MAKALAH KEPERAWATAN SUKU BADUY

Posted by GLOBAL MAKALAH

 Makalah Keperawatan Suku Baduy


Kali ini saya akan membagikan file Makalah untuk Pengunjung setia www.globalmakalah.blogspot.co.id kali ini makalah yang saya bagikan yaitu yang berjudul Makalah Keperawatan Suku Baduy.


dimana isinya, anda bisa lihat sendiri di bawah ini, jika anda menginginkan Format Filenya anda bisa download Link di bawah ini




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Suku Baduy
Sebutan "Baduy" berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Menurut konsep masyarakat Baduy, seseorang dikatakan dalam keadaan sakit adalah apabila sesuatu yang dideritanya itu tidak dapat diobati sendiri dan orang itu tidak dapat beraktivitas sehari-hari seperti biasanya.
Jika seseorang misalnya menderita batuk, gatal-gatal, masuk angin, atau pilek, belumlah dapat dikatakan sakit karena yang bersangkutan dikatakan masih dapat beraktivitas. Selain itu, seseorang dikatakan sakit,  apabila keadaan itu dinyatakan oleh paraji (dukun) atau kokolot lembur (tetua kampung).
Dari pengertian tentang “sakit” di atas, ada dua hal yang penting, yakni “jika tidak dapat sembuh sendiri” dan “dinyatakan sakit oleh paraji atau kokolot”. 

B.     Rumusan Masalah
1.    Sejarah Suku Baduy
2.    Keperawatan Suku Baduy
3.    Cara Pengobatan Suku Baduy
4.    Nama Obat – Obatan Suku Baduy


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Suku Baduy
Suku Baduy/Badui biasa juga dipanggil sebagai orang Kanekes. Kelompok masyarakat etnis ini termaksud sub etnis Sunda yang berasal dari kabupaten Lebak Banten. Suku ini sangat menutup diri dari dunia luar dan juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.
Sebutan "Baduy" berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
 Memiliki wilayah Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten. Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Mereka juga dapat berbahasa Indonesia untuk komunkasi dengan masyarakat luar. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Bahkan hingga sekaran
Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnyayang membedakan adalah sistem kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Tangtu
2. Panamping
3. Dangka

