TINJAUAN YURIDIS NORMATIF PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KREDIT LEASING

Posted by GLOBAL MAKALAH

TINJAUAN YURIDIS NORMATIF PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK  DALAM PERJANJIAN KREDIT LEASING

Keterangan :

Untuk download silahkan di bawah ini :

==========================================================

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan jaman, banyak sekali orang yang memanfaatkan waktu dalam hal usaha atau pekerjaan demi tercapainya suatu tujuan agar lebih efektif dan efisien. dalam hal ini salah satu sarana yang harus dimiliki oleh para pelaku usaha atau pekerja agar dapat mengefisiensi waktu tersebut adalah dengan memiliki sebuah kendaraan. Karena dengan memiliki sebuah kendaraan sebagai alat transportasi, maka para pelaku usaha atau pekerja akan lebih mudah lagi dalam melakukan aktifitas. Tetapi masalah tidak cukup disitu saja, terutama bagi beberapa pelaku usaha atau pekerja menengah kebawah untuk memiliki suatu kendaraan tersebut harus membeli dengan harga yang tidak murah.
Berawal dari permasalahan diatas, maka lahirlah perusahaan-perusahaan kredit pembiayaan kendaraan atau yang lebih kita kenal dengan sebutan leasing yang bertujuan untuk mempermudah bagi para pelaku usaha atau pekerja menengah kebawah untuk memiliki sebuah kendaraan dengan melakukan perjanjian kredit atau transaksi terhadap perusahaan leasing tersebut dengan dibebani jaminan fidusia  ke lembaga jaminan fidusia.
Leasing menurut Pasal 1 angka (2) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988, pengertian Lembaga Pembiayaan (leasing) adalah :
“ Badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.”
Leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa atau lebih umum diartikan sewa menyewa, yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Financial Accounting Standar Board (FASB), Leasing adalah kesepakatan menyampaikan hak untuk menggunakana seatau peralatan. Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, mendefenisikan leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.
Sedangkan menurut PSAK Nomor 30 (Revisi 2007) tentang Sewa, leasing adalah suatu perjanjian di mana lessor memberikan hak kepada lessee untuk menggunakan suatu aset selama periode yang disepakati dan sebagai imbalannya, lessee melakukan pembayaran kepada lessor. Sewa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sewa pembiayaan (capital lease atau financing lease) dan sewa operasi (operating lease).[1]
Lembaga pembiayaan leasing sudah banyak dikenal masyarakat Indonesia karena lembaga pembiayaan sangat membantu dalam menunjang pemasaran kendaraan bermotor. Salah satu leasing yang terbesar dalam membiayai pembelian kendaraan bermotor di Indonesia adalah PT FIF (Federal International Finance). PT FIF yang pada awal didirikan dengan nama PT Mitrapusaka Artha Finance adalah cabang dari  PT Astra International Tbk yang merupakan bagian dari Astra Financial Service Group. PT FIF mula-mula terlibat dalam suatu usaha jasa keuangan pada 1 Mei 1989. Usaha jasa  keuangan ini mencakup usaha pembiayaan, penyewaan, dan penguangan piutang dagang. Sejak tahun 1996,  PT FIF secara berangsur-angsur menfokuskan dirinya menjadi perusahaan yang khusus membiayai sepeda motor merk Honda dalam hal hak penyaluran sepeda motor Honda kepada pelanggan secara langsung. Usaha ini didukung oleh 227 dealer dan 70 kantor cabang di 3.157 kota di Indonesia. Oleh karena itu, PT FIF dapat dikatakan telah menjadi salah satu perusahaan pembiayaan sepeda motor terkemuka terutama di Indonesia. PT FIF telah melayani lebih dari 1.000.000 pelanggan dan mengendalikan pangsa pasar sekitar 57% dari semua pembiayaan sepeda motor Honda di Indonesia. [2]
Dalam praktiknya perjanjian kredit pada leasing tentunya akan mempunyai suatu relasi dengan yang namanya fiducia, perihal fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999  Tentang Fidusia. Dalam pasal 1 angka 1 dikemukakan, fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.[3]
Jaminan fidusia adalah sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi. Lembaga jaminan fidusia memungkinkan kepada para pemberi fidusia untuk menguasai benda yang dijaminkan. Bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam transaksi pinjam-meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah, dan cepat, tetapi di sisi lain tidak menjamin adanya kepastian hukum. Hal ini disebabkan karena banyak lembaga pembiayaan (finance) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing) yang umumnya menggunakan tata cara yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia tersebut. Dalam prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang bergerak (motor/mobil) yang diminta konsumen kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur. Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada  kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia.
Pada kenyataanya lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan tidak sedikit para perusahaan leasing yang mencantumkan jaminan fiducia dengan menyertakan kata-kata dijaminkan secara fidusia tetapi faktanya tidak didaftarkan oleh pihak leasing itu sendiri. Akta semacam itu dapat disebutakta jaminan fiducia di bawah tangan. akta di bawah tangan ini sangat beresiko bagi perusahaan pembiayaan, karena dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan tersebut, meskipun ada pula sebagian leasing yang didaftarkan, Tetapi sayangnya proses penerbitan sertifikat akta fidusia yang dibuat oleh notaris dengan membuat sertifikat fidusia untuk satu aplikasi pembiayaan itu memerlukan waktu dua sampai tiga bulan, hal ini memakan waktu yang cukup lama.
Jadi bisa disimpulkan bahwa adanya suatu perjanjian kredit antara pihak kreditur/leasing dengan debitur, masalah lain yang sering muncul adalah pihak konsumen/debitur melakukan ingkar janji (wanprestasi) dengan menjual atau menggadaikan kendaraan yang belum lunas angsurannya kepada pihak lain tanpa diketahui oleh pihak leasing. Oleh sebab itu Untuk menghindari permasalahan tersebut maka pihak leasing melakukan verifikasi untuk menghindari kredit macet atau bermasalah. Perlindungan para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen hanya sebatas itikad baik dari para pihak dalam bentuk perjanjian tertulis sebagai dokumen yang menjadi dasar kepastian hukum.[4]
Dengan permasalahan tersebut diatas, penulis merasa tertarik untuk menganalisis permasalahan leasing dalam melakukan proses perjanjian kredit dengan judul :
TINJAUAN YURIDIS NORMATIF PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK  DALAM PERJANJIAN KREDIT LEASING  PADA PRAKTIKNYA DI  PT. FIF GROUP JATIBARANG DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA  (KUH PERDATA).

B.            Identifikasi Masalah
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.             Bagaimana pelaksanaan perjanjian pembiayaan menurut Undang-Undang  perjanjian pembiayaan apa bila dilihat dari Buku III UU Perdata yang berlaku?
2.             Bagaimana perlindungan hukum bagi pihak kreditur dan debitur dalam perjanjian leasing dalam hal terjadi wanprestasi ?


C.           Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.             Untuk mengetahui dan menjelaskan cara pelaksanaan perjanjian pembiayaan menurut Undang-Undang No.42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia
2.             Untuk mengetahui perlindungan hukum apa sajakah bagi pihak kreditur dan debitur dalam perjanjian leasing dalam hal terjadi wanprestasi.

D.           Kegunaan Penelitian
Dalam penyusunan karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan sebagai bahan referensi bagi semua pihak khususnya mengenai hukum perdata dalam perjanjian baku baik secara teoritis maupun secara praktis.
1.             Teoritis
Kegunaan dari penelitian secara teoritis diharapkan memberi manfaat teoritis berupa sumbangan pemikiran terhadap  perkembangan ilmu pengetahuan Hukum, khususnya dibidang hukum perjanjian dalam perjanjian baku.
2.             Praktis
Kegunaan dari penelitian secara praktis ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka penyusunan perjanjian baku kredit antara pihak leasing dengan nasabah selaku debitur.

E.            Kerangka Pemikiran
Menurut R. Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanjian kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.[5] Sedangkan Menurut R. Setiawan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana, satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[6]
Jadi bisa dikatakan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dalam hukum perjanjian meliputi 2 (dua) asas yaitu :
1.             Asas terbuka
Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.


2.             Asas konsensualitas
Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik terciptanya kesepakatan. Asas konsensualitas lazim disimpulkan dalam pasal 1320 (Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KKUH Pdt).
Menurut Pasal 1313 Perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Suatu perjanjian agar sah menurut hukum harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan undang-undang, yaitu Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa syarat sahnya perjanjian adalah :
1)             Adanya kesepakatan di antara para pihak
2)             Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3)             Suatu hal tertentu
4)             Suatu sebab yang halal
Perjanjian baku tumbuh dan berkembang hampir dalam semua bidang kehidupan, terutama dalam bidang perekonomian. Dalam kehidupan sehari-hari perjanjian baku banyak dipergunakan, terutama dalam membuat perjanjian yang rumit yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk menyusunnya. Perjanjian baku sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausanya sudah dibakukan dalam pemakaiannya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.[7]  Dengan kata lain perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah yang terbatas untuk menawarkan kepada konsumen tanpa memperhatikan perbedaan konsumen.[8]
Dalam Pasal 1338 ayat (1)  KUH Perdata, menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang  dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. yang sifatnya anfulen, Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Leasing atau sewa guna usaha adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang yang telah disepakati bersama. Dengan melakukan perjanjian kredit leasing perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan jalan sewa beli untuk dapat langsung digunakan, dengan melakukan pembayaran yang dapat diangsur setiap bulan, triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak debitur.[9]
a.                  Sewa Pembiayaan (Finance Lease) adalah sewa yang mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset Hak milik pada akhirnya dapat dialihkan, dapat juga tidak dialihkan.
b.                 Sewa Operasi (Operating Lease) adalah sewa yang tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset.
Pengertian lembaga pembiayaan keuangan bukan Bank dapat dilihat dalam pasal 1 angka 4 (empat) Keputusan Presiden (Kepres) Nomor. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan yaitu :
“lembaga pembiayaan bukan bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan dibidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berhargadan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan”.
Peningkatan pelayanan dan penyediaan fasilitas kemudahan yang diadakan oleh para pelaku pasar, bukannya tidak beresiko bagi investasi, karenanya para investor lebih menyukai suatu produk pelayanan yang memiliki aspek legalitas, seperti suatu aturan atau perundang-undangan yang menjamin usaha yang dimaksud. Dalam perkembangan bisnis dan usaha, sering kita jumpai beberapa jenis usaha pelayanan, sebut saja antara lain lembaga pembiayaan Leasing yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor. Kep.-122/MK/IV/2/1974, Nomor.32/M/SK/2/1974, 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Februari 1974, tentang Perizinan Usaha Leasing.
Pengertian leasing menurut surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan dan Industri Republik Indonesia No. KEP- 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor 30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 adalah:
”Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang telah disepakati bersama”.
Lembaga pembiayaan leasing dalam terjemahan di Indonesia disebut dengan sewa guna usaha, yaitu suatu lembaga pembiayaan yang berorientasi pada pemberian atau peminjaman sejumlah modal kerja dalam bentuk alat-alat produksi. Fasilitas yang diadakan oleh perusahan leasing sebagai perusahaan pembiayaan, sangat meringankan konsumen/pasar yang kekurangan modal untuk membeli alat pendukung usaha, maka leasing menjadi alternatif.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka pada prinsipnya pengertian leasing terdiri dari beberapa elemen di bawah ini :
1)                 Pembiayaan perusahaan
2)                 Penyediaan barang-barang modal
3)                 Jangka waktu tertentu
Leasing sebagai lembaga pembiayaan dalam sistem kerjanya akan menghubungkan kepentingan dari tiga pihak yang berbeda, yaitu :
a)                  Lessor, adalah pihak leasing itu sendiri sebagai pemilik modal, yang nantinya akan memberikan modal alat atau membeli suatu barang.
b)                 Lessee, adalah nasabah atau perusahaan yang bertindak sebagai pemakai peralatan/barang yang akan di leasing atau yang akan disewakan pihak penyewa/lessor.
c)                  Vendor atau Leveransir atau disebut Supplier, sebagai pihak ketiga penjual suatu barang yang akan dibeli oleh lessor untuk disewakan kepada lessee.
Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik, menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian financial lease/kontrak leasing atau suatu perjanjian pembiayaan.
Dalam melakukan perjanjian leasing terdapat prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan pada prakteknya yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :
1)                 Lessee bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksudkan.
2)                 Setelah lessee mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan kepada lessor disertai dokumen lengkap.
3)                 Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lessee (lama kontrak pembayaran sewa lease), setelah ini maka kontrak lease dapat ditandatangani.
4)                 Pada saat yang sama, lessee dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease dangan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama.
5)                 Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan supplier peralatan tersebut.
6)                 Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi lessee. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna jual.
7)                 Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada suppplier.
8)                 Supplier menyerahkan tanda terima (yang diterima dari lessee), bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada lessor.
9)                 Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.
10)              Lessee membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah ditentukan dalam kontrak lease.
Seperti yang sudah dikemukakan oleh penulis pada latar belakang, bahwa perjanjian kredit/leasing tentu mempunyai korelasi dengan suatu jaminan yakni fidusia, fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi yaitu fides yang berarti kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Dalam terminologi Belanda istilah ini sering disebut secara lengkap yaitu Fiduciare Eigendom Overdracht (F.E.O) yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan.[10] Sedangkan dalam istilah bahasa Inggris disebut Fiduciary Transfer of Ownership.
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.[11] Jaminan Fidusia adalah jaminan kebendaan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud sehubungan dengan hutang-piutang antara debitur dan kreditur. Jaminan fiduciadiberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menjamin pelunasan hutangnya.[12] Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan fiduciaini memberikan kedudukan yang diutamakan privilege kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.[13]
Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia sebagai perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.
Kegagalan kredit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran sisa hutang dari pihak krediturnya atau lebih kita kenal dengan wanprestasi. Keadaan tidak mampu lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran dan akhirnya terjadi wanprestasi karena debitur tidak mampu untuk membayar sisa piutang yang harus dibayar oleh debitur terhadap pihak pemberi kredit.
Hal ini merupakan suatu kerugian bagi pihak perusahaan yang memberikan fasilitas kredit karena debitur melakukan wanprestasi atau ingkar janji. Perbuatan wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu pelanggaran hukum karena tidak sesuai atau melanggar isi dari kontrak perjanjian yang dilakukan oleh kedua pihak tetapi tidak diartikan sebagai suatu tindak pidana. Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum yang tertuang dalam pasal 1308 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “entah perikatan pokok itu memuat ketentuan waktu untuk pelaksanaanya entah tidak, hukuman tidak dikenakan, kecuali jika orang yang terikat untuk memberikan sesuatu atau untuk mengerjakan sesuatu itu tidak melaksanakan hal itu”.
Oleh karena itu wajib hukumnya bagi debitur yang melakukan wanprestasi untuk melanjutkan pembayaran yang sudah tertulis dan sudah disepakati dalam perjanjian kedua belah pihak antara debitur dan kreditur Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 1365 KUH Perdata disebutkan bahwa :
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.
Jelas sekali apa yang dimaksudkan, bahwa apabila debitur melakukan wanprestasi dengan cara tidak melakukan pembayaran pada saat jatuh tempo yang sudah disepakati, maka wajib hukumnya bagi nasabah untuk menyelesaikan piutang tersebut dan wajib pula hukumnya bagi pihak kreditur untuk memberikan kelonggaran dalam memberikan tenggang waktu yang disepakati kembali oleh kedua belah pihak.
Dalam hal debitur mempunyai piutang dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar piutangnya tersebut, maka kreditur akan berusaha dengan segala cara baik yang sesuai dengan prosedur hukum maupun yang tidak sesuai dengan prosedur hukum, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu.[14]
F.            Metode Penelitian
Dengan metode akan memperoleh suatu gambaran yang jelas dan untuk mencapai kesimpulan dari suatu penelitian, maka diperlukan suatu metode. Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah melakukan langkah penelitian dengan metode sebagai berikut :
a)                 Metode Pendekatan
Metode yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu metode penyajian data dalam bentuk uraian yang bersumber dari kepustakaan. Melalui metode ini hukum dapat dilihat sebagai gejala normatif yaitu berupa asas, norma, kaidah yang bersumber dari bahan-bahan hukum baik primer, sekunder maupun tersier, terutama yang ada hubungannya dengan penerapan hukum di bidang perbankan.
b).       Spesifikasi Penelitian
Deskriptif Analisis artinya pendekatan yang menggambarkan dan menganalisis fenomena dan fakta-fakta perjanjian leasing dalam praktinya dihubungkan dengan teori-teori yang ada dalam perjanjian, lembaga pembiayaan, fidusia dan jaminan fidusia serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.  
c).        Teknik Pengumpulan Data
Mengenai pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan tekhnik  sebagai berikut :

