MAKALAH
PEKEMBANGAN
PENDIDIKAN ISLAM
MASA
ABASIYAH
Keterangan :
Jika anda ingin mendowload File Makalah ini anda bisa download di bawah ini :
======================================================================
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah segala
puji bagi Allah , pencipta alam semesta, yang telah memberikan nikmat da
anugerah-Nya dan memberikan petunjuk kepada saya sehingga dapat menyelesaikan
Makalah ini. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda
Nabi Muhammad SAW., yang menjadi guru
dan teladan umat manusia sepanjang zaman.
Makalah
ini yang berjudul tentang Pekembangan Pendidikan Islam Masa Abasiyah
Semoga makalah yang saya
susun ini bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat lainnya.
Indramayu, Oktober
2018
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dalam sejarahnya,
pendidikan Islam telah mengalami pasang surut. Dari zaman Rasulullah saw.
hingga tiga rezim sesudahnya (kekhalifahan Rasyidin, Daulah Umaiyyah, dan
Abbasiyah) masing-masing dengan karakteristik perkembangannya yang beragam
sesuai dinamika yang berkembang pada masa itu. Masa keemasan Islam atau sering
disebut peradaban Islam dalam bidang pendidikan ditancapkan pada masa Daulah
Abbasiyah. Sebuah rezim yang dalam sejarah Islam dinisbahkan dari mana silsilah
keluarga Nabi Muhammad saw., al-Abbas (paman Nabi). Kemajuan yang pesat
diperoleh dinasti Abbasiyah dalam berbagai bidang kehidupan pada masa itu untuk
sekedar membandingkan dengan peradaban Islam kini secara jujur diakui, belum
tertandingi.
Masa ini dengan dimulai
dengan berkembang pesatnyya kebudayaan Islam, yang ditandai dengan berkembang
luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah
(sekolah-sekolah) formal serta universitas-universitas dalam berbagai pusat
kebudayaan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan, sekolah-sekolah dan
universitas-universitas tersebut nampak sangat dominan pengaruhnya dalam
membentuk pola kehidupan dan pola budaya kaum muslimin. Berbagai ilmu
pengetahuan yang berrkembang melalui lembaga pendidikan itu menghasilkan
pembentukan dan perkembangan berbagai macam aspek budaya kaum muslim.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah…………?
- Apa tujuan pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah….?
- Apa ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Disanti
Abbasiyah…..?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
berdirinya Dinasti Abbasiyah
Kesuasaan dinasti Bani
Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebangaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan
dinasti Umayyah. Dimana pemerintahan Abbasiyah adalah keturunan dari pada
Al-Abbas, paman Nabi SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan penderiannya dianggap suatu
kemenangan bagi idea yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah
kewafatan Rasulullah, agar jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul
dan sanak-saudaranya. Tetapi idea ini telah dikalahkan di zaman permulaan
Islam, dimana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa jabatan khalifah itu
adalah milik kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan mereka berhak melantik siapa
saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat dukungan.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.[1]
Tetapi, orang-orang parsi
yang masih berpengang pada prinsip hak ketuhanan yang suci, terus berusaha
menyebarkan prinsip tersebut, sehingga mereka berhasil membawa Bani Hasyim ke
tampuk pemerintahan. Pada pandangan publik umumnya, golongan Alawiyin adalah
lebih dekat kepada Rasulullah SAW, karena kedudukan Fatimah yang menjadi anak
baginda, dan juga karena keduduk an Ali yang menjadi sepupu dan menantu
baginda.
Kemudian karena keutamaan Ali yang telah
memeluk agama Islam lebih dahulu dari yang lain-lain serta perjuangannya yang
terkenal untuk menegakkan Islam. Tetapi, golongan Abbasiyah setelah berkuasa
lantas mengumumkan bahwa mereka lebih utama dari Bani Hasyim untuk mewarisi
Rasulullah karena moyang mereka ialah paman baginda dan pasukan peninggalan
tidak boleh diperoleh oleh pihak sepupu, jika ada paman, dan keturunan dari
anak perempuan tidak mewarisi pusaka datuk dengan adanya pihak ‘ashabah.[2]
Faktor-faktor pendorong berdirinya Dinasti
Abbasiyah dan penyebab suksesnya yaitu :
- Banyak terjadi perselisihan antara interen Bani Ummayah
pada dekade terakhir pemerintahannya hal ini diantara penyebabnya yaitu
memperebutkan kursi kehalifahan dan harta.
- Pendekanya masa jabatan khalifah di akhir-akhir
pemerintahan Bani Ummayah, seperti khalifah Yazid bin al-Walid lebih
kurang memerintah sekitar 6 bulan.
- Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang
seperti yang di kerjakan oleh Marwan bin Muhammad yang menjadikan anaknya
Abdulah dan Ubaidilah sebagai putra mahkota.
- Bergabungnya sebagai afrad keluarga
Ummayah kepada mazhab-mazhab agama yang tidak benar menurut syariah,
seperti Al-Qadariyah.
- Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir
pemerintahan Bani Ummayah.
- Kesombongan pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir
pemerintahannya.
- Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non Arab)
Dari berbagai penyebab-penyebab di atas dan
dengan ketidaksenangan Mawali pada Binasti Ummayah mengakibatkan runtuhnya
dinasti dan berdiri Dinasti Abbasiyah hal ini dapat dilihat dengan bantuan para
Mawali dari Khurasan dan Persi. Misalnya, bergabungnya Abu Muslim al-Khurasani,
ia berhasil menjadi pemimpin di Khurasan yang pada awalnya di bawah kekuasaan
Ummayah.[3]
B.
Perkembangan Pendidikan dan Tujuannya
Sejak
lahirnya agama Islam, lahirnya pendidikan dan pengajaran Islam. Pendidikan dan
pengajaran Islam itu terus tumbuh dan berkembang pada masa khalifah-khalifah
Rasyidin dan dan masa Ummayah. Pada permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan
pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh negara Islam, sehingga
lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar dari ke
kota-kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlomba-lomba
menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat-pusat pendidikan, meninggalkan
kampung halamannya karena cinta akan ilmu penegtahuan.[4]
Charles Michael Stanton
berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem dan
kurikulaum pendidikan berada ditangan ulama, kelompok orang-orang yang
berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum,
bukan ditentukan oleh struktur kekuasaan yang berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini
tidak dapat dipertahankan dengan kenyataan kasus lembaga pendidikan Madrasah
al- Mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam Nashabe, negara melakukan
kontrol terhadap pengaruh- pengaruh yang ditimbulkan oleh madrasah ini bahkan
juga melakukan investigasi metode pengajaran. Dengan intervensi semacam ini
dimungkinkan negara (State) menetapkan struktur kurikulum yang
dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan dikalangan masyarakat luas.