B.       Keperawatan  Suku Baduy
Dalam kaitannya dengan masalah kesehatan, setiap masyarakat di muka bumi ini secara budaya mempersepsikan dan mendefinisikannya secara berbeda- beda.
Menurut konsep masyarakat Baduy, seseorang dikatakan dalam keadaan sakit adalah apabila sesuatu yang dideritanya itu tidak dapat diobati sendiri dan orang itu tidak dapat beraktivitas sehari-hari seperti biasanya.
Jika seseorang misalnya menderita batuk, gatal-gatal, masuk angin, atau pilek, belumlah dapat dikatakan sakit karena yang bersangkutan dikatakan masih dapat beraktivitas. Selain itu, seseorang dikatakan sakit,  apabila keadaan itu dinyatakan oleh paraji (dukun) atau kokolot lembur (tetua kampung).
Dari pengertian tentang “sakit” di atas, ada dua hal yang penting, yakni “jika tidak dapat sembuh sendiri” dan “dinyatakan sakit oleh paraji atau kokolot”. 
Pernyataan “jika tidak dapat sembuh sendiri” memiliki konsekuensi positif bahwa masyarakat Baduy selalu berusaha untuk mencari dan mengatasi gangguan ketidaknyamanan dalam dirinya.
Umumnya mereka memanfaatkan sumber daya alam sekitarnya, khususnya tanaman yang diyakini memiliki khasiat menghilangkan gangguan kesehatannya. Hal positif lainnya adalah masyarakat Baduy berusaha mempertahankan pengetahuan dan kearifan lokalnya untuk pengobatan penyakit. Sementara itu, dari pernyataan “dinyatakan sakit oleh paraji atau kokolot” juga memiliki konsekuensi positif bahwa masyarakat Baduy masih tetap mempertahankan keberadaan dan fungsi adat dan kelembagaan formalnya, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesehatan.
 Istilah sakit dalam bahasa Baduy sering disebut dengan nyeri, sedangkan istilah penyakit digunakan panyakit. Orang yang sedang sakit disebut dengan istilah gering, sedangkan orang yang menderita atau mengidap penyakit dinamakan panyakitan. Orang yang membawa atau menularkan penyakit dalam bahasa Baduy disebut nepaan. Adapun orang yang sehat atau tidak sakit disebut jagjag, sedangkan orang yang membantu menyembuhkan penyakit disebut paraji dan dukun. Istilah sakit atau nyeri
Terdapat dalam beberapa kategori lagi, misalnya muriang, nyeri sirah, nyeri teu puguh, nyeri teu cagur, leuleus, asup angin, dan lileur untuk menyatakan kondisi badan yang panas, sakit kepala, tidak enak badan, kurang sehat, badan lemas, masuk angin, dan batuk-batuk. Sebaliknya, orang yang sehat atau jagjag juga terbagi dalam beberapa sebutan lagi, seperti sangat sehat atau segar bugar (jagjag waringkas) dan tangkas atau gesit (jalingeur).
Pengetahuan mengenai penyakit dan pengobatannya bagi masyarakat Baduy termasuk warisan tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sejak kecil sebagian mereka telah diajarkan oleh orang tua mereka yang memiliki pengetahuan memanfaatkan tanaman-tanaman tertentu di sekitarnya untuk mengobati berbagai penyakit. Tanaman-tanaman tersebut banyak dan dapat diperoleh di hutan, sekitar ladang, atau sepanjang jalan menuju hutan atau ladang.
Dalam khazanah penyembuh tradisional Baduy dikenal adanya paraji (dukun beranak), panghulu (dukun yang khusus mengurus orang meninggal), bengkong jalu (dukun sunat untuk laki-laki), dan bengkong bikang (dukun sunat untuk perempuan).
Khususnya paraji, dalam prakteknya dia tidak hanya mengurus proses persalinan, tetapi juga membantu mulai dari sebelum sampai sesudah melahirkan. Pada proses sebelum melahirkan, misalnya,  paraji  membantu mengurut perut ibu hamil agar posisi janin baik dan benar, atau memberikan ramuan-ramuan agar kehamilannya baik dan lancar ketika persalinan. Sedangkan untuk sesudah melahirkan, paraji membantu penyembuhan ibu selama masa nifas dan jika ada gangguan selama menyusui, serta membantu perawatan bayi hingga lepas tali pusar. Paraji juga sering dianggap sebagai dukun semua penyakit, termasuk penyakit karena gangguan makhluk halus.
Bantuan yang diberikan biasanya berupa informasi tanaman-tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat, serta cara mengolah dan menggunakannya. Selain tetap menggunakan ramuan tanaman dan ramuan lain, pengobatan yang dilakukan oleh penyembuh- penyembuh tradisional tersebut  juga disertai dengan mantra-mantra atau jampi-jampi tertentu.
Karena masih kuatnya kepercayaan pada pengobatan tradisional, maka pada prakteknya Puskesmas yang sejak tahun 1980-an didirikan di perbatasan kampung Baduy jarang dikunjungi oleh warga Baduy, baik Baduy Luar apalagi Baduy Dalam. Sebagian  warga Baduy yang terpaksa memanfaatkan jasa dokter atau Puskesmas adalah orang yang menderita luka robek yang besar atau menderita penyakit berat yang tidak kunjung sembuh oleh penyembuh tradisional. Sering pula terjadi, ada anggapan agar cepat sembuh pengobatan luka (yang dijahit) oleh dokter dikombinasikan dengan tanaman obat tradisional.