1)                       Penelitian Kepustakaan
Pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (liberary research), dengan mengumpulkan data melalui cara atau jalan mempelajari buku atau literatusr berupa pendapat para ahli, yang dijadikan landasan teoritis khususnya yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

G.           Sistematika  Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan terarah mengenai pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka dibuat sitematika penulisan yang terdiri dari 5 Bab. Adapun mengenai pokok bahasan dari kelima Bab tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I :  adalah Bab pendahuluan yang merupakan Bab pengantar untuk bab-bab berikutnya. Dalam Bab ini terdiri dari : Latar belakang, Identifikasi masalah, Tujuan penelitian, Kegunaan penelitian, Kerangka pemikiran, Metode penelitian, dan Sietematika penulisan.
BAB II :            dalam bab ini memuat tinjauan pustaka mengenai pengertian umum tentang perjanjian, perjanjian kredit, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, subjek dan objek dari perjanjian, asas-asas perjanjian, jenis-jenis perjanjian, Wanprestasi dan akibat hukumnya dan putusnya suatu perjanjian..
BAB III : dalam bab ini berisi pengertian umum leasing, Profil perusahaan FIF Graoup Jatibarang,. ciri-ciri leasing, Klasifikasi leasing, Perjanjian Leasing dalam Praktiknya pada PT. FIF Group Jatibarang, jaminan fidusia,  sejarah lahirnya fidusia, pengertian umum tentang jaminan fidusia, ciri-ciri jaminan fidusia. Proses terjadinya jaminan fidusia.
BAB IV :dalam bab ini pembahsan yang berisi tentang, yaitu tentang praktek pelaksanaan perjanjian pembiayaan pada perusahaan leasing di PT. FIF Group Jatibarang serta perlindungan hukumnya bagi pihak kreditur apabila perjanjian tersebut mengalami kegagalan kredit atau wanprestasi.
BAB V :            bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.           Pengertian Umum Tentang Perjanjian
Perjanjian adalah suatu peristiwa dengan mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan suatu prestasi, terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Lahirlah hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang dinamakan perikatan. Ikatan ini dapat bersifat atas dasar saling memberatkan atau atas dasar tanpa adanya pemberatan bagi salah satu pihak atau kedua belah pihak, bahkan mungkin pemberi keuntungan bagi pihak lainnya, misal perjanjian penghibahan.
 Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian terdapat di dalam ketentuan tersebut adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.
Menurut R. Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanjian kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.[15] Menurut R. Setiawan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana, satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[16]
Sedangkan definisi perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo, menyatakan perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.[17]  Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum dimana satu orang mengikatkan kepada satu orang lain atau dimana dua orang itu saling mengikatkan dirinya berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. memang perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain itu terdapat dalam undang-undang, jadi ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, pihak-pihak dengan sengaja dan bersepakat saling mengikatkan diri, yang kemudian timbul hak dan kewajiban pihak-pihak yang perlu diwujudkan. Hak dan kewajiban ini berupa prestasi. Pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi.
Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian ini, kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur selalu bertindak aktif untuk mewujudkan prestasi itu. Jika salah satu pihak tidak aktif, sulitlah prestasi itu diwujudkan. Prestasi adalah tujuan para pihak dalam mengadakan perikatan.

B.              Pengertian Arisan
Di dalam beberapa kamus disebutkan bahwa Arisan adalah kegiatan mengumpulkan uang atau barang yg bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yg memperolehnya, undian dilaksanakan di sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.[18]

C.             Perjanjian arisan
Perjanjian Arisan adalah suatu peristiwa dengan mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan suatu prestasi yaitu mengumpulkan uang atau barang yg bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yg memperolehnya, undian dilaksanakan di sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya dengan di tuangkan dalam bentuk surat kesepakatan bersama.

D.           Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Sebelum berlangsung biasanya akan dibuat kontrak perjanjian secara tertulis, yang akan dipakai sebagai dasar jalannya bisnis yang akan dilaksanakan, dalam setiap perjanjian yang dibuat tidak bisa tidak tertulis dahulu harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian yang akan  atau telah dibuat secara hukum sah dan dapat dipertanggung jawabkan, syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut adalah sebagai berikut (Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) :
1.                  Adanya kata sepakat diantara para pihak
2.                  Adanya kecakapan tertentu
3.                  Adanya suatu hal tertentu
4.                  Adanya suatu sebab yang halal

1.                  Adanya Kata Sepakat Diantara Para Pihak
Mengenai syarat kata sepakat dan kecakapan tertentu dinamakan sebagai syarat-syarat subyektif karena kedua syarat tertentu mengenai subyeknya atau orang-orangnya yang melakukan perjanjian, sedangkan syarat-syarat mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal dinamakan sebagai syarat-syarat obyektif, karena kedua syarat tersebut isinya mengenai obyek perjanjian dari perbuatan hukum yang dilakukan. Adanya kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian setuju atau se ia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian, contohnya seperti apabila A menghendaki sesuatu maka B juga harus menyetujui apa yang dikehendaki oleh A. Dengan kata lain mereka saling menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.
Di dalam Pasal 1321 KUHPerdata diatur mengenai sepakat, yaitu tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan yang dilakukan dengan kemauan yang bebas, pernyataan kehendak yang dilakukan para pihak dalam perjanjian harus dilakukan dengan kemauan yang bebas, jadi disini kemauan yang bebas untuk sahnya perjanjian dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), penipuan (bedrog)[19]. Yang dimaksud kekhilafan yaitu bahwa seseorang itu lalai dalam melakukan sesuatu tanpa ia sadari, hal ini diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata, sedangkan yang dimaksud paksaan adalah paksaan fisik berupa kekerasan yang mengancam dan menakutkan, sehingga yang dipaksa tersebut tidak mempunyai pilihan lain kecuali melakukan perbuatan yang dipaksakan tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 1323 KUHPerdata, penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar disertai dengan kelicikan-kelicikan sehingga pihak lain setuju memberi perijinan, hal ini diatur dalam Pasal 1328 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).[20]
2.                  Adanya Kecakapan Tertentu
Dalam perjanjian juga dipenuhi syarat bahwa mereka yang mengadakannya haruslah cakap menurut hukum, apa yang dimaksud dengan cakap menurut hukum pada azasnya adalah setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat jasmaninya. Ketentuan mengenai seseorang yang sudah dewasa dampaknya berbeda menurut ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lainnya.
Menurut KUHPerdata seseorang dapat dikatakan sudah dewasa adalah saat berusia 21 tahun bagi laki-laki dan bagi perempuan 19 tahun, sedangkan menurut Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kedewasaan seseorang adalah saat berusia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
Acuan hukum yang dapat kita pakai adalah KUHPerdata karena ketentuan ini masih berlaku secara umum sedangkan ketentuan lainnya berlaku secara khusus, hal ini tidak berarti azaz lex specialis derojat lex generalis menjadi tidak berlaku, sebab yang dimaksudkan di sini adalah kedewasaan dalam arti umum. Dalam KUHPerdata juga disebutkan adanya tiga kelompok orang yang tergolong tidak cakap untuk bertindak di dalam hukum, orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini adalah seperti dimaksud dalam Pasal 1330 KUHPerdata yaitu :
a.                  Orang-orang yang belum dewasa
Ketentuan dalam Pasal 330 KUHPerdata, orang yang belum dewasa itu batas usianya 21 tahun dan apabila seseorang sudah mencapai 21 tahun dan cakap, sehat jasmani dan rohani maka orang itu boleh mengadakan perjanjian, namun orang itu sudah mencapai 21 tahun atau lebih dan ia tidak cakap, makatidak boleh melakukan perjanjian.
Pasal 7 ayat 1 Undang- undang No. 1 tahun 1974, menjelaskan bahwa pria dewasa adalah pria yang telah mencapai umur 19 tahun dan wanita dewasa ialah wanita yang telah mencapai umur 16 tahun.
b.                  Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan
Disebutkan dalam Pasal 433 KUHPerdata ada tiga macam alasan tentan adanya pengampunan, yaitu :
(1)     Dungu
(2)     Sakit otak atau mata gelap
(3)     Boros
Dalam Pasal 435 KUHPerdata ialah menegaskan bahwa yang berkuasa menetapkan pengampunan adalah Pengadilan Negeri yang berada di daerah hukum dimana orang yang dibawah pengampunan mulai berlaku pada saat hari diucapkannya putusan itu, seperti diatur dalam Pasal 446 KUHPerdata. Akibat hukum yang terpenting dari penetapan dibawah pengampunan terhadap seseorang adalah orang yang dibawah pengampunan beralih ke dalam kedudukan sesorang yang belum dewasa. Hal ini diatur dala Pasal 452 KUHPerdata.
c.                  Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang disebutkan dalam Undang-undang dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Menurut Pasal 108 dan 110 KUHPeradata istri dalam perkawinan tidak cakap melaksanakan hubungan hukum jika tanpa ijin suami berdasarkan pada Pasal 31 Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 menyatakan kedudukan suami dan istri adalah sama cakap melakukan hubungan hukum
Pentingnya arti kecakapan menurut hukum tentunya mempunyai 2 (dua)  maksud yakni :
1)                 Pertama, maksud yang dilihat dari sudut rasa keadilan yaitu perlunya orang yang membuat perjanjian mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari secara benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan tersebut.
2)                 Kedua, maksud yang dilihat dari sudut ketertiban hukum yang berarti orang yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, artinya orang tersebut harus seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat atas harta kekayaannya.
Orang yang tidak sehat pikirannya tentunya tidak mampu menyadari tanggung jawab yang harus dipikulnya, demikian pula dengan orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, kedudukannya sama dengan orang-orang yang belum dewasa (walau kenyataannya sudah dewasa). Khusus untuk golongan ketiga, orang-orang perempuan yang telah bersuami kenyataannya sekarang ini dalam praktek sudah tidak berlaku lagi, hal inio dapat dilihat dari sikap Mahkamah Agung (MA) dengan Surat Edarannya Nomor. 03/1963 Tanggal 4 Agustus Tahun 1963 yang ditunjukan kepada ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia yang menjelaskan bahwa Pasal 108 dan 110 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di pengadilan tanpa izin dan bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.
3.                  Adanya Suatu Hal Tertentu
Mengenai syarat ke tiga, suatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban si terhutang jika terjadi sengketa, barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Sedangkan barang yang diperjanjikan itu harus ada atau sudah ada di tangan si terhutang pada perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh Undang-undang.
Artinya apa yang di perjanjikan, menurut Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi suatu pokok perjanjian, pada prinsipnya yang dapat dijadikan obyek perjanjian benda bergerak atau tak bergerak benda bertubuh atau tak bertubuh, obyek ini menurut Pasal 1333 KUHPerdata, dalam suatu perjanjian harus mempunyai sebagian pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak ditentukan asalkan jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
4.                  Adanya Suatu Sebab Yang Halal
Selanjutnya mengenai syarat ke empat, yang mengharuskan adanya suatu sebab yang halal dimaksudkan tidak lain pada isi perjanjian itu sendiri, menurut Pasal 1335 KUHPerdata suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab atau causa yang halal atau dibuat dengan suatu causa yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum. Adapun causa yang tidak diperbolehkan ialah causa yang bertentangan dengan Undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.[21]
Dalam hal tidak dipenuhinya syarat obyektif, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perjanjian, tujuan para pihak untuk melahirkan suatu perjanjian adalah gagal. Sedangkan dalam hal tidak dipenuhinya syarat subyektif perjanjian bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas, dengan kata lain perjanjian yang dibuat tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atau atas permintaan pihak-pihak yang berhak meminta pembatalan.