Sekedar untuk menetralisir
perdebatan di atas, agaknya kesimpulan Stanton itu lebih ditujukan pada lembaga
pendidikan yang tidak berbentuk madrasah, seperti kuttab. Sebab
sistem pendidikan yang dioperasikan oleh madrasah ternyata memiliki
kepentingan-kepentinga tertentu, baik kepentingan mazhab fiqih, teologi, atau
kepentingan politis. Bahkan, dalam pendidikan klasik, madrasah itu dibangun
atas dasar wakaf seseorang yang dalam kebiasaannya memang menargetkan tujuannya
masing-masing.[5]
Pada masa
Nabi SAW.masa khalifah-khalifah Rasyidin dan Ummayah, tujuan
pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena
Allah dan mengharapkan keridaanNya, lain tidak.
Pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu
telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat
disimpulkan sebagai berikut:
- Tujuan keagamaan dan akhlak, seperti pada masa
sebelumnya. Anak-anak didik diajar membaca/menghafal Al-Qur’an, ialah
karena hal itu suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran
agama dan berakhlak menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu tafsir,
hadis dan sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.
- Tujuan kemasyarakatan, Selain tujuan keagamaan dan
akhlak ada pula tujuan kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar dan
menuntut ilmu, supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat,
dari masyarakat yang penuh kejahilian menjadi masyarakat yang bersinar
ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju
dan makmur.
Ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah-madrasah, bukan saja
ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu-ilmu duniawi yang
berfaedah untuk kemajuan masyarakat.[6]
- Selain itu ada lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan
ilmu pengetahuan serta senanag dan lazat mencapai ilmu itu. Mereka belajar
tak mengharapkan keuntungan apa-apa, selain dari pada berdalam-dalam dalam
ilmu pengetahuan. Mereka melawat keseluruh negara Islam untuk menuntut
ilmu tanpa mempedulikan susah payah dalam perjalanan, yang umumnya
dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka
tidak lain untuk memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan.
- Disamping itu ada pula tujuan pendidikan sebagian kaum
muslimin , yaitu tujuan kebendaan. Mereka menuntut ilmu supaya mendapat
penghiduapn yang layak, dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin
mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, seperti tujuan setengah
orang pada masa kita sekarang.[7]
C.
Berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan
Islam
Sebelum timbul sekolah dan
universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam
dunia islam sebenarya telah berkembang lembaga lembaga pendidikan Islam yang
bersifat non formal. Lembaga lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan
denganya tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang
semakin luas. Di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak non
formal tersebut adalah :
- Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar
Kuttab
atau maktab, berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat
menulis. Jadi katab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam
Kuttab telah ada di negeri Arab, walaupun belum banyak dikenal. Diantara
penduduk Mekkah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab ialah Sufyan Ibnu
Umaiyah Ibnu Abdu Syams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhroh Ibnu Kilat.
Keduanya mempelajari di negeri Hirah.[8]
- Pendidikan Rendah di Istana
Timbulnya
pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat, adalah berdasarkan
pemikiran bahwa pendidikan itu hanya harus bersifat menyiapkan anak didik agar
mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. Pendidikan anak di
istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab pada umumnya. Tetapi
rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja
dengan rencana pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut
kehendak para pembesaryang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk
menyiapkan anak tersebut secara khususuntuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab
yang akan dihadapinya dalam kahidupannya nanti.
- Toko-toko kitab
Pada
permulaannya masa Daulah Abbasiyah, di mana ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam sudah tumbuh dan berkembang dan diakui oleh penulisan kitab-kitab dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Pada mulanya
toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab-ktab yang
telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu.
Mereka membeli dari para penulisnya kemudian menjualnya kepada siapa yang
berminat untuk mempelajarinya. Dengan demikian toko-toko kitab tersebut telah
berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempatmenjual beli kitab-kitab saja,
tetapi juga merupakn tempat berkumpulnya para ulama, pujangga, dan ahli-ahli
ilmu pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam
berbagai maslah ilmiah. Jadi sekarang berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan
dalam rangka pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.[9]
- Rumah-rumah para ulama (ahli ilmu pengetahuan)
Walaupun
sebelumnya ruumah bukanlah merupakan tempat yang baik untuk tempat memberikan
pelajaran namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaaan Islam, banyak juga rumah-rumah para ulama dan para ahli ilmu
pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal itu
pada umumnya disebebkan karena ppara ulama dan ahli yang bersangkutan yang
tidak mungkin memberikan pelajaran dimesjid, sedangkan pelajar banyak yang
berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan dari padanya. Diantara rumah ulama
terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ali
Ibnu Muhammad Al-Fasihi, Ya’qub Ibnu Killis, Wazir Khalifah Al-Aziz billah
Al-Fatimy, dan lain-lainnya.
- Majelis atau saloon kesusasteraan
Dengan
majelis atau saloon kesusasteraan, dimaksudkan adalah suatu majelis khusus yang
diadakan oeh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majelis
ini bermula sejak zaman Khalifah Rasyidin, yang biasanya memberiikan fatwa dan
musyawarah dan diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi pada masa itu. Tempat pertemuan pada masa itu adalah masjid.
