MAKALAH PERBEDAAN HUKUM WARIS PERDATA ISLAM DAN ADAT DI INDONESIA

Posted by GLOBAL MAKALAH


MAKALAH
PERBEDAAN HUKUM WARIS PERDATA ISLAM DAN ADAT DI INDONESIA

Keterangan :
Jika ingin download file makalah ini anda bisa download di bawah ini :

--------------------------------------------------------------------------------

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya, makalah tentang perbedaan hukum warisan perdta islam dan hukum adat di indonesia telah diselesaikan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak – pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyusun makalah ini. Ucapan terima kasih ditujukan kepada:
1.      Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah serta kemudahan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan kemajuan,
2.      Dr. Ujang Suratno, S.H., M.H selaku Rektor Universitas Wiralodra,
3.      Suhaendi Salidja ,S.H.,M.H dan Jajang Arifin SH Selaku Dosen Hukum Islam
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran serta masukan dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pihak – pihak yang berkepentingan.
                                                              




                                                                    Indramayu, 28 NOVEMBER 2018
                                                                                                Penulis,


                                                                                             Muhammad Harri Nuzul Perkasa 



DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... ……………………........…................................................. 1
KATA PENGANTAR.................................................................................................... 2
DAFTAR ISI….............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 4
A. Latar Belakang...................................................................................................... 4
B.  Rumusan Masalah................................................................................................. 4
C.  Tujuan .................................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................... 6
I. Pengertian Islam Nusantara ................................................................................... 6
II. Karakteristik Islam Nusantara .............................................................................. 6
III. Peran Para Ulama (Wali songo) Dalam Perkembangan Islam Nusantara............ 9
IV. Praktek Islam Nusantara Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.................................................................................................................. 13
V. Pro dan Kontra Tentang Islam Nusantara........................................................... 14
BAB III PENUTUP..................................................................................................... 16
A. Kesimpulan.......................................................................................................... 16
B. Saran ......................................................................................... ..........................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 17







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam muncul dan memberikan cahayanya agar manusia tidak semena-mena dalam mengambil keputusan. Terutama tentang pembagian waris. Karena ini akan menyangkut keluarga dan akan menimbulkan pertentangan dan perselisihan di antara keluarga. Maka dari itu itu, perlu adanya pembahasan khusus mengenai masalah waris ini, dengan mengetahui pengertian, asas, pembagian ahli waris, dan hal-hal yang lain yang berkaitan dengan waris. Hukum waris perdata Islam adalah hukum yang mengatur tentang pembagian ahli waris dan hal lain terkait dengan bagi waris menurut agama Islam.   Di negara kita, yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, hukum Islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain. Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual.
Sistem waris kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara bersam-sama, dan ahli waris tidak diperbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik perempuan atau laki-lak sampai merka dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri. Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa dimliki secara pribadi oleh ahli waris, dan kepemilikkan mutlak ditangannya. Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing pihak.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian hukum waris perdata Islam?
2.      Apakah pengertian hukum waris adat?
3.      Apakah perbedaan antara hukum waris perdata Islam dengan hukum waris adat?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian hukum waris perdata Islam
2.      Mengetahui pengertian hukum waris adat
3.      Mengetahui perbedaan antara hukum waris perdata Islam dengan hukum waris adat