E.            Subjek dan Objek Perjanjian
Di dalam tiap-tiap perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu (subyek perjanjian), yaitu : [22]
1.                  Kreditur yaitu yang mempunyai hak prestasi.
Adalah pihak yang memberikan hutang ataupun pihak yang membiayai seperti halnya sama dengan leasing/lembaga pembiayaan, adapaun pihak kreditur adalah sebagai berikut :
Sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditur terdiri dari :
a.         Individu sebagai person yang bersangkutan.
1)         Manusia tertentu (naturlijke person)
2)         Badan hukum (rechts person)
b.        Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan atau hak orang lain tertentu.
c.         Seseorang yang dapat menggantikan kreditur semula baik atas dasar perjanjian maupun ijin dan persetujuan debitur. [23]

2.                  Debitur yaitu yang wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.
Tentang siapa-siapa yang dapat menjadi debitur, sama keadaannya dengan orang-orang yang menjadi kreditur.[24] Subjek dari perjanjian yaitu pihak kreditur yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka inti sari atau objek dari perjanjian ialah prestasi itu sendiri. [25]
Bentuk prestasi tersebut dalam KUHPerdata dapat dilihat dalam Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berupa :
a.                  Memberikan sesuatu
Pemberian sesuatu bukanlah semata-mata mengenai benda berwujud saja, tetapi termasuk juga jenis jumlah tertentu, dapat juga diartikan menyerahkan kenikmatan dari suatu barang yang terdapat dalam perjanjian pinjam meminjam Pasal 1754 KUHPerdata. Apa yang diserahkan disini adalah hak kebendaannya dan mendapatkan imbalan dari apa yang telah diserahkannya.
b.                  Melakukan sesuatu
Prestasi bersifat positif jika didalam perjanjian menentukan untuk melakukan sesuatu, ini timbul misalnya dalam perjanjian kerja, seperti yang diatur dalam Pasal 1603 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pekerja wajib sedapat mungkin melakukan pekerjaan sebaik-baiknya.
c.                  Tidak melakukan sesuatu
Apabila bentuk prestasi melakukan sesuatu dapat dikatakan positif, maka dalam bentuk prestasi untuk tidak melakukan sesuatu adalah bersifat negatif, pinjam meminjam yang diatur dalam Pasal 1755 KUHPerdata merupakan salah satu perjanjian dengan prestasi negatif. Dimana yang meminjamkan harus menggantikan barang, jika barang itu musnah dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah tanggungannya. [26]

F.            Asas-asas Dalam Perjanjian
Asas merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang kongkrit yang terdapat didalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditentukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. [27]
1.                  Asas Kepribadian
Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.
2.                  Asas Konsensuilisme
Asas konsensuil berkenaan pada saat lahirnya perjanjian. Konsensuil berasal dari kata “consensus” yang berarti kesepakatan.[28] Asas ini memberikan arti bahwa suatu perjanjian yang dilakukan para pihak sejak tercapainya kata sepakat diantara pihak yang melakukan perjanjian, sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. Bahwa perjanjian cukup dibuat secara lisan dimana berarti terdapat kepercayaan berdasarkan atas kata-kata yang diucapkan. Namun terdapat perjanjian-perjanjian tertentu yang dibuat secara tertulis, dimana tujuannya adalah sebagai bukti lengkap mengenai apa yang diperjanjikan oleh para pihak.
Asas konsensuilisme ini adalah suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari para pembuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formil. Hal ini jelas sekali terlihat pada syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat sah suatu perjanjian, bahwa harus ada kata sepakat dari yang membuat perjanjian itu. Asas ini penting sekali dalam suatu perjanjian, sebab dengan kata sepakat ini sudah timbul adanya sautu perjanjian sejak tercapainya kata sepakat. Perjanjian itu sudah ada dalam arti telah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat itu.
3.                  Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud meliputi bentuk dan isi dari perjanjian, bentuk perjanjian berupa kata sepakat atau konsensus saja sudah cukup dan apabila dituangkan dalam suatu akta atau surat hanyalah dimaksud sekedar sebagai alat pembuktian semata saja, sedangkan mengenai isinya para pihak yang pada dasarnya bebas menentukan sendiri apa yang mereka ingin tuangkan.
Namun demikian ada beberapa macam perjanjian yang hanya sah apabila dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum (Notaris) dan PPAT misalnya akta perjanjian menghibahkan saham, akta pendirian PT. Agar perjanjian hibah tersebut sah, pembuat Undang-undang sengaja mengharuskan dipatuhinya bentuk akta otentik guna melindungi kepentingan para pihak terhadap perbuatan dengan buru-buru atau tergesa-gesa yang dapat merugikan mereka sendiri.
Dalam azas kebebasan berkontrak, pembuat Undang-undang yang memberikan azas itu kepada para pihak yang berjanji sekaligus memberikan kekuatan hukum yang mengikat kepada apa yang telah mereka perjanjikan (pacta sunt servanda) seperti dimaksud Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Perlu diingat bahwa hanya perjanjian yang sah saja yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, seperti dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut diatas. Perjanjian yang cacad karena tidak adanya sebab yang halal atau karena tidak ada suatu sepakat tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
4.                  Asas Pacta Sunt Servanda
Merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka, seperti undang-undang. Jadi dengan demikian maka pihak ketiga tidak mendapatkan keuntungan karena perbuatan mereka itu, kecuali kalau perjanjian itu dimaksudkan untuk pihak ketiga.
Asas Pacta Sunt Servanda ini dalam suatu perjanjian, tidak lain adalah untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian itu. Asas ini dalam  suatu perjanjian yang mereka buat mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
5.                  Asas Itikad Baik Dalam Arti Subyektif dan Obyektif
Asas itikad baik dalam arti subyektif ini yaitu berarti sikap batin atau sanubari seseorang pada waktu dimulainya hubungan hukum. Asas itikad baik harus ada pada saat perjanjian akan dibuat. Hal ini diatur dalam Pasal 1963 KUHPerdata dan Pasal 1965 KUHPerdata.
Menurut Pasal 1963 KUHPerdata yang berbunyi :
siapa yang dengan itikad baik, dan berdasar suatu atas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga atau suatu piutang lain yang tidah harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluarsa, dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun”.
Pasal 1965 KUHPerdata, menjelaskan itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan siap yang menunjuk kepada suatu itikad buruk diwajibkan membuktikannya.
Asas itikad baik dalam arti obyektif ini terletak pada pelaksanaan hak-hak dan kewajiban dala suatu hubungan hukum. Pengertian obyektif yaitu suatu perjanjian yang dibuat harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma atau undang-undang. Menurut asas ini perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat 3 dan Pasal 1339 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata berbunyi “suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik”.
Pasal 1339 KUHPerdata, menjelaskan suatu perjanjian tidak hanya mengikat suatu hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

G.           Isi  Suatu Perjanjian
Maksud dari suatu perjanjian disini pada dasarnya ialah ketentuan-ketentuan dan syarat yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak. Ketentuan syarat-syarat ini berisi hak dan kewajiban pihak-pihak yang harus dipenuhi. Dalam hal ini tercermin asas kebebasan berkontrak (idea of freedom of contract) yaitu seberapa jauh pihak-pihak dapat mengadakan perjanjian, hubungan-hubungan apa yang terjadi antara mereka itu,dan seberapa jauh hukum mengatur hubungan antara mereka itu. Isi perjanjian ini terdiri dari 3 bagian, yaitu :
1.                  Syarat-syarat yang tegas (express terms)
Syarat-syarat yang tegas adalah syarat-syarat yang secara khusus disebut dan disetujui oleh pihak-pihak pada waktu membuat perjanjian apakah dilakukan secara tertulis ataupun lisan. Syarat-syarat perjanjian yang disepakati biasanya digolongkan dalam dua macam, yaitu syarat pokok (condition) dan syarat pelengkap (warranty). Syarat pokok adalah syarat penting yang fundamental atau vital bagi perjanjian, sehingga tidak dipenuhi syarat ini akan mempengaruhi tujuan utama perjanjian tersebut. Syarat pelengkap adalah syarat kurang penting, tidak ditaatinya syarat pelengkap ini dapat menimbulkan kerugian, tetapi tidak mempengaruhi tujuan utama perjanjian.
2.                  Syarat Yang Diam-diam (impied terms)
Syarat-syarat yang diam-diam adalah syarat-syarat yang ditentukan secara tegas mengenai suatu hal dalam perjanjian. Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, pihak-pihak pada dasarnya mengakui syarat-syarat demikian itu, karena memberikan akibat komersial terhadap maksud para pihak.
3.                  Klausula-klausula Penyimpangan
Dalam perjanjian sering juga dibuat ketentuan-ketentuan sebagai syarat yang disebut klausula penyimpangan. Maksud kalusula penyimpangan ini ialah untuk membatasi tanggung jawab salah satu pihak, biasanya pihak penjual dengan klausula penyimpangan, ia membatasi tanggung jawabnya dan membebankan kewajiban kepada pihak pembeli atau dengan ungkapan umum, pihak yang lebih kuat membebankan kewajiban kepada pihak yang lebih lemah.
Langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk menghindari akibat yang terlalu memberati yang lemah, misalnya :
a.                  Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-undang yang bersifat mengatur hak dan kewajiban berdasarkan itikad baik.
b.                  Penulisan klausula penyimpangan itu dibuat secara jelas dan mudah dibaca oleh setiap orang yang mau mengadakan perjajian dengan pihak itu.
c.                  Klausula penyimpangan tidak boleh mengenai syarat pokok (condition).
d.                 Klausula penyimpangan memuat kewajiban menaggung bersama akibat yang timbul dari perjajian itu, misalnya jika terdapat kerusakan pada barang yang dibeli, maka penjualan menanggung biaya servis. [29]

H.           Jenis-jenis Perjanjian
Hartono Hadi Soeprapto membagi jenis perjajian kedalam beberapa macam yaitu: [30]
1.                  Perjajian Konsensuil dan Perjajian Formil.
Perjanjian konsensuil adalah perjajnjian yang dianggap terjadi kalau sudah ada konsensus diantara para pihak yang membuatnya, dengan kata lain perjanjian semacam ini tidak memerlukan bentuk tertentu. Perjajian formil yaitu suatu perjanjian yang harus diadakan dengan bentuk tertentu, seperti harus dibuat dengan akta notaris. Perjanjian semacam ini baru di anggap lahir atau terjadi jika dibuat dengan akta notaris dan tanpa adanya akta notaris maka perjanjian di anggap tidak pernah ada, misalnya perjanjian hipotik.
2.                  Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik.
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hak atau kewajiban hanya ada pada salah satu pihak saja, yaitu pihak yang memberi dan pihak yang diberi tidak di bebani kewajiban untuk berprestasi kepada yang memberi, misalnya dalam perjanjian penghibaan atau pemberian maka dalam hal ini yang dibebani kewajiban hanya salah satu pihak saja yaitu pihak yang memberi, sedang pihak yang diberi tidak dibebani kewajiban untuk berprestasi kepada yang memberi.
Perjanjian tibal balik adalah suatu perjanjian yang membebankan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, misalnya perjanjian jual beli.


3.                  Perjajian Obligatoir dan Perjanjian Zakelijk.
Perjanjian obligatoir adalah suatu perjanjian yang akan menimbulkan perikatan artinya sejak terjadinya perjanjian, misalnya perjanjian jual beli, dalam hal ini pembeli dapat menuntut penyerahan barang dan penjual berhak atas penyerahan harga barang, sebaliknya pembeli berkewajiban membayar harga, sedangkan penjual berkewajiban menyerahkan barang. (Perjanjian zakelijk atau perjanjian kebendaan adalah perjanjian penyerahan benda atau levering yang menyebabkan seorang yang memperoleh itu menjadi mempunyai hak milik atas benda yang bersangkutan. Jadi sifat perjanjian zakelijk tidak menentukan perikatan dan justru perjanjianya itu sendiri yang menyebabkan beralihnya hak milik atas benda).
4.                  Perjanjian pokok dan Perjanjian Accessoir.
Perjanjian pokok yaitu suatu perjanjian yang dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada perjanjian yang lainnya, misalnya perjanjian kredit atau perjanjian pinjam mengganti.
Perjanjian accessoir ialah suatu perjanjian yang adanya tergantung pada perjanjian pokok. Oleh karenanya perjanjian accessoir tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada perjanjian pokok,misalnya perjanjian gadai.

5.                  Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama.
Perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yanog disebut serta diatur dalam buku III KUHPerdata atau dalam Kitab Undang-undang hukum Dagang, seperti perjanjian jual beli, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian pinjam mengganti.
Perjanjian tidak bernama ialah suatu perjanjian yang tidak disebut dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang, misalnya perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan, perjanjian jual beli dengan angsuran atau cicilan. Perjanjian tidak bernama itu dapat digolongkan menjadi dua :
a.          Perjanjian Campuran, yaitu perjanjian yang mempunyai ciri-ciri dari dua atau lebih perjanjian bernama. Contoh Sewa-Beli.
b.        Perjanjian Sui Generis, yaitu penyelesaian masalah dengan cara analogi terhadap peraturan perjanjian bernama yang unsur-unsurnya terdapat dalam perjanjian tersebut. Contoh leasing.