C.      Cara Pengobatan Suku Baduy
Ada tiga tahapan pengobatan/keperawatan bagi orang Suku Baduy yang sakit, Jika dari mereka ada yang sakit, yang pertama dilakukan adalah memberikan pengobatan dengan obat-obatan yang berasal dari tanaman (herbal), kemudian jika masih tidak dapat diobati akan diberikan mantra-mantra, dan jika masih tidak dapat sembuh juga baru dapat dilarikan ke dokter terdekat. (dunia-kesenian.blogspot.com)
1.      Penyakit panas/demam/meriang
Masyarakat Baduy biasanya menggunakan:
(1) minuman dari rebusan air daun dadap, jukut tiis, dan daun aceh, atau
(2) minuman dari air seduhan remasan daun kaca piring dan daun sirsak.
2.      Penyakit batuk diobati dengan:
(1) minuman dari rebusan bunga calincing (Oxalis corniculata L.),
(2) minuman dari air rebusan tanaman utuh cecendet,
(3) air saringan jahe parut/tumbuk, dan
(4) air saringan cikur parut/tumbuk. 
3.      Untuk penyakit sakit perut/diare mereka menggunakan:
(1) minuman dari air rebusan tanaman utuh cecendet,
(2) minuman air rebusan daun muda harendong,
(3) daun jambu klutuk yang dimakan mentah,
(4) minuman air rebusan kulit pohon lame putih, dan
 (5) minuman seduhan lempuyang.
4.      Untuk penyakit gigi digunakan:
(1) tetesan getah angsana (atau sonokembang, Pterocarpus indicus Willd.) pada gigi yang sakit dan
(2) daun kadaka yang digigitkan tepat pada gigi yang sakit.
5.      Untuk penyakit pusing/sakit kepala digunakan:
(1) tetesan air perasan bunga jukut kakacangan,
(2) minuman seduhan laja goah,
(3) minuman air rebusan kulit pohon lame putih, dan
(4) minuman seduhan lempuyang.
6.      Untuk penyakit lemas/nyeri otot/encok biasanya menggunakan:
(1) tumbukan jukut bau yang diborehkan pada bagian yang sakit,
(2) minuman seduhan lempuyang,
(3) pucuk daun senggugu yang ditempelkan pada bagian yang sakit,
(4) parutan atau tumbukan jahe yang dibalurkan pada bagian yang sakit.
7.      Untuk penyakit luka/borok digunakan:
(1) Remasan daun harendong yang ditempelkan pada bagian yang sakit dan
 (2) Remasan jukut bau yang ditempelkan pada bagian yang sakit.
8.      Untuk penyakit lemas/kurang bertenaga mereka menggunakan:
(1) minuman rebusan daun capeuk,
(2) minuman rebusan umbi laja goah dan kulit pohon lame, dan
(3) lalapan temu embek.
Berbagai jenis tumbuhan yang digunakan untuk obat tersebut diperoleh di semak belukar sekitar kampung, ladang, atau hutan, dan jarang sekali tersedia di pekarangan rumah. Oleh karena itu, jika memerlukan tanaman untuk mengobati penyakit tertentu dengan menggunakan tumbuhan, biasanya masyarakat Baduy mencari di semak belukar sekitar kampung, ladang, atau di hutan. Permasalahan muncul ketika tanaman obat yang mendadak diperlukan tidak diperoleh di sekitar kampung, melainkan harus dicari di ladang atau di hutan. Padahal jarak antara pemukiman dan ladang atau hutan cukup jauh. Kalaupun dapat dicapai, kadang kala tanaman yang dimaksud tidak dijumpai, karena hutan semakin gundul akibat perluasan ladang.
Salah satu langkah yang dapat diusulkan menjadi jalan keluar untuk menghadapi permasalahan tersebut adalah misalnya dengan membuat kebun apotek hidup. Kebun apotek hidup tersebut berupa lahan yang di dalamnya ditanami tumbuh-tumbuhan yang diyakini dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Kebun apotek tersebut sekurang-kurangnya dibuat di lingkungan pemukiman sehingga tanaman-tanaman berkhasiat obat mudah diperoleh karena tumbuh di lingkungan tempat tinggal. Jika terjadi keperluan mendadak untuk pertolongan kesehatan, tidak perlulah mencari tanaman obat jauh-jauh ke hutan. Manfaat lain kebun apotek hidup ini adalah kemungkinan dapat menurunkan pengetahuan dan kearifan lokal mengenai pengobatan tradisional berbasis tanaman ke generasi selanjutnya.
Pengobatan yang selama ini sudah memudar kembali dikenal dan diingat. Khazanah pengetahuan tentang obat dan pengobatan berbasis tanaman pun dengan demikian makin bertambah. Masyarakat tradisional setempat pun dapat mengobati penyakit dengan menggunakan tanaman berkhasiat obat tanpa melanggar pantangan adat.

D.      Nama Obat – Obatan Menurut Suku Baduy
Beberapa contoh tanaman yang biasa digunakan sehari-hari oleh masyarakat Baduy untuk mengobati penyakit ringan adalah: daun jambu biji untuk mengobati sakit perut, daun jampang pahit untuk mengobati luka, tanaman capeuk untuk menghilangkan pegal-pegal, daun harendong untuk mengobati sakit gigi, dan kulit pohon terep untuk menghilangkan gatal-gatal pada kulit.
Dari sekian banyak jenis tanaman itu, tanaman yang paling sering digunakan sebagai obat adalah
1.      Daun aceh (rambutan = Nephelium lappaceum L.),
2.      Cecendet (ciplukan = Physalis peruviana L.),
3.      Cangkudu (mengkudu = Morinda citrifolia L.),
4.      Cikur (kencur = Kaempferia galanga  L.),
5.      Harendong (senggani = Melastoma malabathicum L.), 
6.      Jahe (jahe = Zingiber officinale Rosc.),
7.      Jukut eurih (alang-alang = Imperata cylindrica (L.) Beauv.),
8.      Jukut wisa (jarong = Achyranthes aspera L.), 
9.      Kadaka (sisik naga = Drymoglossum piloselloides (L.) Presl.),
10.  Laja goah (lengkuas gajah = Alpinia galanga (L.) Willd.),
11.   Lame putih (pulai = Alstonia scholaris L.),
12.  Lempuyang emprit (lempuyang pahit = Zingiber amaricans),
13.  Panglay (bangle =  Zingiber pupureum),
14.  Sirsak (sirsak = Annona muricata L.),
15.  dan singugu (senggugu = Clerodendron serrature).
Jenis-jenis tanaman ini banyak digunakan dalam pengobatan penyakit yang sering diderita oleh warga masyarakat Baduy seperti panas/ demam/meriang, batuk, sakit perut/diare, sakit gigi, pusing, pegal linu/ encok/nyeri otot, luka/borok, dan lemas/kurang bertenaga. 