Pada
masa Harun Al-Rasyid (170-193 H) majelis sastra ini mengalami kemajuan yang
luar biasa, karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai
kecerdasan, sehingga khalifah sendiri aktif didalamnya. Disamping itu ppada
masa itu dunia Islam memang diwarnai oleh perkembangan ilmu pengetahuan,
sedangkan negara berada dalam kondisi yang aman, tenagng dan dalam zaman
pembangunan. Pada masanya sering diadakan perlombaan antar ahli-ahli syair,
perdebatan antar fuqaha, dan diskusi di antara para sarjana berbagai macam ilmu
pengetahuan, juga diadakan sayembara diantara ahli kesenian dan pujangga.[10]
- Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)
Sejak
perkembangan luasnya Islam, dan bahasa Arab digunakan sebagai bahsa pengantar
oleh bangsa-bangsa di luar bangsa Arab yang beragama Islam, dan terutama di
kota-kota yang banyak percampurannya dengan bahasa lain, masa bahasa Arab
berkembanga luas, tetapi bahasa Arab cenderung kehilangan keaslian dan
kemurnian. Orang-orang di luar bangsa Arab sering tidak bisa mengucapkan
lafaz-lafaz dengan baik, tidak tahu kaidah-kaidahnya sehingga sering salah
mengucapkannya. Bahasa Arab menjadi rusak dan menjadi bahasa pasaran. Oleh
karena itu khalifah-khalifah biasanya mengirimkan anak-anaknya ke badiah-badiah
ini untuk mempelajari bahasa Arab yang fasiih dan murni, dan mempelajari pula
syair-syair serta sastra Arab dari sumbernya yang asli. Banyak ulama-ulama dan
ahli ilmu pengetahuan lainnya yang pergi ke badiah-badiah dengan tujuan untuk
mempelajari bahasa dan kesusasteraan Arab yang asli lagi murni tersebut.
Badiah-badiah tersebut lalu menjadi sumber ilmu pengetahuan terutama bahasa dan
sastraArab dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam.
- Rumah sakit
Pada
zaman jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan
kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit
oleh khalifah dan pembesar-pembesar negara.rumah sakit tersebut bukan
hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi
juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan.
Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaab dalam bidang kedokteran dan
obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu obat-obatan atau
farmasi.
Rumah
sakit ini juga merupakan tempat praktikum dari sekolah-sekolah kedokteran yang
didirikan di luar rumah sakit, tetapi tidak jarang pula sekolah-sekolah
kedokteran tersebut didirikan tidak tterpisah dari rumah sakit. Dengan
demikian, rumah sakir dalam dunia Islam, juga juga berfungsi sebagai lembaga
pendidikan.[11]
- Perpustakaan
Pada
zaman perkembanga ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai
yang sangat tinggi. Buku adalah merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu
pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Orang dengan
mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam
buku. Dengan demikian buku merupakan sarana utama dalam usaha pengembangan dan
penyebaran ilmu pengetahuan.
Para
ulama dan sarjana darri berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku-buku
dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan
kepada para penuntut ilmu. Bahkan para ulama dan sarjana tersebut memberikan
kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar di perpustakaan pribadi
mereka.
Di
samping itu berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang
diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari pera ulama dan
sarjana. Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid,
adalah merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang
berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan
yang telah berkembang pada masa itu, dan berbagai buku-uku terjemahan dari
bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan Aramy.
Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya, dikatakan sudah
menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber
pengembangan ilmu pengetahuan.[12]
- Masjid
Semenjak
berdirinya di zaman Nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan
informasi berbagai masalah kehidupan kaum muuslimin. Ia menjadi tempat
bermusyawarah , tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama
dan informasi-informasi lainnya dan tempat menyelanggarakan pendidikan, baik
bagi anak-anak maupun orang-orang dewasa. Kemudian pada masa Khlifah Bani
Ummayah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama yang bersifat keagamaan. Para ulama mengajarkan ilmu di masjid, tetapi
majelis khalifah berpindah ke masjid atau ke tempat tersendiri.
Pada
masa Bani Abbasiyah dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang
didirikan oleh pera penguasa pada umumnya dilengkapi dengan berbagai macam
sarana dan fasilitas untuk pendidikan. Tempat pendidikan anak-anak,
tempat-tempat untuk pengajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok
(khalaqah), tempat untuk bediskusi dan munazarah dalam berbagai ilmu
pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan dengan buku-buku
dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang cukup banyak.
Demikianlah
masjid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya tetap memegang peranan yang
pokok, di samping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi dengan Tuhan, sebagai
lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesama kaum muslimin.
D.
Sistem pendidikan di sekolah-sekolah
Sebenarnya timbulnya
lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia Islam adalah
merupakan pengembangan semata-mata dari sistem pengajaran dan pendidikan yang
telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah berkembang dan
dilengkapi dengan sarana—sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran di
dalamnya.[13]
Diantara faktof-faktor yang menyebabkan
berdirinya sekolah-sekolah di liar masjid adalah :
- Khalaqah-khalaqah (lingkaran) untuk mengajarkan
berbagai ilmu pengetahuan, yang di dalamnya juga menjadi diskusi dan
perdebatan yang ramai, sering satu sama lain saling menggangu, disamping
sering pula menggangu orang-orang yang beribadah dalam masjid. Keadaan
demikian, mendorong untuk dipindahkannya khalaqah-khalaqah tersebut ke
luar lingkungan masjid, dan didirikanlah bangunan-bangunan sebagai
ruang-ruang kuliah atau kelas-kelas tersendiri. Dengan demikian kegiatan
pengajaran dari khalaqah-khalaqah tersebut tidak saling menggangu satu
sama lain.
- Dengan berkembang luas ilmu pengetahuan, baik mengenai
agama mapun umum maka diperlukan semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran-lingkaran
pengajaran), yang tidak mungkin keseluruhan tertampung dalam rruang
masjid.
Disamping itu terdapat
faktor-faktor lainnya, yang mendorong bagi pera penguasa dan pemegang
pemerintahan pada masa itu untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai
bangunan-bangunan yang terpisah dari masjid, antara lain :
- Pada masa bangsa Turki mulai berpengaruh dalam
pemerntahan Bani Abbasiyah, dan untuk mempertahankan kedudukan mereka
dalam pemerintahan, mereka berusaha untuk menarik hati kaum muslimin pada
umumnya, dengan jalan memperhatikan pendidikan dan pengajaran bagi raknya
umum. Mereka berusaha untuk mendirikan sekolah-sekolah di berbagai tempat
dan dilengkapi dengan segala sarana dan fasilitas yang diperlukan.
Guru-guru digaji secara khusus untuk mengajar di sekolah-sekolah yang
mereka ajarkan.[14]
- Mereka mendirikan sekolah-sekolah tersebu, disamping
dengan harapan untuk mendapatkan simpati drrai rakyat umumnya, juga
berharap mendapatkan ampunan dan pahala dari Tuhan.