I.              Wanprestasi 
Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda, yaitu wanprestasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.[31] Wanprestasi atau cidera janji ada kalau seseorang debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak dapatnya melakukan prestasi adalah diluar kesalahan, atau dengan kata lain debitur tidak dapat membuktikan adanya overmacht, jadi atas kesalahan debitur. Wanprestasi dapat timbul dari dua hal : [32]
1.                  Kesengajaan, maksudnya perbuatan itu memang diketahui atau dikehendaki oleh debitur, sehingga memungkinkan dibatalkannya perjanjian.
2.                  Kelalaian, maksudnya si debitur tidak mengetahui adanya kemungkinan bahwa akibat itu akan timbul.
Menurut Riduan Syahrini, wanprestasi seseorang debitur dapat  berupa 4 (empat) macam, yaitu :
1.                  Sama sekali tidak memenuhi prestasi.
2.                  Tidak tunai memenuhi prestasi.
3.                  Terlambat  memenuhi prestasi.
4.                  Kekeliruan memenuhi prestasi. [33]
Untuk mengetahui seseorang debitur dikatakan wanprestasi ini sangat penting, karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat hukum tertentu bagi debitur yang bersangkutan. Dalam praktek hukum di masyarakat, untuk menentukan sejak kapan seseorang debitur wanprestasi kadang-kadang tidak selalu mudah, oleh karena itu kapan debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian jual-beli sesuatu barang misalnya tidak ditetapkan kapan penjual harus menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, dan kapan pembali harus membayar harga barang yang dibelinya itu kepada penjual. [34]
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan batas waktunya telah ditentukan oleh kreditur, tetapi si berutang akan dianggap lalai apabila tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi itu tidak ditentukan dalam perjanjian, maka dalam hal ini dengan cara memperingatkan kepada debitur supaya memenuhi prestasinya. Peringatan disini secara tertulis dengan surat perintah yang berisi tagihan pemenuhan prestasi, peringatan tertulis tersebut cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal jangan sampai diingkar pihak debitur.
Kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan perjanjian. Tentang bagaimana caranya memperingatkan seseorang debitur, agar jika ia tidak memenuhi teguran itu dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk oleh Pasal 1238 KUHPerdata. Pasal itu menyatakan si berhutang lalai, bila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.[35]
Sebagian akibat debitur melakukan wanprestasi, maka kreditur dapat menuntut kepada debitur hal-hal sebagai berikut:
1.        Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur.
2.        Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur sesuai dengan Pasal 1267 KUHPerdata.
3.        Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan.
4.        Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian.
5.        Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti rugu itu berupa pembayaran uang denda.[36]

J.             Putusnya Suatu Perjanjian 
Saat berakhirnya perjanjian harus dibedakan dengan saat berakhirnya perikatan. Dengan berakhirnya perikatan belum tentu suatu perjanjian juga berakhir, sedangkan dengan berakhirnya perjanjian secara otomatis suatu perikatan juga akan berakhir. Hal ini adalah sebagai konsekuensi bahwa perjanijan adalah salah satu sumber perikatan selain sumber lainnya yaitu undang-undang.  Menurut R. Setiawan, perjanjian dapat dihapus karena :
1.                  Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak. Misalnya persetujuan akan berlaku untuk waktu tertentu.
2.                  Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan. Misalnya menurut Pasal 1066 ayat 3 bahwa para ahli waris dapat mengadakan persetujuan untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu persetujuan tersebut oleh Pasal 1066 ayat 4 KUHPerdata dibatasi berlakunya hanya untuk 5 tahun.
3.                  Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan dihapus.
4.                  Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging). Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak dan hanya pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, seperti perjanjian pinjam meminjam.
5.                  Perjanjian hapus karena keputusan hakim, suatu perjanjian yang diadakan oleh para pihak dapat menjadi hapus oleh karena adanya putusan dari hakim. Hal ini terjadi manakala janji tersebut melibatkan peran seorang hakim.
6.                  Tujuan perjanjian telah tercapai, perjanjian akan menjadi hapus jika tujuan dari adanya perjanjian telah tercapai.
7.                  Dengan persetujuan para pihak, para pihak yang melakukan perjanjian dapat mengajukan penghentian perjanjian yang mereka buat, asalkan perhentian tersebut diketahui dan disepakati oleh para pihak yang bersangkutan. Namun penghentian perjanjian ini hanya ada pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja, perjanjian pinjam meminjam. [37]

Apabila semua perikatan-perikatan dalam perjanjian telah berakhir, maka perjanjian akan berakhir, dalam hal berakhirnya perjanjian sebagai akibat dari berakhirnya perikatan. Sebaliknya berakhirnya perjanjian dapat pula mengakibatkan berakhirnya perikatan yaitu apabila suatu perjanjian berakhir dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat pembatalan karena wanprestasi, maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi berakhir dan perikatan tersebuttidak perlu dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi harus ditiadakan, akan tetapi dapat juga terjadi bahwa perjanjian berakhir atau hapus untuk waktu selanjutnya, jadi kewajibannya tetap ada.







BAB III
LEASING DAN FIDUSIA

A.           Pengertian Umum Leasing
Leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa atau lebih umum diartikan sewa menyewa, yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak kepemilikan atas barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lesse hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu.
Secara umum Leasing artinya adalah equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tiak langsung. Leasing dapat juga dikatakan sebagai lembaga pembiayaan non bank, yang tentunya mempunyai suatu regulasi tersendiri yang mengaturnya.
Salah satu bentuk lembaga pembiayaan kendaraan bermotor adalah leasing. Menurut Pasal 1 angka (2) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988, pengertian Lembaga Pembiayaan (leasing) adalah :
“ Badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.”
Menurut Financial Accounting Standar Board (FASB), Leasing adalah kesepakatan menyampaikan hak untuk menggunakana setatau peralatan. Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, mendefenisikan leasing adalah : 
Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama. Sedangkan menurut PSAK Nomor 30 (Revisi 2007) tentang Sewa, leasing adalah suatu perjanjian di mana lessor memberikan hak kepada lessee untuk menggunakan suatu aset selama periode yang disepakati dan sebagai imbalannya, lessee melakukan pembayaran kepada lessor. Sewa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sewa pembiayaan (capital lease atau financing lease) dan sewa operasi (operating lease). [38]

Menurut Financial Accounting Standar Board (FASB), Leasing adalah kesepakatan menyampaikan hak untuk menggunakana setatau peralatan. Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, mendefenisikan leasing adalah :
Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.

Dari beberapa definisi diatas maka dapat diartikan leasing adalah : “Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan baranr-barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang-barang modal terseut dan dapat membeli atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati.” Berdasarkan pengertian tersebut diatas maka pada prinsipnya pengertian leasing adalah terdiri dari unsure-unsur sebagai berikut :

1.             Pembiayaan perusahaan
2.             Penyediaan barang-barang  modal
3.             Jangka waktu tertentu
4.             Pembayaran secara berkala
5.             Adanya hak pilih
6.             Adanya nilai sisa yang disepakati bersama

B.            Profil Perusahaan Leasing PT. FIF Group
PT FIF (Federal International Finance). PT FIF yang pada awal didirikan dengan nama PT Mitrapusaka Artha Finance adalah cabang dari  PT Astra International Tbk yang merupakan bagian dari Astra Financial Service Group. PT FIF mula-mula terlibat dalam suatu usaha jasa keuangan pada 1 Mei 1989. Usaha jasa  keuangan ini mencakup usaha pembiayaan, penyewaan, dan penguangan piutang dagang. Sejak tahun 1996,  PT FIF secara berangsur-angsur menfokuskan dirinya menjadi perusahaan yang khusus membiayai sepeda motor merk Honda dalam hal hak penyaluran sepeda motor Honda kepada pelanggan secara langsung. Usaha ini didukung oleh 227 dealer dan 70 kantor cabang di 3.157 kota di Indonesia. Oleh karena itu, PT FIF dapat dikatakan telah menjadi salah satu perusahaan pembiayaan sepeda motor terkemuka terutama di Indonesia. PT FIF telah melayani lebih dari 1.000.000 pelanggan dan mengendalikan pangsa pasar sekitar 57% dari semua pembiayaan sepeda motor Honda di Indonesia.[39]
PT. FIF berkembang secara signifikan dari tahun ke tahun dengan didorong oleh sumber daya manusia (SDM) yang bekerja pada perusaan tersebut sangat mumpuni, sehingga mampu bersaing dengan perusahaan lain yang bergerak dibidang yang sama. Untuk alamat FIF Group Pusatmenara FIF di Jalan. TB. Simatupang Kav. 15 Lebak Bulus Cilandak Jakarta Selatan 12440, sedangkan untuk cabang tentunya mempunyai alamat sesuai cabang FIF dimana daerah itu sendiri. adapaun untuk cabang di Kabupaten Indramayu adalah FIF Group Jatibarang beralamat di Jalan. Simpang 3 Widasari  Nomor 25 Desa. Widasari Kecamatan Widasari Kabupaten Indramayu.
Semua perusahaan tentunya mempunyai sejarah dan latar belakang yang berbeda-beda baik itu visi dan misi dalam suatu perusaan tersebut, sejarah/latar belakang  kaitanya dengan profil suatu perusahaan yang sedang berjalan. Adapaun profil PT. FIF Group yang dimaksud adalah sebagai berikut :
A.           VISI : mempunyai visi yaitu “Menjadi Pemimpin Industri yang Dikagumi Secara Nasional”.
B.            MISI : mempunyai misi yaitu “ Membawa Kehidupan yang Lebih Baik untuk Masyarakat”.
FIF GROUP adalah grup manajemen dari beberapa perusahaan yang memiliki unit bisnis yang berbeda-beda. FIF GROUP saat ini menaungi PT Federal International Finance dan PT Astra Multi Finance. FIF GROUP bergerak di bisnis layanan pembiayaan dengan nama merek berikut:

C.           FIF ASTRA
Jasa layanan pembiayaan sepeda motor Honda. Baik motor baru maupun seken berkualitas.  FIF ASTRA adalah merek dari FIF GROUP yang bergerak di bidang pembiayaan sepeda motor.  FIF ASTRA hadir untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat akan :
1.             Pembiayaan sepeda motor baru
FIF ASTRA merupakan pembiayaan resmi untuk sepeda motor Honda. FIF ASTRA bekerjasama dengan ribuan dealer motor Honda di seluruh Indonesia. 
2.             Pembiayaan sepeda motor seken berkualitas
FIF ASTRA juga melayani pembiayaan sepeda motor seken berkualitas. Kualitas dari sepeda motor seken ini ditandai dengan adanya kartu garansi servis resmi dari FIF ASTRA. Setiap motor seken yang dibiayai FIF ASTRA telah melalui proses rekondisi dengan tenaga mekanik yang professional dengan standar kualitas teruji.

D.           Kelebihan Pembiayaan FIF ASTRA
1.             Cepat :  FIF ASTRA dalam melakukan transaksi dengan para konsumen yang hendak melakukan jual beli kredit sepeda motor, selalu didahulukan dan tidak dipersulit hanya membutuhkan waktu/proses 90 menit.
2.             Mudah : FIF ASTRA dalam melayani konsumen yang hendak melakukan perjanjian kredit pembelian kendaraan roda dua melalui lembaga pembiayaan FIF ASTRA, melakukan dengan mudah dan cepat tentunya dengan syarat-syarat adminsitrasi yang mudah seperti :   Dokumen cukup kartu tanda peduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Bayar angsuran di banyak tempat seperti : ATM (BCA, NISP,Permata,BRI). Alfamart, Kantor Pos, dealer motor Honda yang memiliki kasir FIFGROUP serta seluruh kantor cabang FIF GROUP di seluruh Indonesia.
3.             Aman : FIF ASTRA mempunyai proteksi dalam hal kredit seperti : Asuransi motor dari Garda Oto. BPKB dapat langsung diterima pada angsuran terakhir. Proteksi jiwa dengan kredit Siaga. Penggantian motor baru dengan kredit Sigma.
4.             Untung : FIF ASTRA mempunyai keutungan sendiri bagi para konsumen/nasabah seperti : Program menarik dan menguntungkan sepanjang tahun. Pembiayaan secara syariah (bebas penalti untuk pelunasan dimuka, bonus asuransi serta turut berpartisipasi dalam sumbangan sosial.

E.             SPEKTRA
Jasa layanan pembiayaan multiproduk, mulai dari elektronik, perabot rumah tangga, peralatan komputer, furnitur, sepeda sampai dengan traktor tangan. SPEKTRA adalah brand dari FIF GROUP yang bergerak di bidang pembiayaan multiguna. SPEKTRA hadir untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat akan elektronik, perabot rumah tangga, furnitur, sepeda bahkan sampai ke traktor tangan. Tidak hanya itu, selain konsumen bebas menentukan besar dan jangka waktu cicilan, konsumen juga bisa mengikuti berbagai program pemasaran yang menguntungkan sepanjang tahun.  Jasa layanan pembiayaan ini meliputi metode pembiayaan konvensional maupun syariah. FIFG ROUP hadir untuk mengakomodir keanekaragaman kebutuhan masyarakat Indonesia dengan senantiasa berpegang pada prinsip inovasi dan kreativitas. ‘Mengubah tantangan menjadi peluang’ adalah landasan pemikiran yang membuat FIF GROUP terus berkembang. [40]


C.           Ciri-ciri  Leasing
Perlu diperhatikan mengenai ciri-ciri leasing tentunya sudah tertera dalam suatu peraturan peraturan tertentu, akan tetapi sebelum itu kita pahami atau kenali ciri-ciri leasing pada umumnya adalah sebagai berikut ;
a)             Leasing adalah suatu cara pembiayaan.
Tentunya masih ada aspek-aspek lain pada leasing, namun segi pembiayaan adalah salah satu ciri utama baik pada financial leasing maupun pada operational leasing yang akan diuraikan perbedaannya tersebut dibawah ini.
b)             Biasanya ada hubungan antara jangka waktu lease dan masa kegunaan benda yang di lease itu.
a.              Itulah perbedaan pokok dengan sewa menyewa biasa, pada umumnya dapat dikatakan bahwa masa leasing dalam suatu financial leasing adalah sama dengan masa kegunaan ekonomis benda yang dilease.
c)             Hak milik benda yang dilease ada pada lessor, hal ini menimbulkan dampak-dampak tertentu, antara lain dampak yang penting adalah dibidang akuntansi seperti penyusutan dan dibidang hukum antara lain dalam hal melaksanakan perjanjian leasing apa bila terjadi cidera janji atau wanprestasi dan dalam hal kepailitan.
d)            Yang menjadi objek leasing adalah benda-benda yang dipergunakan untuk suatu perusahaan harus diberi pengertian yang luas, yakni benda-benda yang diperlukan untuk menjalankan perusahaan. Jadi tidak hanya mesin-mesin untuk berproduksi tetapi juga kendaraan bermotor dan komputer misalnya.