BAB II
PEMBAHASAN

HUKUM WARIS PERDATA ISLAM
A.    Pengertian Waris dalam Islam
Warisan atau kewarisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab yaitu:  warasa yang berarti pindahnya harta si Fulan.  Waris dalam bahasa Indonesia berarti peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia. Hukum waris di dalam hukum Islam lazim juga disebut dengan istilah “Faraid” yang berarti pembagian tertentu.Pengertian waris ditinjau secara etimologi dalam kamus Bahasa Arab, waris berasal dari kata warits yang berarti (tinggal atau kekal). Oleh sebab itu, apabila dihubungkan dengan persoalan hukum waris.
Perkataan warits tersebut berarti orang-orang yang berhak untuk menerima pusaka dari harta yang ditinggalkan oleh si mati sering dikenal dengan istilah ahli waris. Ahmad Azhar Basyir memberikan definisi kewarisan menurut hukum Islam adalah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia baik berupa hak kebendaan kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum. Di samping itu Hasby al-Siddieqy telah mendefinisikan mawaris sebagai jama’ dari kata atau lafaz Mirast, demikian juga irs, Wars, Wirasah dan turas diartikan dengan maurus yaitu harta pusaka peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh para pewarisnya sedangkan lafaz waris adalah orang yang berhak menerima pusaka. Kemudian lafadz tarikah/tirkah menurut beliau ialah apa yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal dunia,  baik berupa harta maupun berupa hak yang bersifat harta atau hak yang lebih  kuat unsur hartanya terhadap seseorang tanpa melihat siapa yang berhak menerimanya. 
Dari definisi dan penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hukum waris Islam merupakan suatu bagian dari hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan atau pembagian harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada orang lain sebagai ahli waris serta penentuan hak perolehan dari masing-masing ahli waris tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut para ulama Islam (mujtahid) menyimpulkan bahwa sistem hukum kewarisan dalam Islam meliputi tiga aspek bahasan yang utama, yaitu mengenai penentuan tirkah (harta peninggalan), penentuan ahli waris serta penentuan besar bagian masing - masing ahli waris. 
Kesimpulan di atas sesuai dengan ketentuan penjelasan Angka 37 pasal 49 huruf b Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian  masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.  Dan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pegangan para hakim di lingkungan Peradilan dalam melaksanakan tugasnya menyelesaikan perkara di bidang kewarisan.

B.     Azas Hukum Waris
1. Asas berlaku dengan sendiri (ijbari)

Dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur “memaksa” (ijbari) ini terlihat, terutama dari kewajiban ahli waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh Allah di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan. 
2. Asas bilateral

Istilah bilateral apabila dikaitkan dengan sistem kekerabatan berarti kesatuan kekeluargaan yang didasarkan atas garis keturunan pihak bapak dan ibu. Oleh sebab itu, asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti seorang ahli waris dapat menerima bagian harta pusaka, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Pengertian ini mempunyai makna bahwa harta pusaka dari pewaris dapat dimiliki secara perorangan oleh ahli waris bukandimiliki secara berkelompok. Praktek pelaksanaan dalam asas tersebut dilakukan dengan mengumpulkan seluruh harta waris yang dinyatakan dalam nilai tertentu kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerima berdasarkan kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini, pewaris berhak sepenuhnya terhadap bagian yang diperoleh tanpa terikat oleh ahli waris yang lain.

3. Asas persamaan hak dan perbedaan bagian

Hukum waris Islam tidak membedakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik berstatus masih kecil dan mereka yang sudah dewasa semua memiliki hak untuk mendapatkan warisan. Jadi persamaan hak ini dapat dilihat dari segi usia dan jenis kelamin. Perbedaannya hanya terletakpada bagian yang akan didapat setiap ahli waris. Hal ini disesuaikan dengan perbedaan proporsi beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga.

4. Asas keadilan berimbang

Perkataan adil terdapat banyak dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam sistem ajaran Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses dan tujuan segala tindakan manusia.  Dengan demikian, asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.
Asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup.
Berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Oleh karena itu hukum kewarisan islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat dari kematian seseorang.