Para pembasar negara pada
masa itu, dengan kekayaan mareka yang luar biasa, banyak yang hidup dalam
kemewahan dan sering pula berbuat maksiat. Dengan mendirikan sekolah-sekolah
dan membiayainyya secukupnya, berarti mereka telah mewakafkan dan membelanjakan
harta bendanya di jalan Allah. Mereka berharap hal demikian dapat menjadi
penebus dosa dan maksiat yang telah mereka kerjakan. Kalau para ulama dan para
ahli berbagai ilmu pengetahuan banyak berbuat amal salaeh dengan keahlian
mereka masing-masing, maka mereka pun ingin berbuat yang serupa sebagai
imbalannya.[15]
- Para pembesar negara pada masa itu dengan kekuasaannya,
telah berhasil mengumpulkan harta kekayaan yang banyak. Mereka khawatir
kalau nantinya kekayaan ttersebut tidak bisa diwariskan keppada
anak-anaknya, karena diambil oleh sultan. Anak-anak mereka akan menjadi
terlantar dan hidup dalam kemiskinan. Untuk menghindari hal tersebut,
mereka mendirikan madrasah-madrasah yang dilengkkapi oleh asrama-asrama,
dan dijadikan sebagai wakaf keluarga. Anak-anak dan kaum keluargalah yang
berhak mengurus harta kekayaan wakaf tersebut, sehingga kehidupan mereka
dengan demikian akan tetap terjamin.
- Disamping itu, didirikannya madrasah-madrasah tersebut
ada hubungannya dengan usaha untuk mempertahankan dan mengembangkan aliran
keagamaan dari para pembesar negara yang bersangkutan. Dalam mendirikan
sekolah ini, mereka mempersyaratkan harus diajarkan aliran keagamaan
tertentu, dan dengan demikian aliran keagamaan tersebut akan berkembang ke
masyarakat. Walau bagaimanapun motivasinya namun jelas bahwa dengan
berkembangnya madrasah-madrasah karena muslim in telah mendapat kesempatan
yang luas untuk mendapat pendidikan yang lebih baik.
Dengan berdirinya
madrasah-madrasah tersebut, lengkaplah lembaga pendidikan Islam yang bersifat
formal. Lembaga-lembaga pendidikan formal ini belum memppunyai kurikulum yang
seragam, tetapi masih bervariasi antara madrasah satu dengan lainnya. Hal itu
sangattergantung kepada keahlian guru-gurunya, pandangan tentang kepentingan
suatu ilmu pengetahuan, ddan berhubungan pula dengan perhatian dari pada
pembesar pendiri sekolah-sekolah atau madrasah yang bersangkutan.[16]
E.
Tingkat-tingkat Pengajaran
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri
atas beberapa tingkat :
- Tingkat sekolah rendah, namanya kuttab jamak (katatib),
untuk tempat belajar anak-anak. Disamping kuttab adapula anak-anak belajar
dirrumah, di istana, di toko-toko, dan dipinggir-pinggir pasar.
- Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan dimajelis
sastera dan ilmu pengetahuan, sebagai sambungan pelajaran di kuttab.
- Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di
Baghdad dan Darul ilmu di Mesir (Kairo), di masjid-masjid dan laqin-lain.[17]
F.
Rencana Pengajaran Kuttab (Tingkat Rendah)
Rencana pengajaran Kuttab umumnya sebagai
berikut :
- Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya
- Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu,
sembahyang, puasa, dan sebagainya.
- Menulis
- Kisah (riwayat) orang-orang besar Islam
- Membaca dan menghafal syair-syair atau Natsar-Natsar
(prosa)
- Berhitung
- Pokok-pokok Nahwu dan Syaraf ala kadarnya[18]
Demikian rencana pengajaran Kuttab umumnya.
Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini tidak dapat dijumpai di seluruh
penjuru, tetapi masinng-masing daerah terkadang berbeda. Seperti pendapat Ibn
Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al, di Maroko (Maghribi) hanya
diajarkan Al-Quran dan Rasm (tulisan)nya. Di Andalusia,
diajarkan Al-quran, menulis serta syair, pokok-pokok nahwu dan sharaf serta
tulisan indah (khath). Di Tunisia (Afriqiah) diajarkan Al-quran,
hadis dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan hafalan Al-Quran.
Waktu belajar di Kuttab dilakukan pada pagi
hari hingga waktu shalat Ashar mulai hari sabtu sampai dengan hari kamis.
Sedangkan hari Jum’at merupakan hari libur. Selain hari Jumat hari libur juga
pada setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idul Adha. Jam
pelajaran biasanya di bagi tiga. Pertama, pelajaran Al-quran dimulai dari pagi
hari hingga waktu Dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai pada waktu Dhuha
hingga waktu Zhuhur. Setelah itu anak-anak diperbolehkan untuk makan siang.
Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan
lainnya. Dimulai setelah zhuhur hingga akhir siang (Ashar). Pada tingkat rendah
ini tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku, meja, dan papan tulis.
Guru mengajar murid-muridnya dengan berganti-ganti satu persatu. Begitu juga
tidak ada standar buku yang dipakai.
Pada jenjang pendidikan dasar, metode yang
dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan. Artinya, guru mengulang-ulang
hafalan Al-qur’an di depan murid dan murid mengikitinya yang kemudian
diharuskan hafal bacaan-bacaan itu. Bahkan hafalan itu tidak terbatas pada
materi-materi Al-qur’an atau hadis, tetapi juga pada ilmu-ilmu lain. tak
terkecuali untuk pelajaran syair, guru menggungkapkan syair dengan lagu (wazn) yang
paling mudah sehingga murid mampu menghafalkannya dengan cepat.[19]
G.
Rencana Pembelajaran Tingkat Menengah
Rencana
pelajaran tingkat menengah juga tidak sama di seluruh negara Islam karena
negara Islam pada masa itu telah bercerai antara satu dengan yang lainnya.