D.           Klasifiksi  Leasing
Dalam ranah praktiknya ada suatu pembagian/klasifikasi mengenai lembaga pembiayaan non bank (leasing), yaitu financial leasing dan operational leasing, Sale Lease Back, Leverage Lease dan Sydicate Leasing. Tentunya dari semua jenis leasing  tersebut mempunyai suatu persamaan dan perbedaan adalah sebagai berikut ;
a.                   Financial Leasing (Pembiayaan)
1.        Lessor mendapatkan hak milik atas benda bergerak atau benda tak bergerak yang kemudian di serahkan untuk dipakai lesse, untuk suatu jangka waktu yang maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis benda yang bersangkutan dan sebaiknya atau sebaliknya lesse berkewajiban membayar kepada lessor, seluruh biaya lessor untuk mendapatkan barang-barang itu ditambah dengan ongkos-ongkos pembiayaan lessor dan keuntungan bagi lessor
2.        Perjanjian untuk memakai barang itu tidak dapat diakhiri oleh lesse, sehingga dengan demikian lesselah yang memikul resiko ekonomis barang itu. Yang dimaksudkan dengan resiko ekonomis adalah resiko atas pertambahan atau penurunan nilai barang yang bersangkutan
3.        Lesse membukukan barang itu sebagai aktivanya dan lesse juga harus mencatatkan hutangnya kepada lessor.
4.        Pada saat berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan, lesse dapat mengembalikan barang itu kepada lessor, atau dapat membelinya dengan harga yang relatif rendah sebagaimana telah diperjanjikan terlebih dahulu atau lesse dapat memperpanjang jangka waktu leasing dengan syarat-syarat yang disetujui bersama.
Kalau kita perhatikan bahwa pengertian diatas adalah hampir sama dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI. Nomor Kep. 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974 dan Nomor 30/KPB/I/1974 Tanggal 7 Februari 1974 (selanjutnya akan disebut keputusan bersama) dengan kekecualian bahwa dalam keputusan bersama tidak dicantumkan bahwa lesse harus membukukan barang itu sebagai aktiva dan mencatat kewajiban pembayaran kepada lessor sebagai hutang.
Menteri Keuangan dalam surat beliau tertanggal 17 Mei 1978 kepada pimpinan PT. Indonesia Lease Corporation berpendapat bahwa yang berhak melakukan pengusutan adalah lessor apabila barang tercatat sebagai aktiva lessor.
b.                  Operational Leasing (Jasa)
1.        Lessor membeli suatu barang bergerak atau barang tidak bergerak, kemudian menyerahkannya kepada leasse untuk dipakainya selama jangka waktu yang lebih pendek dari masa kegunaan ekonomis barang itu atau maksimum sepanjang masa kegunaan barang yang bersangkutan dan sebagai imbalan lesse wajib membayar kepada lessor suatu imbalan berkala.
2.        Resiko ekonomis barang yang bersangkutan jatuh pada lessor, karena lease dapat mengakhiri perjanjian lease sewaktu-waktu dan karena pada umumnya jangka waktu berlakunya perjanjian lease lebih pendek dibandingkan dengan masa kegunaan barang yang bersangkutan.
3.        Lessorlah yang mencatatkan barang itu sebagai aktivanya.
4.        Setelah berakhirnya perjanjian lease atau setelah perjanjian lease diakhiri, lease wajib mengembalikan barang itu kepada lessor kecuali apabila lesse menggunakan opsinya untuk membeli barang itu dengan harga yang riil yang biasanya relatif besar jumlahnya.
c.                  Sale Lease Back
Satu variasi yang banyak dilakukan adalah, perusahaan leasing membeli barang yang akan di leasenya dari lesse dan setelah menjadi pemilik sah barang itu, lessor menleasenya kembali pada lesse. Mengapa hal ini dilakukan oleh lesse.
Mungkin sekali lesse telah membeli banyak peralatan yang agak panjang masa kegunaanya dan pada suatu waktu lesse membutuhkan modal kerja. Dengan menjual sebagian mesinnya, lease memperoleh uang tunai dan karena lessor kemudian menlease kembali mesin itu kepada lesse, lesse tidak terganggu dalam usahanya karena lesse tetap dapat menggunakan mesin-mesin itu karena lesse menleasenya dari lessor. Yang sukar dalam hal ini adalah penilaian harga barang yang bersangkutan, karena sudah barang bekas, biasanya perusahaan leasing dalam financial leasing akan mengambil sebagai dasar harga yang dapat di perolehnya apabila barang itu dijual dengan segera dan dengan mendapatkan pembayaran tunai untuk mendapatkan kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan serta keuntungannya, sedangkan lessor dalam hal operational leasing akan lebih menitik beratkan pada nilai sesungguhnya barang yang bersangkutan.
Dalam hal ini perlu di perhatikan penentuan harga beli karena kemungkinan adanya untung atau rugi  bagi lesse berkenaan dengan nilai buku barang yang bersangkutan sebagai aktiva sehingga dapat di susutkan. Sistem sale lease back, banyak digunakan dalam hal leasing komputer dan harta tetap, seperti toko dan gudang. Ada penulis Belanda yang menganggap konstruksi murni sale lease back sebagai dengan agunan (verbriklening van geld), dan yurisprudensi mengenai hal ini belum ada di Indonesia.
Dalam kaitan ini perlu diperhatikan, bahwa perseroan-perseroan yang berusaha dalam rangka Undang-undang penanaman modal dalam negeri dan Undang-undang penanaman modal asing telah mendapat fasilitas pembebasan atau pengurangan termasuk untuk barang-barang tertentu.
Karenanya dalam tahun 1974 dikeluarkan Surat Edaran oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 274/A/BKPM/ED/11/1974 Tanggal 11 Maret 1974 yang mensyaratkan adanya izin Badan Koordinasi Penanaman Modal sebelum salah satu barang yang termasuk kekayaan perseroan itu dapat dipindah tangankan.
d.                 Leverage Lease
Untuk kelengkapan perlu disebut juga leverage lease, yang bukan merupakan variasi atas bentuk leasing, tetapi sebenarnya merupakan suatu tehnik pembiayan bagi lessor. Lessor tidak menggunakan dananya sendiri untuk membiayai suatu lease tetapi meminjam sebagian dari dana yang diperlukan dari kreditur pihak ketiga dan kreditur ini tentunya meminta jaminan, dan sebagai jaminan biasanya diberikan obyek yang di lease dan atau lessor melakukan lesse untuk jaminan dari semua tagihan lessor kepada lesse.
e.                  Sydicate Leasing
Sering juga terjadi dimana beberapa perusahaan leasing bersama-sama membiayai penyediaan suatu obyek leasing dan bersama-sama kemudian men-lease barang yang bersangkutan kepada lesse. Sydicate leasing, demikian sudah sering dilakukan di Indonesia.
Dalam kaitan ini selalu di buat perjanjian tersendiri antara para anggota Syndicate untuk mengatur cara pelaksanaan perjanjian leasing serta pelaksanaan agunan-agunan jika ada, serta pembagian hasil pelaksanaan agunan. [41]

Dalam praktek belum dijumpai pelaksanaan Operasional Lease di Indonesia, karenanya tidak diketahui apakah kebijakan pembukuan seperti tercantum pada sub 3 tersebut diatas berlaku di Indonesia. Berkenaan dengan uraian tersebut diatas, resiko ekonomis atas barang yang di lease dalam hal financial leasing terletak pada lesse, sedangkan dalam hal Operasional Lease resiko ini terletak pada lessor.
Karenanya dalam hal financial leasing penilaian atas kemampuan membayar lesse sangat penting bagi lessor, sedangkan dalam Operational Lease apabila lesse tidak dapat membayar, perjanjian dapat diakhiri dan barang akan di lease lagi oleh lessor pada orang lain. Dengan demikian kemungkinan pengakhiran perjanjian dengan mudah adalah salah satu ciri Operational Lease. Biasanya pada Operational Lease lessor memberikan jasa-jasa lain kepada lease seperti pemeliharaan, reperasi asuransi serta pengoperasian barang yang di lease.
Sebenarnya kerap kali sukar untuk menarik garis pemisah yang tegas antara kedua jenis leasing tersebut karena seringkali ada perjanjian lease yang memuat ansur-ansur kedua jenis leasing tersebut. Setelah membandingkan pendapat para penulis,  maka dapat disimpulkan perbedaan financial leasing dan operational leasing sebagai berikut:
1.                  Financial leasing adalah suatu perjanjian pembayaran hal mana lessor diminta untuk membiayai pengadaan barang untuk lesse, sedangkan pada operational leasing perjanjian menitik beratkan pada pemberian jasa.
2.                  Pada financial leasing resiko ekonomis atas objeknya benda pada lesse karena lesse wajib membayar  kembali modal yang di sediakan lessor untuk mengadakan barang yang bersangkutan ditambah bunga dan ongkos lain selama kontrak berjalan, apapun yang terjadi. Sedangkan operational leasing resiko ekonomis atas barang yang di lease ada pada lessor.
3.                  Pada financial leasing lessor hanya memikul resiko berkenaan dengan keadaan keuangan, kemampuan membayar serta bonafiditas lesse, sedangkan pada Opertional Leasing, lessor menanggung resiko hilangnya  atau rusaknya objek yang di lease.
4.                  Pada financial leasing jangka waktu kontrak sama atau hampir sama dengan masa kegunaan barang yang bersangkutan menurut persetujuan lessor dan lesse, sedangkan pada operational leasing, jangka waktu perjanjian pada umumnya tidak sama dengan masa kegunaan barang yang bersangkutan.
5.                  Pada akhir masa lease, lesse mempunyai hak opsi untuk membeli barang itu dari lessor dengan harga yang disetujui terlebih dahulu, tetapi harga barang pada
6.                  Hampir tak berarti jumlahnya, sedangkan pada operational leasing jumlah harga relatif tinggi menurut nilai ekonomis riil barang tersebut.
7.                  Pada financial leasing pada prinsipnya lesse dilarang mengakhiri kontrak sebelum jangka waktu yang di perjanjikan berakhir, kecuali di perjanjikan lain, sedangkan pada operational leasing jangka waktu leasing tidak tertentu dan dapat diakhiri oleh lesse.
8.                  Pada operational leasing, lessor pada umumnya memberikan jasa-jasa untuk penggunaan, pengoperasian dan pemeliharaan barang yang di lease, sedangkan hal ini tidak terjadi pada financial leasing.



E.            Perjanjian Leasing dalam Praktiknya di PT FIF Group Jatibarang
Perjanjian leasing dalam praktiknya tentunya hemat dari penulis setelah cukup lama bekerja di PT. FIF Group Jatibarang tentunya sama dengan perjanjian-perjanjian pada umumnya yang berdasarkan pada teori dan regulasi yang ada yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi dalam ranah praktik adanaya suatu ketidaksamaan ataupun tidak sesuai dengan teori hukum itu bukanlah merupakan suatu kendala, hambatan ataupun tipu muslihat dalam suatu perjanjian kredit dalam lembaga pembiayaan/leasing yang terjadi. Akan tetapi hanyalah sebuah cara atau taktik suatu perusahaan untuk meraup untung dalam setiap perjanjian dengan konsumen/nasabah, karena hakikatnya suatu perusahaan tentunya ingin mendapatkan laba/untung yang banyak tanpa terkecuali PT. FIF Group juga dalam hal ini.
 Perjanjian kredit leasing pada PT. FIF Group tentunya tidak jauh berbeda dengan perusahaan-perusaan lainya, anatara lain harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk setiap pengajuan kredit dan harus mau tunduk dalam setiap isi perjanjian kredit yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Perjanjian kredit  dalam praktiknya anatara lain memuat perjanjian pembiayaan konsumen, surat kuasa pembebanan jaminan fidusia, surat kuasa, surat persetujuan suami/isteri (jika sudah kawin), surat pernyataan dan surat pernyataan penutupan asuransi sepeda motor.
Perjanjian pembiayaan konsumen dalam hal ini adalah memuat kata-kata awal seperti : “Pada hari ini …… tanggal……. dibuat, disepakati dan ditanda-tangani Perjanjian Pembiayaan Konsumen, selanjutnya disebut dengan “Perjanjian Pembiayaan”. Oleh dan diantara pihak-pihak di bawah ini : ………… objek pembiayaan konsumen, struktur pembiayaan konsumen dll. Dengan ketentuan yang sudah baku dan disiapkan oleh PT. FIF Group atau perusahaan tersebut, sedangkan konsumen hanya harus mensepakati dan menandatangi saja.
Untuk surat kuasa pembebabanan jaminan fidusia, surat kuasa surat persetujuan suami/isteri, surat pernyataan dan surat penyataan penutupan asuransi sepeda motor yang dibuat oleh PT. FIF Group disatukan menjadi satu bendel dan diberikan salinannya kepada konsumen, adapaun untuk lebih jelas isi dari surat-surat perjanjian kredit ataupun lainya yang sudah dijelaskan di atas oleh penulis akan dilampirkan pada lembar lampiran penulisan skrispi ini.