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perikehidupan masyarakat Baduy diatur oleh pikukuh. Dalam pikukuh ini ada pernyataan yang berarti “panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung”. Maksudnya adalah bahwa sesuatu tidak boleh diubah, ditambah atau dikurangi tetapi harus diterima sebagaimana adanya. Pada masyarakat Baduy Dalam (tangtu)  pikukuh ini masih diikuti secara kuat tetapi pada masyarakat Baduy Luar (panamping) aturan adat itu tidak diikuti secara ketat lagi.
Dalam masyarakat ini pelanggaran pikukuh akan diberikan ganjaran adat dari puun sebagai pimpinan adat tertinggi dalam masyarakat Baduy. Dengan adanya pikukuh, budaya dan adat istiadat masyarakat Baduy, khususnya pada tangtu, selama ini terlindung dari pengaruh luar. Dalam kehidupan mereka sehari-hari kebutuhan dalam masyarakat dicukupi oleh kekayaan alam yang ada di lingkungannya. Demikian pula dengan kebutuhan pengobatan. Mereka memanfaatkan tanaman-tanaman yang tumbuh di sekitar untuk diramu menjadi obat-obat penyembuh penyakit sehari-hari.
Pengetahuan pengobatan tradisional dengan tanaman ini sudah dimiliki sejak dahulu dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan adanya pikukuh, khususnya pada tangtu, pengobatan dari luar yang “modern” sulit menembus masuk ke dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengobatan tradisional sangatlah berperan dalam kehidupan masyarakat Baduy. Pengetahuan pengobatan ini diharapkan tetap dapat diwariskan turun temurun sehingga kebutuhan pemeliharaan kesehatan dalam masyarakat itu dapat dipenuhi tanpa harus melanggar adat karena seseorang menjalani pengobatan dari luar Baduy.
Namun, tidak semua penyakit ditemukan obatnya dalam pengobatan tradisional. Untuk itu, perlulah diadakan penelitian tanaman-tanaman yang memiliki khasiat sebagai obat. Pengembangan pengetahuan pemanfaatan tanaman obat dan kearifan lokal yang sudah ada tentang pengobatan tradisional ini akan lebih dapat menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat Baduy serta budayanya.   


DAFTAR PUSTAKA


Avonina, Sthefanny. 2006. “Apa yang dimaksud dengan pengetahuan tradisional?”,  Konvergensi IX (Oktober): 14-19.
Danasasmita, Saleh dan Djatisunda, Anis. 1986. Kehidupan  masyarakat  Kanekes. Bandung: Bagian  Proyek  Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).
Garna, Judhistira. 1988. “Perubahan sosial budaya Baduy”, di dalam: Nurhadi Rangkuti  (red.), Orang Baduy dari inti jagat, hlm  47-55.  Yogyakarta: Bentara Budaya,  KOMPAS, Etnodata, Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa.
Garna, Judistira. 1993.  ”Masyarakat  Baduy  di  Banten”,  di dalam: Koentjaraningrat  (red.),  Masyarakat terasing di Indonesia, hlm. 120-152. Jakarta: Depsos RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, dan Gramedia Pustaka Utama.
Hadi, A.C Sungkana. 2006. “Melestarikan kearifan masyarakat tradisional (Indigenous Knowledge)”, Buletin Perpustakaan dan Informasi Bogor (Juni): 27-32.
http://dunia-kesenian.blogspot.com/2015/03/penjelasan-singkat-asal-usul-kebudayaan-baduy.html
http://perpustakaan.untirta.ac.id/berita-112-asal-usul-suku-baduy.html
http://nusantara.asia/jawa/banten/wisata-alam-dan-budaya-suku-baduy/

Related Post



Post a Comment