Umumnya rencana pengajaran itu sebagai berikut: Al-Qur’an, Bahasa Arab dan
kesusateraannya, Fiqhi, Tafsir, Hadis, Nahwu/saraf/balaghah, ilmu-ilmu pasti,
mantiq, falak, tarikh (sejarah), ilmu-ilmu alam, kedokteran, musik.[20]
Pada jenjang pendidikan menengah disediakan
pelajaran-pelajaran sebagai berikut : Al-qur’an, bahasa Arab dan kesusateraan,
fiqih, tafsir, hadis, nahwu/sharaf/balaghah, ilmu-ilmu eksakta, mantiq, falak,
tarikh, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran, musik, seperti halnya pendidikan
rendah, kurikulum jenjang pendidikan menengah di beberapa daerah juga berbeda.[21]
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metodologi
pengajaran disesuaikan dengan materi yang bersangkutan. Menurutnya secara garis
besar metode pengajaran dibedakan menjadi dua, pertama, metode pengajaran
bidang keagamaan, (al-manhaj al-diniy al-adabiy) yang diterapkan
pada meteri-materi berikut : (a) fiqih (‘ilm al-fiqh). (b) tata
bahasa (‘ilm al-nahwu), (c) teologi (‘ilm al-kalam), (d)
menulis (al-kitabah), (e) lagu (‘arudh), (f) sejarah (‘ilm
al-akhbar terutama tarikh). Kedua, metode pengajaran bidang intelektual (‘ilm
manhaj al’ilmiy al-adabiy) yang meliputi olahraga (al-riyadhah), ilmu-ilmu
ekstra (al-thabi’iyah), filsafat (al-falasafah), kedokteran (thibb),
dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta ilmu-ilmu
kebahasaan dan keagamaan yang lain.[22]
H.
Rencana Pelajaran Pada Tingkat Tinggi
Rencana
pelajaran pada tingkat tinggi tidaklah sama diseluruh negara Islam. Bahkan
berlain-lain pula dengan berubah masa dan keadaan. Umumnya perguruan tinggi itu
terdiri dari dua jurusan:
- Jurusan ilmu-ilmu Agama dan bahasa Arab serta
kesusateraan, Ibnu khaldun menamai ilmu-ilmu itu : Ilmu Naqlih
- Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filasfat). Ibnu khaldu
menamainya : Ilmu-ilmu ‘Aqlih.
Ilmu-ilmu yang diajarkan
pada jurusan ilmu-ilmu Naqlih sebagai berikut : tafsir Al-Qur’an, hadis, fiqhi
dan ushul fiqhi, nahwu/ saraf, balagah, bahasa Arab dan kesusateraannya. Semua
mata pelajaran itu diajarkan pada perguruan tinggi dan belum diadakan takhassus
(spesialisasi) dalam satu mata pelajaran saja, seperti sekarang. Takhassus ituu
hanya lahir kemudian, sesudah tamat perguruan tinggi, semua bakat dan
kecenderungan ulama-ulama itu sendiri, sesudah praktek mengajar beberapa tahun
lamanya.
Ilmu-ilmu yang diajarkan
pada jurusan Aqliah sebagai berikut : mantiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik,
ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, falak, ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, ilmu
tumbuh-tumbuhan, kedokteran.[23]
Jenjang pendidikan yang
tinggi tampaknya memiliki perbedaan di masing-masing lembaga pendidikan. Namun
secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama,
fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan bahasa arab. Fakultas ini mengkaji
ilmu-ilmu berikut: tafsir Al-qur’an, Hadis, Fiqih dan Ushul Al-Fiqih,
Nahwu/Sharaf, Balaghah, bahasa dan sastra Arab, Kedua, Fakultas ilmu-ilmu
hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu berikut: mantiq,
ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu eksakta, ilmu ukur, falak, ilmu,ilmu
teologi, ilmu hewan, ilmu-ilmu nabati, dan ilmu kedokteran. Semua mata
pelajaran ini diajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi
mata pelajaran tertentu. Spesialisasi itu ditentukan setelah tamat dari
perguruan tinggi, berdasrkan bakat dan kecenderungan masing-masing sudah
praktik mengajar beberapa tahun. Hal itu dibuktikan oleh Ibnu Sina, sebagaimana
diterangkan dalam karya-karyaThabaqat Athibba, bahwa setelah Ibnu
Sina menamatkan pendidikan tinggi menengah dalam usia 17 tahun, ia belajar lagi
selama 1,5 tahun. Ia mengulang membaca mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu
eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu ketuhanan dengan
membaca kitab Ma Wara al-Thabi’ah (metafisika), karya
Aristoteles, juga karya-karya Al-Farabi. Ibnu Sina mendapat kesempata membaca
literatur-literatur di perpustakaan Al-Amir, seperti buku-buku kedokteran,
bahasa Arab, syair, fiqih, dan sebagainya. Literatur-literatur itu dibacanya
sehingga ia mendapat hasil yang memuaskan. Ia selesai studi di sana dalam usia
18 tahun. Hal iini seperti juga berlaku kepada semua orang.[24]
Metode yang dipakai dalam
lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah halaqah guru duduk
diatas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan semua
materi kepada semua mahasiswanya yang hadir. Jumlah mahasiswa yang harir
tergantung kepada guru yang mengajar. Jika guru itu ulama besar dan mempunyai
kredibilitas intelektual, para mahasiswa banyak, namun jika sebaliknya ulama
tidak terkenal dan tidak mempunyai kredibilitas niscaya sepi dari para
mahasiswa, bahkan mungkin halaqahnya ditutup.
Menurut Charles Michael
Stanton sebelum guru menyampaikan materi, ia terlebih dahulu menyusun ta’liqah.
Ta’liqah ini menurut silabus dan uraiannya yang disusun oleh masing-masing
tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa,
hasil bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta’liqah
mengandung rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka
waktu 4 tahun. Mahasiswa menyalin ta’liqah itu dalam proses dikte, bahkan
kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Namun sebagian yang lain, menambahkan
pada salinan ta’liqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga
ta’liqahnya merupakan refleksi pribadi tentang materikuliah yang disampaikan
gurunya.[25]
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al,
metode pendidikan yang digunakan pada jenjang tingkat tinggi ini meliputi
metode-metode sebagai berikut : Pertama, metode ceramah
(al-muhadlarah). Dalam metode ini guru menyampaikan materikepada mahasiswa
dengan diulang-ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap apa yang dikatakannya.