F.            Pengertian Fidusia
Fidusia atau lengkapnya ”Fidusiaire Eigendomsoverdracht” sering disebut sebagai Jaminan Hak Milik Secara Kepercayaan, merupakan suatu bentuk jaminan atas benda-benda bergerak disamping gadai di mana dasar hukumnya yurisprudensi.  Pada fidusia, berbeda dari gadai, yang diserahkan sebagai jaminan kepada kreditur adalah hak milik sedang barangnya tetap dikuasai oleh debitur.
Dalam ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, disebutkan bahwa:
”Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam pengusaan pemilik benda.”
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa kepercayaan merupakan syarat utama di dalam lalu lintas perkreditan.Seorang nasabah memperoleh kredit karena adanya kepercayaan dari bank.Dalam fidusia, benda jaminan tidak diserahkan secara nyata oleh debitur kepada kreditur, yang diserahkan hanyalah hak milik secara kepercayaan.Benda jaminan masih tetap dikuasai oleh debitur dan debitur masih tetap dapat mempergunakan untuk keperluan sehari-hari.
Jaminan fidusia dituangkan dalam bentuk perjanjian.Biasanya dalam memberikan pinjaman uang, kreditur mencantumkan dalam perjanjian itu bahwa debitur harus menyerahkan barang-barang tertentu sebagai jaminan pelunasan utangnya.[42]
Dalam ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia disebutkan bahwa :
”Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda brgerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepadaPenerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.”

Dari pengertian di atas, dapat diketahui unsur-unsur jaminan fidusia meliputi adanya hak jaminan dan adanya obyek, yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.Benda yang menjadi obyek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia dan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia. Perjanjian Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi.[43]

G.           Sejarah  Lahirnya Fidusia
Jaminan fidusia lahir karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga gadai mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat. Pasal 1152 ayat 2 KUH Perdata tentang gadai mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai (azas inbezitstelling). Ini merupakan hambatan yang berat bagi gadai atas benda-benda bergerak berwujud, karena pemberi gadai tidak dapat menggunakan benda-benda tersebut untuk keperluannya. [44]
Hambatan tersebut kemudian diatasi dengan mempergunakan lembaga fidusia yang diakui oleh Yurisprudensi Belanda tahun 1929 dan diikuti oleh Arrest Hooggerechtshof di Indonesia tahun 1932, bahwa pada hakekatnya dalam hal jaminan fidusia memang terjadi pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda berdasarkan kepercayaan antara Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia.Pengalihan hak kepemilikan dimaksud semata-mata sebagai jaminan bagipelunasan utang bukan untuk seterusnya dimiliki oleh Penerima Fidusia. Lahirnya Arrest Hooggerechtshof tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dari pengusaha-pengusaha kecil, pengecer, padagang menengah, pedagang grosir yang memerlukan fasilitas kredit untuk usahanya.Perkembangan perundang-undangan fidusia sangat lambat, karena undang-undang yang mengatur tentang jaminan fidusia baru diundangkan pada tahun 1999, berkenaan dengan bergulirnya era reformasi. [45]

H.           Ciri-ciri  Fidusia
Seperti halnya hak tanggungan, Lembaga Jaminan Fidusia yang kuat mempuyai ciri-ciri sebagai berikut :
1.                  Memberikan kedudukan yang mendahulukan kepada kreditur (penerima fidusia) terhadap kreditur lainnya. (Pasal 27 Undang - undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia);
Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia.
Hak yang didahulukan yangdimaksud adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.Hak yangdidahulukan dari penerima fidusia tidak hapuskarena adanya kepailitan dan likuidasi pemberi fidusia.Ketentuan dalam hal ini berhubungan denganketentuan bahwa jaminan fidusia merupakan agunan ataskebendaan bagi pelunasan utang. [46]

Disamping itu, ketentuan dalam undang-undang tentang kepailitan menentukan bahwa benda yang menjadi obyekjaminan fidusia berada diluar kepailitan dan atau likuidasi. Apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih dari1 (satu) perjanjian jaminan fidusia, maka hak yang didahulukan ini diberikan kepadapihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada kantor pendaftaran fidusia.
2.                  Selalu mengikuti obyek yag dijaminkan di tangan siapapun objek itu berada (droit de suite) (Pasal 20 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).
Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu benda itu berda, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia.[47]
Ketentuan ini merupakan pengakuan atau prinsip “droit de suite”yang telah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitanya dengan hak mutlak atas kebendaan (inrem).
3.                  Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak - pihak yang berkepentingan (Pasal 6 dan 11 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).
Akta Jamian Fidusia yang dibuat Notaris sekurang-kurangnya memuat :

a.         Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
b.        Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia;
c.         Uraian mengenai benda yang menjadi obyek fidusia;
d.        Nilai penjaminan;
e.         Nilai benda yang menjadi objek fidusia.
Selanjutnya dalam hal ini benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini merupakan terobosan penting yang melahirkan fidusia sehingga dapat memenuhi asas publisitas (semakin terpublikasi jaminan hutang, akan semakin baik, sehingga kreditur atau khalayak ramai dapat mengetahui atau punya akses untuk mengetahui informasi - informasi penting di sekitar jaminan hutang tersebut).
4.           Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Pasal 29 Undang - Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia);
Dalam hal debitur atau pemberi fidusia cidera janji, pemberi fidusia wajib menyerahkan obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dapat dilaksanakan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial oleh kreditur atau penerima fidusia, artinya langsung melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi atau penjualan obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan dari hasil penjualan. Dalam hal akan dilakukan penjualan dibawah tangan, maka harus dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.

I.              Proses Terjadinya Fidusia
Dalam proses terjadinya jaminan fidusia di laksanakan melalui dua tahap yaitu :
1.                  Tahap Pembebanan Jaminan Fidusia
Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Dengan demikian, akta notaris di sini merupakansyarat materiil untukberlakunya ketentuan-ketentuan Undang - undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia atas perjanjian penjaminan fidusia, disamping juga sebagai alat bukti.
Perlu diketahui, bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak lahir pada saat penuangannya dalam suatu akta, tetapi sudah ada sebelumnya, yaitu sudah ada sejak adanya kesepakatan antara para pihak yang memenuhi syarat Pasal 1320 KUH Perdata dan penuangannya dalam akta hanya dimaksudkan untuk mendapatkan alat bukti saja.
Akta notaris merupakan salah satu wujud akta otentik sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1868 dan Pasal 1870 KUHPerdata yang memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna terhadap para pihak dan ahli waris atau orang yang memdapatkan hak dari padanya.  Alasan undang-undang menetapkan dengan Akta Notaris adalah :
a.         Akta Notaris adalah akta otentik sehingga memiliki kekuatan pembuktian sempurna;
b.        Objek jaminan fidusia pada umumnya adalah benda bergerak;
c.         Undang-undang melarang adanya fidusia ulang.
Akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang- Undang Fidusia sekurang-kurangnya memuat :
a.         Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
Identitas tersebut meliputi namalengkap, agama, tempat tinggal atau kedudukan dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan pekerjaan;
b.        Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, yaitu mengenai macam perjanjian, dan utang yang dijamin dengan fidusia;
c.         Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasi benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia merupakan benda dalam persediaan (inventory) yang selalu berubah-ubah dan tidak tetap, seperti stok bahan baku, barang jadi, maka akta jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda tersebut.
d.        Nilai penjaminan;
e.         Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
2.                  Tahap Pendaftaran Jaminan Fidusia
Tujuan pendaftaran fidusia adalah melahirkan jaminan fidusia bagi penerima fidusia, memberikan kepastian kepada kreditur lain mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditur dan untuk memenuhi asas publisitas karena kantor pendaftaran terbuka untuk umum. [48]
Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan termasuk benda yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Republik Indonesia. Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia dan dilakukan pada kantor Pendaftaran Fidusia yang merupakan bagian dalam lingkungan Departemen kehakiman Permohonan pendaftaran dilakukan oleh penerima fidusia, kuasaatau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, yang meliputi :

a)        Identitas pihak dan penerima fidusia;
b)        Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;
c)        Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
d)       Uraian mengenai benda yang menjadi objek jamianan fidusia;
e)        Nilai penjaminan;
f)         Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. [49]
Kemudian Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran guna melakukan pengecekan data setelah dilakukan pendaftaran, maka kantor Pendaftaran fidusia menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia kepada penerima fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran jaminan fidusia.
Ketentuan ini dimaksudkan agar Kantor Pendaftaran Fidusia tidak melakukan penilaian terhadap kebenaran yang dicantumkan dalam pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, akan tetapi hanya melakukan pengecekan data yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran fidusia. Tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku Daftar Fidusia ini dianggap sebagai lahirnya jaminan fidusia.Dengan demikian pendaftaran jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia, merupakan perbuatan konstitutif yang melahirkan jaminan fidusia. Penegasan lebih lanjut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 28 Undang– Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan apabila atas benda yang sama menjadi obyek jaminan lebih dari 1 (satu) perjanjian jaminan fidusia, maka kreditur yang lebih dahulu mendaftarkannya adalah penerima fidusia. Hal ini penting diperhatikan oleh kreditur yang menjadi pihak dalam perjanjian jaminan fidusia, karena hanya penerima fidusia, kuasa atau wakilnya yang boleh melakukan pendaftaran jaminan fidusia.
Sebagai bukti bagi kreditur bahwaia merupakan penerima jaminan fidusia adalah Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat ini sebenarnya merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang sama dengan data dan keterangan yang ada pada saat pernyataan pendaftaran.
Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,Dimana dengan adanya kata – kata tersebut, Sertifikat Jaminan Fidusia mempuyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempuyai kekuatan hukum tetap. Maksudnya, bahwa putusan tersebut langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. [50]
3.                  Hapusnya Jaminan Fidusia
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Jaminan fidusia, jaminan fidusia ini merupakan perjanjian accessoir dari perjanjian dasar yang menerbitkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.
Sebagaimana suatu perjanjian accessoir dari jaminan fidusia demi hukum hapus, bila utangnya pada perjanjian pokok, yang menjadi sumber lahirnya perjanjian penjaminan fidusia atau utang yang dijamin dengan fidusia menyatakan secara tegas bahwa jaminan fidusia hapus karena :
a.         Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
Jadi sesuai dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, maka adanya jaminan fidusia tercantum pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya.Apabila piutang tersebut habis karena hapusnya utang, maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan hapus, dan hapusnya utang ini dapat dibuktikan dengan bukti pelunasan atau bukti hapusnya hutang yang berupa keterangan yang dibuat oleh kreditur. Utang yang pelunasannya dijamin dengan jaminan fidusia dapat berupa :
1.        Utang yang telah ada;
2.        Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah di perjajikan dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang dikenal dengan istilah ”kontijen”, misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank;
3.        Utang yang pada eksekusinya dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi prestasi. Utang dimaksud adalah utang bunga atas pinjaman pokok dan biaya lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan dikemudian. [51]

b.        Pelepasan hakatas jaminan fidusia oleh penerima fidusia;
Seperti halnya pada hapusnya hutang yang dijaminkan dengan fidusia, maka hapusnya fidusia karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia adalah wajar, mengingat pihak penerima fidusia sebagai yang memiliki hak atas fidusia tersebut bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya.
c.         Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tidak akanmenghapus klaim asuransi, kecuali diperjanjikan lain. Jadi apabila benda yang menjadi obyek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan, maka klaim asuransi akan mengganti jaminan fidusia.
4.                  Eksekusi Jaminan Fidusia
Apabila debitur wanprestasi, maka menurut Pasal 29 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menjadi obyek jaminan fidusia dapat dilakukan eksekusi dengan cara:
a.         Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia;
b.        Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
c.         Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, debitur wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Apabila debitur tidak menyerahkan jamian fidusia tersebut pada waktu eksekusi dilaksanakan, kreditur berhakmengambil benda yang menjadi obyek jamian fidusia tersebut dan kalau perlu meminta bantuan pihak yang berwenang.
Dalam hal benda yang menjadi obyek jamian fidusia terdiri atas benda atas benda perdagangan atau efek yang dapat diperjual belikan di pasar atau bursa, penjualannya dapat dilakukan ditempat-tempat tersebut sesuai denganperaturan yang berlaku.
Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia dengan cara bertentangan dengan ketentuan tersebut diatas batal demi hukum serta setiap janji memberikan kewenangan kepada pemberi fidusia untuk memiliki benda yang menjadi obyek jamian fidusia apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum.
Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai seluruh sisa seluruh utang debitur, kreditur wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada debitur, namun apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum dibayar.


BAB IV
PEMBAHASAN

A.           Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Leasing Pada Praktiknya
Perjanjian sekiranya masyarakat umum sudah mengetahuinya dan menjalankan dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi dirasa kurangnya pemahaman ataupun mengetahui akan arti dari pengertian itu sendiri. sejalan dengan bunyi pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) menjelaskan arti dari perjanjian adalah sebagai berikut :
“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Akan tetapi penulis rasa dengan pemahaman yang disertai pendapat salah satu pakar hukum yang didapat pada saat perkuliahan bahwa pengertian perjanjian dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) kuranglah sempurna, memang benar ada adegium bahwa hukum tidak dapat didefinisikan dengan pasti akan tetapi dengan perkembangan zaman yang dikira pesat dengan disertai kemajuan teknologi definisi/pengertian dalam pasal tersebut sudah tertinggal jauh.
Maksud dari kurang sempurna ataupun sudah tertinggal jauh adalah demikian, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya. Sedangkan dalam ranah praktiknya sekarang adalah perjanjian itu dilakukan bukan hanya orang melainkan suatu lembaga/instansi/badan hukum juga sering melakukan suatu perjanjian hukum karena subjek hukum itu bukan hanya orang saja (naturlijke persoon) tetapi juga badan hukum (recht persoon). Kemudian mengikatkan dirinya kata-kata tersebut seolah-olah mempunyai makna hanya salah satu pihak saja yang mengikatkan dirinya ataupun sepakat akan perjanjian tersebut bisa dikatakan bahwa perjanjian itu adalah sepihak tidak kedua belah pihak atau lebih saling mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut sehingga muncul asas kebebasan berkontrak terdapat dalam pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) yang berbunyi :
“Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undanga dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik.”