C.     Penghalang waris
Dalam literatur fiqh dijelaskan mengenai penghalang untuk mendapatkan hak waris yaitu ada tiga, di antaranya:
·              Membunuh seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan an Nasai dari Qutaibah bahwa Rasulullah bersabda, orang yang membunuh tidak mewarisi.
·              Karena berbeda agama sebagaimana dikemukakan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Rosulullah bersabda, “tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir dan orang kafir terhadap orang muslim”. Dalam fiqh konvensional, pembahasan mengenai perbedaan agama menjadi penghalang menerima waris, selain ditinjau dari faktor geografi dan wilayah politik yang tidak kondusif hubungan ismah dan perwalian juga menjadi alasan para ulama dalam membahas perbedaan agama. 
·              Perbudakan, meskipun pembahasannya sudah dianggap usang, namun dalam kitab fiqh masih membahasnya. Hal ini didasarkan pada Firman Allah dalam surat an Nahl ayat 7521. Ayat ini menegaskan bahwa seorang hamba tidak mempunyai kekuasaan apapun, sehingga kalaupun ia diberi hak waris maka pemiliknya lah yang akan menguasainya. 
Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dikenal mengenai penghalang waris akibat perbedaan Negara dan perbudakaan, akan tetapi memperluas mengenai makna membunuh yang menjadi penghalang menerima waris menurut KHI kepada beberapa hal seperti pada Pasal 173 KHI yaitu seseorang yang telah dipersalahkan:
  1. telah membunuh
  2. mencoba membunuh
  3. menganiaya berat para pewaris;
  4. memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dengan melihat uraian tersebut, terlihat hukum waris Indonesia menetapkan mawani’ul irsi berkenaan dengan tindak pidana lebih ketat dibandingkan dengan fiqh konvensional. Namun sebaliknya, dalam mawaniul iris berkenaan dengan perbedaan agama, ternyata lebih longgar, karena beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah menetapkan bahwa ahli waris non muslim meskipun tidak mendapatkan hak waris tetapi ia mendapatkan harta melalui wasiat wajibah. Salah satu yurisprudensi tersebut adalah putusan Mahkamah Agung RI Nomor 366.K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998.

D.    Kewajiban Ahli Waris
Sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai ahli waris apabila ada yang meninggal dunia untuk segera menuntaskan urusan duniawinya, terutama yang berkaitan dengan materi/harta. Hal ini dicantumkan di dalam Pasal 175 KHI/Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa:
  1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
  2. Menyelesaikan baik hutang piutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
  3. Menyelesaikan wasiat pewaris
  4. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
E.     Ahli Waris Kewajibannya
1.  Ahli Waris Nasabiyah
Bagian ahli waris ahli waris Nasabiyah dapat dibedakan dari bentuk penerimaannya menjadi dua, pertama Ashab al-Furud al-Muqadarah yaitu ahli waris yang menerima bagian tertentu yang telah ditentukan al-Quran. Mereka ini umumnya ahli waris perempuan. Kedua, Ashab al-Usubah yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa telah diambil oleh Ashab al-Furud al-Muqadarah ahli waris penerima sisa kebanyakan ahli waris laki-laki. Besarnya bagian tertentu dijelaskan dalam al-Quran mulai dari 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3 adapun bagian sisa ada tiga kategori.

a. Asabah Binafsih yaitu bagian sisa yang diterima karena status dirinya seperti : anak laki-laki cucu laki-laki garis laki-laki atau saudara laki-laki sekandung prinsip penerimaan ahli waris ashab al-Usubah ini berdasarkan kedekatan kekerabatannya. Mana yang paling dekat kekerabatannya maka dia yang berhak menerima bagian sisa yang telah diambil ahli waris lainnya.

b. Asabah bi al-Gair yaitu bagian sisa yang diterima oleh ahli waris karena bersamaan, dengan ahli waris lain yang telah menerima sisa apabila ahli waris lain tidak ada. Maka ia kembali menerima bagian tertentu semula. Dalam penerimaan asabah bi al-Gair. Ini berlaku ketentuan laki-laki menerima dua kali bagian perempuan. Ahli waris yang menerima bagian asabah Bil Gair adalah sebagai berikut :
  • Anak perempuan bersama anak laki-laki.
  • Cucu perempuan garis laki-laki bersama cucu laki-laki garis laki-laki.
  • Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.
  • Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
c. Asabah Ma’a al-Gair yaitu bagian sisa diterima ahli waris karena bersama ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tersebut tidak ada maka ia kembali menerima bagian tertentu seperti semula. Ahli warisnya terdiri dari : saudara perempuan sekandung baik satu atau lebih, ketika bersama-sama anak atau cucu perempuan dan saudara perempuan seayah (satu atau lebih) ketika bersama-sama anak atau cucu perempuan.

