahyang Dewa
Niskala
Ø Sri Baduga
Maharaja
Ø Hyang Wuni
Sora
Ø Ratu Samian
atau Prabu Surawisesa
Ø Prabu Ratu
Dewata
(http://vao07.blogspot.co.id:
2017)
REFERENSI MAKALAH
https://id.wikipedia.org/wiki/Ratu_Nilakendra
https://id.wikipedia.org/wiki/Ratu_Dewata
https://tirto.id/m/sri-baduga-maharaja-Ye
https://baabun.com/kerajaan-pajajaran/
http://www.wacana.co/2009/03/surawisesa/
http://www.wacana.co/2009/04/ragamulya-suryakancana/
http://unik-bermanfaat.blogspot.co.id/2012/10/biografi-niskala-wastu-kancana.html
Untuk gak usah - usah ngedit kalian bisa download langsung DISINI
Untuk gak usah - usah ngedit kalian bisa download langsung DISINI
Post a Comment