Disamping itu juga seolah-olah hanya salah satu pihak saja yang sepakat akan perjanjian itu, padahal yang penulis ketahui bahwa syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kata sepakat dari kedua belah pihak atau lebih. Sesuai dengan isi dari pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) tentang syarat sahnya suatu perjanjian yaitu sebagai berikut ;
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu ;
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal.“


Selain itu juga dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) tidak dijelaskan apa yang diperjanjikan dalam hal ini adalah objek (prestasi) dalam perjanjian tersebut, karena hemat penulis dirasa kurang masuk akal jika ada suatu perjanjian dengan tidak adanya suatu objek yang jelas. Penjelasan mengenai objek dari suatu perjanjian dijelaskan dalam pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) yaitu :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.”  

Jadi bisa dikatakan bahwa perjanjian dalam pandangan umum  adalah suatu perikatan yang dilakukan oleh orang dengan orang, orang dengan badan hukum yang mana dua orang dan/atau badan hukum atau lebih saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu prestasi (objek) dari suatu perikatan tersebut dan mempunyai akibat hukum akan itu. Dari pengertian dapatlah diambil unsur-unsur yang penting  untuk dapat memudahkannya yaitu ;
1.                  Adanaya suatu perikatan
2.                  Anatar satu orang atau lebih dan/atau badan hukum
3.                  Saling mengikatkan dirinya ;
4.                  Adanya suatu objek yang diperjanjiakan ; dan
5.                  Mempunyai suatu akibat hukum. 

Kaitanya dengan perjanjian leasing tentunya sudahlah menjadi hal yang umum karena masyarakat banyak  sudah menjalankan terlebih dahulu tanpa harus mengetahui apa itu perjanjian kredit leasing atau dengan lembaga pembiayaan, akibatnya masyarakat awam akan itu tidak mengetahui akibat hukum yang akan ditanggungnya dikemudian hari jika mereka para debitur melakukan suatu pelanggaran dalam hal ini adalah ingkar janji (wanprestasi) dalam perjanjian tersebut.
Perjanjian kredit hakikatnya adalah nama lain dari perjanjian pinjam meminjam dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt), yang mana dijelaskan secara terperinci dari pasal 1754 sampai dengan 1769. Sedangkan untuk pengertian dari pinjam meminjam pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), adalah:
“Perjanjian pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah uang yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”

Menurut Hasan berpendapat lain, bahwa : “Perjanjian kredit tidak tepat dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUHPerdata, sebab antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa perbedaan. Perbedaannya, menurut Hasan terdapat pada hal-hal :
1.         Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan; biasanya dalam perjanjian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima,sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uang secara bebas.
2.         Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan, dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian pinjammeminjam, pemberi pinjaman dapat dilakukan oleh individu.
3.         Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam. Pada perjanjian kredit berlaku ketentuan UUD 1945, ketentuan bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan-ketentuan umum KUH Perdata, UU Perbankan, Paket Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Ekonomi terutama bidang perbankan, Surat-Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) dan sebagaimnya, sedangkan pada perjanjian pinjam-meminjam tunduk semata-mata pada KUH Perdata Bab XIII Buku III.
4.         Pada perjanjian kredit dan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman itu harus disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja, dan bunga inipun baru ada apabila diperjanjikan. Pada perjanjian kredit, bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan baikmateriil maupun immateriil, sedangkan pada perjanjian pinjam-meminjam, jaminan merupakan pengaman bagi kepastian pelunasan hutang dan ini pun baru ada apabila diperjanjikan, dan jaminan itu hanya merupakan jaminan secara fisik atau materiil saja. [52]

Hubungannya dengan perjanjian kredit pada suatu lembaga pembiayaan (leasing) khususnya pada Perseroan Terbatas (PT) FIF Group Jatibarang, sudah dijelaskan tentunya dalam bab sebelumnya mengenai pengertian dari leasing itu sendiri, ciri-ciri dari leasing dan klasifikasi atau pembagian dari leasing itu. Tentunya jika dikaitkan dan digabungkan bahwa perjanjian leasing itu sendiri adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh pihak lessor sebagai pihak yang mempunyai modal dengan pihak lessee sebagai pihak nasabah/lembaga yang diberikan modal untuk menikmati suatu barang dan dengan Vendor atau Leveransir atau disebut Supplier  sebagai pihak ketiga penjual suatu barang yang akan dibeli oleh lessor untuk disewakan kepada lessee, yang mana para pihak tersebut saling mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan saling melaksanakan suatu prestasi.
Jadi sesuai di atas bahwa dalam leasing sebagai lembaga pembiayaan dalam sistem kerjanya akan menghubungkan kepentingan dari tiga pihak yang berbeda, yaitu :
d)                 Lessor, adalah pihak leasing itu sendiri sebagai pemilik modal, yang nantinya akan memberikan modal alat atau membeli suatu barang.
e)                  Lessee, adalah nasabah atau perusahaan yang bertindak sebagai pemakai peralatan/barang yang akan di leasing atau yang akan disewakan pihak penyewa/lessor.
f)                  Vendor atau Leveransir atau disebut Supplier, sebagai pihak ketiga penjual suatu barang yang akan dibeli oleh lessor untuk disewakan kepada lessee.

Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik, menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian financial lease/kontrak leasing atau suatu perjanjian pembiayaan.
Dalam melakukan perjanjian leasing khususnya pada PT. FIF Group Jatibarang terdapat prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan pada prakteknya yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :
11)             Lessee bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksudkan.
12)             Setelah lessee mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan kepada lessor disertai dokumen lengkap.
13)             Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lessee (lama kontrak pembayaran sewa lease), setelah ini maka kontrak lease dapat ditandatangani.
14)             Pada saat yang sama, lessee dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease dangan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama.
15)             Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan supplier peralatan tersebut.
16)             Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi lessee. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna jual.
17)             Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada suppplier.
18)             Supplier menyerahkan tanda terima (yang diterima dari lessee), bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada lessor.
19)             Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.
20)              Lessee membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah ditentukan dalam kontrak lease.

Secara keseluruhan bahwa perjanjian kredit dalam lembaga pembiayaan (leasing) dalam praktiknya sudah dijelaskan secara terperinci oleh penulis di atas sebagai mekanisme ataupun prosedural yang harus ditempuh pada perjanjian leasing tersebut.  Hubungannya dengan fidusia adalah untuk mendapatkan perlindungan pada pihak kreditur dan debitur dalam hal ini, artinya menurut teori bahwa perjanjian kredit dalam leasing tersebut haruslah didaftarkan pada notaris agar mempunyai akta fidusia sebagai jaminan fidusia yang nantinya mempunyai kekuatan eksekusi/eksekutorial terhadap pihak debitur yang macet atau melakukan wanprestasi dalam perjanjian leasing tersebut. Artinya adanya suatu perlindungan hukum  yang hemat penulis akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya yaitu perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian kredit leasing jika terjadi kegagalan kredit.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak leasing PT. FIF Group Jatibarang terhadap kredit macet atau pihak debitur tidak mau melaksanakan prestasi dengan baik sebagian besar kendalanya adalah sebagai berikut ;
1.                  Penghasilan Debitur
Alasan yang dominan pada setiap kalangan lembaga pembiayaan leasing tanpa kecuali PT. FIF Group Jatibarang, yaitu pendapatan ataupun penghasilan dari debitur harus diperhitungkan pada saat akan melakukan perjanjian leasing untuk kendaraan roda dua ini. bisa saja pada saat verifikasi data ataupun pihak FIF melakukan survei kepada dibitur lolos dikarenakan penghasilan perbulan dikira sanggup untuk melakukan perjanjian kredit leasing ini, akan tetapi lambat laun dikemudian hari ternyata terjadi sesuatu yang tidak diinginkan yakni penghasilan pihak debitur kurang dan berdampak pada pembayaran angsuran perbulanya kepada pihak PT. FIF Group  dengan kata lain adanya kredit macet.
2.                  Barang Digadaikan
Pihak PT. FIF Group Jatibarang  sesunggunya sudah melakukan suatu proteksi dengan melakukan perjanjian/ hitam di atas putih dalam perjanjian kredit leasing kemdaraan roda dua ini, akan tetapi masih saja pihak yang tidak mempunyai iktikad baik dengan melakukan menggadaikan barang (motor) yang belum lunas pembayaran angsurannya tentunya akan membuat permasalahan yang cukup rumit antara pihak debitur dengan pihal PT. FIF. 
3.                  Barang  Dijual
Bukan hanya digadaikan saja yang menjadi problem dalam hal ini, masih ada dalam praktinya hal yang sungguh diluar dugaan pihak PT. FIF terhadap salah satu debituya yaitu berani menjual barang (motor) yang hakikatnya belum menjadi miliknya secara pribadi karena persangkutan dengan Pihak FIF belum selesai.
4.                  Debitur Pindah Rumah
Identitas nasabah dalm hal ini adalah pihak debitur pada saat melakukan perjanjian dan sampai selesai persangkutan menjadi hal yang utama, akan tetapi jika pihak dibitur tidak diketahui keberadaaanya, susah untuk dihubugi atau pidah rumah yang tidak ada konfirmasi menjadi kendala timbulnya kredit macet, disisi lain pihak debitur kurangnya mempnuyai rasa tanggungjawab yang tinggi akan persangkutan dengan pihak FIF belum selesai.
5.                  Salah  Satu  Pegawai PT. FIF Group Jatibarang Nakal
Kesalahan bukan hanya ada pada pihak dibitur saja, melainkan terkadang dalam praktiknya tidak sedikit pula salah satu pegawai FIF Group Jatibarang yang diberikan tugas untuk melakukan penagihan terhadap nasabah/debitur ini berbuat curang ataupun nakal.  Dalam hal ini adalah maksud curang dan nakal uang setoran dari dibitur perbulan tidak disetorkan pada PT. FIF sehingga anggapannya pihak dibitur melakukan wanprestasi dengan tidak melakukan prestasi yaitu pembayaran setoran perbulannya.
6.                  Kejadian Yang Tidak Diduga-duga (Force Majeur/Overmach)
Kejadian yang tidak diduga-diduga pun kerap menjadi kendala terjadinya kredit macet, maksudnya adalah pihak dibitur mengalami hal yang menghalanginya untuk melakukan pretasinya dengan membayar setoran perbulan pada pihak PT. FIF Group Jatibarang seperti ruko/toko yang menjadi sumber penghasilan debitur terbakar, petani gagal untuk memanen sawahnya karena banjir.




B.            Perlindungan Hukum Bagi Pihak Kreditur Dalam Perjanjian Leasing Apabila Terjadi Kegagalan Kredit/Kredit Macet
Berbicara mengenai perlindungan hukum  sudah pasti merupakan suatu akibat dari adanya suatu pelanggaran atas peraturan perundang-undangan ataupun suatu perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak. Yang mana pelanggaran tersebut disebut dengan ingkar janji/wanprestasi.
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.[53] Wanprestasi atau cidera janji ada kalau seseorang debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak dapatnya melakukan prestasi adalah diluar kesalahan, atau dengan kata lain debitur tidak dapat membuktikan adanya overmacht, jadi atas kesalahan debitur. Wanprestasi dapat timbul dari dua hal :
3.        Kesengajaan, maksudnya perbuatan itu memang diketahui atau dikehendaki oleh debitur, sehingga memungkinkan dibatalkannya perjanjian.
4.        Kelalaian, maksudnya si debitur tidak mengetahui adanya kemungkinan bahwa akibat itu akan timbul. [54]


Menurut Riduan Syahrini, wanprestasi seseorang debitur dapat  berupa 4 (empat) macam, yaitu :
5.                  Sama sekali tidak memenuhi prestasi.
6.                  Tidak tunai memenuhi prestasi.
7.                  Terlambat  memenuhi prestasi.
8.                  Kekeliruan memenuhi prestasi. [55]
Dengan kata lain bahwa ingkar janji/wanprestasi sebab lahirnya perlindungan hukum, yang mana salah satu pihak tidak melakukan suatu prestasi dan dalam perjanjian leasing ini adalah jika pihak debitur melakukan ingkar janji (kredit macet) bagaimana penyelesaianya yang seharusnya dilakukan.  Sebagai  akibat debitur melakukan wanprestasi, maka kreditur dapat menuntut kepada debitur hal-hal sebagai berikut:
6.        Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur.
7.        Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur sesuai dengan Pasal 1267 KUHPerdata.
8.        Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan.
9.        Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian.
10.    Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti rugu itu berupa pembayaran uang denda. [56]

Akan tetapi dalam prakti ataupun teori harus dicari informasi terlebih dahulu, apa sebab dari pihak yang melakukan wanprestasi tersebut murni benar-benar melakukanya atau karena sesuatu hal tertentu yang tidak diduga-duga/tidak diinginkan (overmacht). Jika benar adanya overmacht kreditur tidak dapat melakukan suatu tuntutan terhadap debitur akan :
1.                  Pemenuhan prestasi saja
2.                  Pemenuhan prestasi dan ganti rugi
3.                  Dan lain-lain sesuai yang ada pada draf perjanjian.