Pada metode ini terbagi dua cara, metode dikte dan metode pengajuan kepada guru
(al-qiraat ‘ala al syaikh). Kedua, metode diskusi (al-
munadzarah).metode ini digunakan untuk menguji argumentasi-argumentasi yang
diajukan sehingga dapat teruji. Metode ini oleh kalangan Mu’tazilah menjadi
salah satu pilar uang sangat penting dalam sistem pendidikannya. Ketiga, metode
korespondensi jarak jauh (al-ta’lim bi al-murasilah), metode ini merupakan
salah satu metode yang digunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu
masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan
jawabannya secara tertulis pula. Keempat, metode rihlah
ilmiah, metode ini dilakukan oleh para mahasiswa baik secara pribadi maupun
secara kelompok dengan cara mendatangi guuru dirumahnya yang biasanya jarak
jauh untuk berdiskusi tentang suatu topik. Guru yangdidatang biasanya adalah
guru yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya.[26]
Mahasiswa yang telah
menamatkan pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa itu telah lulus ujian dan
maupun menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasyah. Ijazah
terkadang berbentuk lisan dan dalam bentuk tulisan. Ijazah itu tidak diberikan
oleh sekolah, tetapi oleh guru yang mengajarinya. Dengan diberikannya ijazah
berarti yang bersangkutan diperbolehkan meriwayatkan atau menyampaikan
pelajaran kepada mahasiswa yang lain.[27]
Perkembangan lembaga
pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangn bahasa Arab, baik
sebagai bahasa Administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Ummayah, maupun
sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling
tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu :
- Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan
bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu
pengetahuan. Pada masa pemerintahan bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab
banyak yang masuk islam. Asimilasinya berlangsung secara efektif dan
bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dalam islam. Pengaruh Persia, sangat kuat dibidang pemerintahan.
Selain itu bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat,
dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu
matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk dalam banyak
bidang ilmu terutama filsafat.
- Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase.
Pertama, pada khalifah al-Mansyur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini
yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi
dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah
al-Ma’mun hingga tahun 300H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan yaitu
dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah
tahun 300H, terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang-bidang ilmu
yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan
bangsa yang sudah maju, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa
kemajuan dibidang ilmu pengetahuan umum. Tetapi juga ilmu pengetahuan agama.
Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama,
tafsir bi al-ma’tsur yaitu, interpretasi tradisional dengan mengambil
interpretasi dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Kedua, tafsir bi al-ra’yi yaitu
metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari
pada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa
pemerintahan Abbasiyah, akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi
al ra’yi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran
filsafat dan ilmu pengetahuan, hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan
terutama dalam ilmu teologi perkembangan logika dikalangan umat islam sangat
mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.[28]
I.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Perkembangan
ilmu pengetahuan yang berlangsung pada zaman Abbasiyah hampir belum ditemukan
kesamaannya dalam perkembangan peradaban dunia Islam sesudahnya. Peradaban yang
ditemukan dan dihasilkan dalam kurun zaman itu belum maksimal menjadi rujukan
berharga bagi peradaban umat Islam saat ini. Malah Islam sebagai ajaran
pengetahuan tidak teraplikasi kecuali hanya pada aspek normatifnya belaka yang
berupa ibadah. Spirit kekaryaan belum sepenuhnya membumi sebagaimana
seharusnya. Akhirnya tampak beberapa ajaran yang menghendaki kedinamisan dan
kekreatifitasan dalam mengelola alam tidak terbukti kecuali hanya ucapan
–ucapan lisan yang tak berbekas.
Masa antara tahun 750-935
M, merupakan puncak perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang
ditandai dipraktekkannya kehidupan Islam yang demokratis sebagai ciri orang
beradab. Tindakan penguasa Abbasiyah pada masa-masa awal yang tak mengenal
warga kelas dua berimplikasi pada pemberian kesempatan sama dalam meraih
prestasi khususnya bekerja di pemerintahan dan Istana Khalifah al-Mahdi
(775-785M).[29]
Berbeda dengan kepemimpinan
Harun al-Rasyid (786-809M) dan puteranya al-Ma`mun (813-833M), yang kurang
demokratis, absolut, hidup mewah, raja yang menentukan segala-galanya, tanpa
jelas perbedaan tuan dan budak, tetapi di sisi lain tanpak keberpihakan pada
pengembangan ilmu, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan menyediakan beasiswa
yang banyak. Dan yang paling pokok adalah mempelopori kebangkitan budaya-budaya
besar.
Kritik sastra, filsafat,
puisi, kedokteran, matematika, dan astronomi berkembang pesat tidak saja di Baghdad
tetapi juga di Kufah, Basrah, Jundabir, dan Harran. Pada masa-masa awal sudah
ada sekitar 800 orang dokter dengan berbagai kehliannya, apoteker, dan
kelengkapan-kelengkapan kesehatan lainnya. Sementara putranya al-Ma’mun,
dikenal sebagai khalifah yang cinta ilmu. Pada masanya, penerjemahan buku-buku
asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia memberi gaji
penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli.
Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya adalah pembangunan
Bait al-Hikmah sebagai perpustakaan besar. Pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Pada periode pertama,
pemerintahan bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politik para khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setalah periode ini berakhir, pemerintah
Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang.[30]
Tampak bahwa kemajuan
pendidikan yang dialami ummat Islam masa itu tidak mengenal dikotomi atau
sekularisasi ilmu, duniawi dan ukhrawi, melainkan integrasi keilmuan tanpa
memandang objek kajian.
Semangat pluralitas rupanya
juga sangat terpelihara baik pada masa Ma`mun. Kepercayaan Sultan yang
diberikan kepada para penerjemah nonmuslim menandakan bahwa peristiwa itu
sebuah keharmonisan bersama tanpa pandang SARA.
Dalam beberapa literatur
sejarah tentang perkembangan masa Abbasiyah, tak ditemukan satu pun kata adanya
dualisme pendidikan di dalamnya. Kemajuan ilmu filsafat, kedokteran, astronomi,
matematika, dan gerakan-gerakan penterjemahan lainnya berjalan seiring lahirnya
para fuqaha, mufassir, muhaddis dan keahlian-keahlian lainnya. Ibnu Sina
terkenal dengan Avicenna cukup heboh dengan ilmu tabib/kedokteran yang
ditemukannya. Namun di sisi lain beliau juga cukup menguasai filsafat,
matematika dan lain-lain.
Hal yang paling mengagumkan
adalah para kaum dzimmi yang juga berpartisipasi mencapai zaman keemasan dengan
menerjemahkan naskah-naskah filsafat dan kedokteran Hellenisme klasik dari
bahasa Yunani dan Syiria ke dalam bahasa Arab.
Dengan belajar dari masa
lalu, menjadikan para ahli muslim membuat penemuan-penemuan ilmiah yang lebih
banyak pada masa itu dari pada masa-masa sebelumnya yang pernah tercatat dalam
sejarah. Selain itu, juga berkembang industri-industri perdagaangan.