Artinya dalam prektiknya seperti halnya dilakukan oleh PT. FIF Group Jatibarang adalah jika benar adanya pihak debitur tidak mempunyai iktikad baik denga tidak melakukan prestasi (penyetoran) perbulanya, perlindungan hukum terhadap pihak kreditur dalam hal ini adalah berwenang untuk melakukan eksekusi sesuai yang tercantum dalam perjanjian tersebut, menunut ganti rugi serta jika hal tersebut tidak diindahkan pula maka dapat melakukan suatu gugatan kepada Pengadila Negeri terhadap kesalahan yang dilakukan dibitur.
Akan tetapi muncul masalah dalam teori adalah PT. FIF Group Jatibarang dalam hal ini tidak mempunyai kewenangan untuk mengeksekusi jika belum adanya suatu akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris dan kemudian didaftarkan di Kator Pendaftaran Fidusia (KPF) sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial oleh penerima fidusia dala hal ini adalah PT. FIF Group Jatibarang.  Dalam sertifikat Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata :
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,Dimana dengan adanya kata – kata tersebut, Sertifikat Jaminan Fidusia mempuyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempuyai kekuatan hukum tetap. Maksudnya, bahwa putusan tersebut langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.” [57]

Menurut Pasal 29 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menjadi obyek jaminan fidusia dapat dilakukan eksekusi dengan cara ;
d.        Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia;
e.         Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
f.         Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Itu dalam teorinya jika PT. FIF tidak mempunyai akta jaminan fiducia yang dibuat oleh notaris, akan tetapi dalam ranah praktik yang penulis alami selama kerja di Lembaga FIF ini adalah pihak FIF boleh melakukan suatu eksekusi bila mana debitur melakukan suatu wanprestasi  dengan tidak mempunyai iktikad baik yakni tidak melakukan penyetoran perbulannya dan tidak adanya unsur overmach. Kenapa pihak PT FIF Group Jatibarang boleh melakukan suatu eksekusi terhadap barang jaminan  fidusia debitur karena sudah termasuk dalam suatu perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pihak PT. FIF Group Jatibarang dan debitur.
Dasar hukum dalam hal ini adalah pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdta (KUHPdt) yang berbunyi ;
“Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undanga dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik.”

Kata-kata suatu perjanjian yang dibuat secara sah menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, artinya dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dikesampingkan dan berlaku hanya perjanjian yang dibaut oleh kedua belah pihak itu saja dan tidak berlaku bagi pihak yang tidak masuk dalam perjanjian tersebut.
Jadi bisa dikatakan bahwa walaupun dalam teori dan undang-undang pihak PT. FIF Group Jatibarang tidak boleh melakukan suatu eksekusi terhadap barang  yang sudah dijadikan sebagai jaminan fidusia sebelum adanya suatu akta jaminan fidusia sebagai dasar eksekusi, akan tetapi bukan menjadi hukum lagi. Yang menjadi dasar dalam hal ini adalah perjanjian yang dibuat secara sah oleh kedua belah pihak dan menjadi undang-undang bagi mereka,dengan dicantumkannya dalam perjanjian pihak PT. FIF Group Jatibarang boleh melakukan eksekusi  terhadap benda pihak debitur yang dijaminkan setelah melakukan suatu wanprestasi otomatis boleh melakukan suatu eksekusi mau tidak mau debitur merelakan dan tindakan PT. FIF Group Jatibarang dibenarkan sesuai pasal 1338 Kitab Undang-undanh Hukum Perdata (KUHPdt).










BAB V
PENUTUP

A.           Kesimpulan
1.                  Perjanjian leasing pada praktiknya tentunya tidak jauh dari teori dan peraturan perundang-undangan mengenai perjanjian. Perjanjian leasing atau lembaga pembiayaan di PT. FIF Group Jatibarang dalam hal ini sesuai pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) dikenal dengan perjanjian kredit/pinjam meminjam, disamping itu harus sebelum terjadinya perjanjian terlebih dahulu pasal 1320 mengenai syarat sahnya perjanjian yang menjadi dasar utama sehingga perjanjian leasing tersebut menjadi sah dan mempunyai akibat hukum. Akan tetapi muncul masalah jika pihak debitur melakukan suatu wanpretasi/ingkar janji dikarenakan kegagalan kredit/kredit macet, perlu ditinjau lebih lanjut pihak debitur apa benar-benar melakukan wanprestasi atau dikarenakan kejadian yang tidak diduga-duga (overmacht), kendala  terjadinya wanprestasi/kredit macet pada PT. FIF Group Jatibarang antara lain ; 1). Penghasilan debitru. 2). Barang digadaikan. 3). Barang dijual. 4). Debitur pindah rumah. 5). Salah satu pegawai PT. FIF Group Jatibarang nakal. Dan 6). Kejadian yang tak diduga-duga (force majeur/overmacht).
2.                  Perlindungan hukum terhadap pihak kreditur dalam ha ini adalah PT. FIF Group Jatibarang akibat terjadinya suatu wanprestasi oleh pihak debitur dalam teori sebetulnya kreditur tidak boleh serta-merta melakukan eksekusi terhadap barang (motor) debitur yang secara otomatis menjadi jaminan fidusia karena pertanggungan dalam perjanjian leasing tersebut belum selesai sebelum adanya akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris yang didaftarkan di Kantor Perndaftaran Fidusia (KPF) sesuai 29 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengenai pelaksanaan eksekusi jika pihak debitur melakukan wanprestasi. Akantetapi muncul kontradiktif yakni dalam pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdta (KUHPdt) mengenai asas kebebasan berkontrak “bahwa perjanjian yang dibuat secara sah menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya” artinya PT. FIF Group Jatibarang tentunya sah-sah saja melakukan eksekusi terhadap barang (motor) debitur karena mempunyai dasar yaitu pasal 1338 tersebut yang sangat kuat karena akan mengesampingkan peraturan perundang-undangan bila isi eksekusi tersebut tertuang dalam draf perjanjian yang disepakati secara sah oleh pihak debitur dan kreditur PT. FIF Group Jatibarang.


B.            Saran
1.                  Perjanjian leasing pada PT. FIF Group Jatibarang dalam perkembangannya  mengalami peningkaan secara signifikan dengan disertai perkembangan dalam segala bidang, akantetapi hal yang perlu diingat yakni teori dan peraturan perundang-undangan menjadi dasar yang utama dan hemat penulis dalam praktiknya setelah dipelajari ada suatu perbedaan dengan teorinya dan saran penulis bagi lembaga pembiayaan (leasing) khususnya PT. FIF Group Jatibarang adalah perbedaan yang dimaksud kiranya tidak boleh jauh melebar dari apa yang sudah ditentukan dalam teori/peraturan perundang-undangan yang mengatur akan ini. 
2.                  Perlindungan hukum terhadap kreditur dalam hal ini adalah eksekusi barang (motor) yang sudah menjadi jaminan fidusia jika debitur benar-benar melakukan wanprestasi bukan overmacht,  tentunya haruslah menjalankan prosedural yang sudah ditentukan sesuai regulasi yang mengaturnya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan dan dirasa tidak ada pihak yang merasa dirugkan atas tindakan eksekusi tersebut sehingga tidak akan muncul sengketa/masalah yang baru.




DAFTAR  PUSTAKA


I.              Referensi Buku-buku
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cetakan 3, Citra Aditya Bakti, Bandung, Tahun 1995.
Djuhaendah Hasan, “Lembaga Jaminan Kebendaan BagiTanah dan Benda Liannya yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Dalam Pemisahan Asas Horisonta”,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Gunawan Wijdjaja dan Ahmad Yani, “ Jaminan Fidusia “, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Jaminan, Liberty, Yogyakarta. 200
Ibrahim, “ Cross Default Dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah “,PT. Refika Aditama, Bandung, 2004.
J. Satrio, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, Tahun 1992.
Johanes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standar Pada Asas Kebebasan Berkontrak, Jakarta, 2009
Mariam Darus Badrullzaman, “ Perjanjian Kredit Bank “, Alumni, Bandung, 1994.
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:Prisip Norma dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2009
Oey Hoey Tiong,” Fidusia sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan”, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984.
Purwahid dan Kashadi.“ Hukum Jaminan Fidusia”, Semarang : PS Cipta, 2008.
Riduan Syahrini, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, Tahun 2000.
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, Tahun 1987.       
Retno Wulan Sutantio, Badan Pembinaan Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1999   
Salim H.S,“ Perkembangan Hukum Jaminan Indonesia”,Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.
……………….. pengertian Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika,Jakarta, Tahun 2000.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Libety, Yogyakarta, Tahun 1985.
Subekti,  Pokok-pokok Hukum Perdata, PT, Intermasa, Jakarta, Tahun 1995.
…………………… “Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut HukumIndonesia “,PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung.1990
……………………. Hukum Perjanjian, PT, Intermasa, Jakarta, Tahun 1987.
Sentosa Sembiring, Hukum  Perbankan, Mandar maju,  Jakarta, 2012.
Sutan Syahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Di Bank, IBI, Jakarta.
Wardoyo dan Hermansyah, “ Hukum Perbankan Nasional Indonesia “, PT. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006.
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, Tahun 1982.
 
II.           Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdta (KUHPdt)
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988, pengertian Lembaga Pembiayaan (leasing)
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI. Nomor Kep. 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974 dan Nomor 30/KPB/I/1974 Tentang Perizinan Leasing.
Surat Edaran oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 274/A/BKPM/ED/11/1974 Tanggal 11 Maret 1974 yang mensyaratkan adanya izin Badan Koordinasi Penanaman Modal

III.        Sumber Lain
Dahlan, Pengertian sewa guna usaha http://forum.wordpress.com, dipublikasikan tanggal 09 Mei 2013
http//www. Klasifikasi atau macam-macam dari leasing secara umum. Blogspot. com. Dipublikasikan tanggal 25 Februari 2013.
http://www.’’Sejarah Umum PT Federal International Finance (FIF),’’ dipublikasikan . com, fifkredit. 2 Desember 2012. 
Puji Rahayu, Pengertian  Fiducia http//blogspot.com. diunduh pada tanggal 09 Mei 2013.
www.fifgroup.co.id//pages//fifgroup//profilperusahaan. Dipublikasi pada tanggal 16 Agustus 2013. 10.45 WIB.




[1]  Dahlan, Pengertian sewa guna usaha http://forum.wordpress.com, dipublikasikan tanggal 09 Mei 2013
[2] http://www.’’Sejarah Umum PT Federal International Finance (FIF),’’ dipublikasikan . com, fifkredit. 2 Desember 2012. 
[3]  Sentosa Sembiring, Hukum  Perbankan, Mandar maju,  Jakarta, 2012, hal. 219
[4]  Puji Rahayu, Pengertian fiduciahttp://blogspot.com 09/05/2013
[5] Subekti, Hukum Perjanjian, PT, Intermasa, Jakarta, Tahun 1987, hal. 1
[6] R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, Tahun 1987, hal. 49
[7]  Sutan Syahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Di Bank, IBI, Jakarta, hal. 65
[8] Johanes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standar Pada Asas Kebebasan Berkontrak, Jakarta, 2009, hal 21
[9] Dahlan, Pengertian leasing sewa guna usaha http://forum.wordpress.com 09/05/2013
[10] Puji Rahayu, Pengertian  Fiduciahttp//blogspot.com. diunduh pada tanggal 09 Mei 2013.
[11] Retno Wulan Sutantio, Badan Pembinaan Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1999 hal.8
[12] Ibid, hal 8
[13] Ibid,  hal 8
[14]M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:Prisip Norma dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2009.  hal.4.
[15] Subekti, Op.cit, Hal. 01
[16] R. Setiawan, Op.cit. Hal. 49
[17] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Libety, Yogyakarta, Tahun 1985, hal. 96
[18] KKBI, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Cetakan Ke Tiga Edisi Dua, 1994
[19] Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Jaminan, Liberty, Yogyakarta, hal. 33
[20] Subekti,  Pokok-pokok Hukum Perdata, PT, Intermasa, Jakarta, Tahun 1995, hal. 113
[21] J. Satrio, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, Tahun 1992, Hal. 305
[22] Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, Tahun 1982, hal. 15
[23] Yahya Harahap. Ibid, hal. 116
[24] Yahya Harahap. Ibid, hal. 17
[25] Yahya Harahap. Ibid, hal. 14
[26]  Yahya Harahap. Ibid, hal. 10
[27]  Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 25
[28] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cetakan 3, Citra Aditya Bakti, Bandung, Tahun 1995, hal  84
[29] Abdul Kadir Muhammad. Ibid, hal. 128-130
[30] Abdul Kadir Muhammad. Ibid, hal. 35
[31] Salim HS, pengertian Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika,Jakarta, Tahun 2000. hal. 180
[32] Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, hal. 25
[33] Riduan Syahrini, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, Tahun 2000, hal. 228
[34]  Riduan Syahrini. Ibid. hal. 229
[35] Subekti, op.cit, hal. 46
[36] Subekti, op.cit, hal. 161
[37] R. Setiawan, Op.cit, hal. 69
[38] Dahlan, Pengertian sewa guna usaha http://forum.wordpress.com, dipublikasikan tanggal 09 Mei 2013
[39] http://www.’’Sejarah Umum PT Federal International Finance (FIF),’’ dipublikasikan . com, fifkredit. 2 Desember 2012. 
[41] http//www. Klasifikasi atau macam-macam dari leasing secara umum. Blogspot. com. Dipublikasikan tanggal 25 Februari 2013.
[42] Oey Hoey Tiong, Fidusia sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984. Hal 21
[43] Purwahid dan Kashadi.“ Hukum Jaminan Fidusia”, Semarang : PS Cipta, 2008.                 hal. 36
[44]  Purwahid dan Kashadi. Ibid. hal. 53-54
[45] Salim H.S,Perkembangan Hukum Jaminan Indonesia,Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, hal 60.
[46]  Purwahid Patrik dan Kashadi, Op. Cit, hal. 36
[47] Gunawan Wijdjaja dan Ahmad Yani, “ Jaminan Fidusia “, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 133
[48] Gunawan Wijdjaja dan Ahmad Yani. Ibid. hal. 41
[49] Gunawan Wijdjaja dan Ahmad Yani. Ibid. hal. 42
[50] Gunawan Wijdjaja dan Ahmad Yani. Ibid. hal. 43
[51] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Ibid. hal 156-157
[52] Djuhaendah Hasan. Op.cit. hal. 176
[53] Salim HS. Op.cit. hal. 180.
[54] Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, hal. 25
[55] Riduan Syahrini. Op.cit. hal. 228.
[56] Subekti, op.cit, hal. 161
[57] Gunawan Wijdjaja dan Ahmad Yani. Op.cit. hal. 43

Related Post



Post a Comment