Kemajuan lain yang dicapai
yang sangat bermanfaat dalam perjalanan Islam kemudian adalah berkembangnya
ilmu dan ushul fiqhi, disusun dan dicetaknya kitab-kitab hadis, penafsiran
Alquran. Dan tidak kalah pentingnya adalah lahirnya para filosof dan sufi yang
cukup memberi pengaruh pada dinamika umat sampai sekarang, misalnya al-Kindi
(w. 870), filosof pertama dalam Islam, al-Farabi (w. 960), Ibnu Rusyd, dan
lain-lain. Di bidang Tasawuf dikenal tokoh perempuan, Rabiah al-Adawiyah
(w.801), Abu Yazid al-Bustami (w.874), Husain al-Mansyur atau dikenal al-Hallaj
(w.922), dan lain-lain.[31]
Masyarakat Islam pada masa Abbasiyah ini,
mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat yang dipengaruhi oleh dua
factor :
1) factor politik
Faktor politik yang mempengaruhi perkembangan
dan kemajuan peradaban Islam, adalah sebagai berikut :
- Pindahnya ibu kota negara dari Syam ke Irak dan Bagdad
sebagai Ibu kotanya [146 H].
- Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan
dan istana. Khalifah-khalifah Abassiyah, misalnya Al Mansur, banyak
mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari cendekiawan cendekiawan
Persia.
- Diakuinya Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara pada
masa khalifah Al Ma’mum pada tahun 827 M. Mukhtazilah adalah aliran yang
menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berpikir pada manusia. Aliran ini
telah berkembang dalam masyarakat terutama pada masa Dinasti Abassiyah I.[32]
2) factor sosiografi
- a) Meningkatnya kemakmuran umat Islam pada waktu itu.
- b) Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak
orang Persia dan Romawi yang masuk Islam kemudian menjadi muslim yang
taat.
- c) Pribadi beberapa khalifah pada masa itu, terutama
pada masa Dinasti Abbasiyah I, seperti Al Mansur,Harun al Rasyid, dan Al
Ma’mum yang sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga kebijaksanaanya
banyak ditujukan kepada kemajuan ilmu pengetahuan.
- d) Selain itu semua, menurut Ahmad Amin, karena
permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks dan
berkembang. Maka, untuk mengatasi semua itu diperlukan pengaturan,
pembukuan dan pembidangan ilmu pengetahuan,khususnya ilmu-ilmu naqli yang
terdiri dari ilmu agama, bahasa, dan adab.Adapun ilmu aqli, seperti
kedokteran, manthiq, dan ilmu-ilmu riyadhiyat, telah dimulai oleh umat
Islam dengan metode yang teratur
3) aktivitas ilmiah antara lain seperti
penyusunan buku-buku,penerjemahan buku Ilmiah, Pensyarahan.
Aktivitas
ilmiah yang dilakukan oleh kaum muslimin mengantarkan mereka mencapai puncak
kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah.Penerjemahan yang dilakukan
dengan giat menyebabkan mereka dapat menguasai warisan intelektual dari tiga
jenis kebudayaan, yaitu Yunani,
Persia,
dan India, yang pada akhirnya kaum Muslimin mampu membangun kebudayaan ilmu,
baik ilmu agama maupun filsafat dan sains [ilmu umum]. Fenomena ini menarik
perhatian para ahli sejarah kebudayaan Islam karena sebagian besar orang yang
berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan adalah kaum Mawaly [muslim bukan
turunan Arab atau bekas budak], terutama mereka yang berasal dari keturunan
Persia. Kemjuan ilmu pengetahuan itu antara lain :
1.
Kemajuan Ilmu Agama seperti ilmu tafsir, ilmu
hadits, ilmu kalam dan ilmu fikih.
Namun demikian, pada masa
awal Abbasiyah, pemikiran pendidikan masih bercampur dengan pemikiran di bidang
lain. seperti kita ketahui, masa awal Abbasiyah ditandai dengan munculnya
sejumlah ulama pendiri mazhab fiqih (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’i,
dan Ahmad bin Hanbal), ulama-ulama Hadis sepeti Bukhari dan Muslim, serta ulama
tafsir dan sejarawan terkenal, seperti Al-Thabari (w. 310/923). Mereka itu
banyak menulis tentang Islam yang digali dari sumber-sumber terpercaya.
Diantara yang menreka tulis adalah butiir-butir pemikiran pendidikan, meskipun
masih bercampur dengan bidang-bidang lainyang menjadi disiplin mereka
(Adud,1977: 132).[35]
Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut,
pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan
pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula. Akan tetapi, karena
pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama
berlalunya zaman.
Aliran-aliran teologi sudah
ada pada mas Bani Ummayah, seperti Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah. Akan
tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah
muncul diujung pemerintahan Bani Ummayah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang olebih
kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode
pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran
rasional dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah
Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/ 752-849 M) dan al-Nizzam (185-221H/ 801-835
M). Asy’ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskkan oleh Abu
al-Hasan al-Asy’ri (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak
sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena al-Asy’ri sebelumnya
adalah pengikut mu’tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra.
Penulisan Hadis, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin
terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga
memudahkan para pencari dan penulis hadis bekerja.[36]
Pengaruh gerakan terjemahan
terlihat dalam pperkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang
astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah. Dalam lapangan astronomi
terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun
asrtolobe. Al-Fargani yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis
ringkasan ilmu astronomi yang di terjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard
Cremona dan Johannes Hispelensisi. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama
al-Razi dan Ibnu Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara
penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku
mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteran berada di tangan Ibnu
Sina. Ibnu Sina yang hjuga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran
darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qanun fi al
Thibb yang merupakan ensiklopedi kedoteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optika Abu Ali al-Hasan ibnu al-Haythami, yang di Eropa dikenal
dengan nama Alhazan, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata
mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti
kebenarannya, bendalah yang mengiim cahaya ke mata. Di bidang Kimia, terkenal
nama Jabir Ibnu Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan
tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan zat tertentu .
di bidangg matemmatika terkenal nama Muhammad Ibnu Musa al-Khawarizmi, yang
juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata
“aljabar” berasal dari judul bukunya, al-jabr wa al- muqabalah. Dalam
bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di
antara karyanya adalah Muruj al- Zahab wa Ma’adin al-jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam
bidang filsafat antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi
banyak menulis buku tenang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan
interpretasi terhada filasfat Aristoteles. Ibnu Sina juga banyak mengarang buku
tentang filsafat. Yang terkenal di antaranya adalah al-Syifa. Ibnu Rusyd yang
di Barat lebih dikenal dengan nama Averrose, banyak berpengaruh di Barat dalam
bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebutt dengan
Averroisme.[37]
Demikianlah kemajan politik
dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintah Islam pada masa klasik,
kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Paa masa ini, kemajuan
politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaannya, sehingga
Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini
mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama.
Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran.[38]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jika dilihat dari
penjelasan diatas, maka bisa ditarik kesimpulan dari pembahasan yang ada,
yaitu:
Kesuasaan dinasti Bani
Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebangaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan
dinasti Umayyah. Dimana pemerintahan Abbasiyah adalah keturunan dari pada
Al-Abbas, paman Nabi SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan pendiriannya dianggap suatu
kemenangan bagi ide yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah kewafatan
Rasulullah, agar jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan
sanak-saudaranya. Tetapi ide ini telah dikalahkan di zaman permulaan Islam,
dimana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa jabatan khalifah itu adalah
milik kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan mereka berhak melantik siapa saja
antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat dukungan. Selama
dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Faktor-faktor pendorong
berdirinya Dinasti Abbasiyah dan penyebab suksesnya yaitu :
- Banyak terjadi perselisihan antara interen Bani Ummayah
pada dekade terakhir pemerintahannya hal ini diantara penyebabnya yaitu
memperebutkan kursi kehalifahan dan harta.
- Pendekanya masa jabatan khalifah di akhir-akhir
pemerintahan Bani Ummayah, seperti khalifah Yazid bin al-Walid lebih
kurang memerintah sekitar 6 bulan.
- Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang
seperti yang di kerjakan oleh Marwan bin Muhammad yang menjadikan anaknya
Abdulah dan Ubaidilah sebagai putra mahkota.
- Bergabungnya sebagai afrad keluarga
Ummayah kepada mazhab-mazhab agama yang tidak benar menurut syariah,
seperti Al-Qadariyah.
- Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir
pemerintahan Bani Ummayah.
- Kesombongan pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir
pemerintahannya.
- Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non Arab)
Pada masa Abbasiyah tujuan
pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu.
Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Tujuan keagamaan dan akhlak, seperti pada masa
sebelumnya. Anak-anak didik diajar membaca/menghafal Al-Qur’an, ialah
karena hal itu suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran
agama dan berakhlak menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu tafsir,
hadis dan sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.
- Tujuan kemasyarakatan, Selain tujuan keagamaan dan
akhlak ada pula tujuan kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar dan
menuntut ilmu, supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat,
dari masyarakat yang penuh kejahilian menjadi masyarakat yang bersinar
ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju
dan makmur.
Ilmu-ilmu yang diajarkan di
madrasah-madrasah, bukan saja ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, bahkan juga
diajarkan ilmu-ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
- Selain itu ada lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan
ilmu pengetahuan serta senanag dan lazat mencapai ilmu itu. Mereka belajar
tak mengharapkan keuntungan apa-apa, selain dari pada berdalam-dalam dalam
ilmu pengetahuan. Mereka melawat keseluruh negara Islam untuk menuntut
ilmu tanpa mempedulikan susah payah dalam perjalanan, yang umumnya
dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka
tidak lain untuk memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan.
- Disamping itu ada pula tujuan pendidikan sebagian kaum
muslimin , yaitu tujuan kebendaan. Mereka menuntut ilmu supaya mendapat
penghiduapn yang layak, dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin
mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, seperti tujuan setengah
orang pada masa kita sekarang.
Perkembangan ilmu
pengetahuan yang berlangsung pada zaman Abbasiyah hampir belum ditemukan
kesamaannya dalam perkembangan peradaban dunia Islam sesudahnya. Kemjuan ilmu
pengetahuan itu antara lain :
- Kemajuan Ilmu Agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadits,
ilmu kalam dan ilmu fikih.
- Ilmu-ilmu Umum seperti filsafat, kedokteran, astronomi,
ilmu pasti dan geografi.
Kemudian munculnya sejumlah
ulama pendiri mazhab fiqih (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’i, dan Ahmad
bin Hanbal), ulama-ulama Hadis sepeti Bukhari dan Muslim, serta ulama tafsir
dan sejarawan terkenal, seperti Al-Thabari (w. 310/923). Mereka itu banyak
menulis tentang Islam yang digali dari sumber-sumber terpercaya. Diantara yang
menreka tulis adalah butiir-butir pemikiran pendidikan, meskipun masih
bercampur dengan bidang-bidang lainyang menjadi disiplin mereka (Adud,1977:
132).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan
Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007
Al-Isy Yusuf, Dinasti Abbasiyah,Jakarta:
Al-Kautsar,2007
As-Suyuti Imam, Tarikh Khulafa, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar,2000
Hitti Philip,History of The Arabs, New
York : PT Serambi Ilmu Semesta,2002
Kurniawan Samsul, Jejak Pemikiran
Tokoh Pendidikan Islam, Jogjakarta: Az-Ruzz Media, 2011
Nizar Samsul, Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta : Kencana,2011
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam, Jakarta : PT raja Grafindo Persada, 2004
Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan
Islam , Jakarta: PT Al-Husna Zikra,1997
Umam Chatibul, Sejarah Kebudayaan
Islam MTs,Semarang: Menara Kudus, 1995
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada,2001
Yunus Mahmud, Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1963
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 1997
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
- Latar
belakang.................................................................................. 1
- Rumusan
Masalah............................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
- Sejarah
berdirinya Dinasti Abbasiyah.............................................. 2
- Perkembangan
Pendidikan dan Tujuannya...................................... 3
- Berkembangnya
lembaga-lembaga pendidikan Islam...................... 5
- Sistem
pendidikan di sekolah-sekolah............................................. 10
- Tingkat-tingkat
Pengajaran.............................................................. 13
- Rencana
Pengajaran Kuttab (Tingkat Rendah)................................ 13
- Rencana
Pembelajaran Tingkat Menengah...................................... 14
- Rencana
Pelajaran Pada Tingkat Tinggi........................................... 15
- Rencana
Pelajaran Pada Tingkat Tinggi........................................... 16
- Perkembangan
Ilmu Pengetahuan.................................................... 19
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan....................................................................................... 26
DAFTAR
PUSTAKA
MAKALAH
PEKEMBANGAN PENDIDIKAN
ISLAM
MASA ABASIYAH
Post a Comment