2. Ahli Waris Sababiyah
Ahli waris Sababiyah semuanya menerima bagian furud al- Muqaddarah sebagai berikut :
a. Suami menerima :
- ½ bila tidak ada anak atau cucu
- ¼ bila ada anak atau cucu
b. Istri menerima bagian :
- ¼ bila tidak ada anak atau cucu
- 1/8 bila ada anak atau cucu (Berdasarkan QS. al-Nisa’, 4 : 12) 

 HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA
A.    Pengertian Hukum Waris Adat
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat RI, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Burgerlijk Wetboek (BW)[[1]]. Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Menggunakan hukum waris menurut hukum adat, menurut Wirjono Projodikoro (19911 : 58), hukum adat pada umumnya bersandar pada kaidah sosial normatif dalam cara berpikir yang konkret yang sudah menjadi tradisi masyarakat tertentu[[2]].
Menurut Ter Haar[[3]],  hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, ada pendapat lain ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud, dari suatu angkatan generasi manusia  kepada keturunnya[[4]].
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah
1.      Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris, sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
2.      Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie (bagian mutlak), sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
3.      Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting, karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta  keadilan. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dengan kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.
Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).  Dengan menggunakan dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.
Hukum     waris menurut hukum adat pada dasarnya merupakan sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi selanjutnya. Unsur-unsur hukum mawaris adat adalah sebagai berikut :
1. Proses pengoperan atau hibah atau pewarisan atau warisan.
Maksud dari proses disini berarti bahwa pewarisan hukum adat bukan selalu aktual dengan adanya kematian, atau walaupun tak ada kematian proses pewarisan itu tetap ada, mengenai penerusan, pengoperan dan penerusan kedudukan harta material dan immaterial, penerusan itu dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi pewarisan ini bukan merupakan pewarisan individual.
2. Harta benda materiil dan imateriil.
Tiap kesatuan keluarga mesti ada benda-benda material yang dimiliki oleh keluarga itu, yang disebut dengan kekayaan. Kekayaan yang biasa disebut harta keluarga (gezinsgoed), dapat diperoleh dengan cara, antara lain : (1) harta suami istri yang diperoleh dari harta warisan dari orang tuanya(toessheding), (2) harta suami istri yang diperoleh sendiri sebelum perkawinan, (3) harta suami istri yang diperoleh bersama-sama semasa perkawinan, dan (4) harta yang ketika menikah kepada pengantin (suami istri). Kekayaan dalam keluarga tersebut pada dasarnya memiliki beberapa fungsi :
a.         Kekayaan merupakan basis material dalam kehidupan keluarga yang dinamakan harta rumah tangga bagi kesatuan rumah tangga.
b.         Kekayaan berfungsi untuk memberi basis material bagi kesatuan-kesatuan rumah tangga yang akan dibentuk oleh keturunan.
c.         Karena harta kekayaan itu merupakan basis material dari pada kesatuan-kesatuan kekeluargaan, maka dari sudut lain harta kekayaan itu merupakan alat untuk mempersatukan kehidupan keluarga.
d.        Karena harta kekayaan itu adalah pemersatu kehidupan keluarga, maka pada dasarnya dalam proses pewarisan, tidak dilakukan pembagian atau pada dasarnya harta peninggalan tak dibagi-bagi.
Berdasarkan ketentuan mengenai fungsi dari pada harta kekayaan, maka dalam    hukum waris di kenal dua harta macam peninggalan yaitu :
a.         Harta peninggalan yang dapat dibagi yaitu, peninggalan yang dibagi-bagikan pada ahli warisnya yaitu kepada anak-anaknya.
b.         Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi yaitu, jika orang itu meninggal, maka : hartanya menjadi harta pusaka yang dimiliki oleh komplek-famili yang dipimpin oleh kepala-famili, dan hanya ada seorang anak saja yang berhak mewarisi. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi di golongkan menjadi dua yaitu, mayorat (sistem pewarisan dimana anak tertua yang menjadi ahli waris) dan kolektif (suatu sistem kewarisan yang dimana harta pusaka yang dimiliki bersama, yaitu dimiliki oleh keluarga didalam arti kerabat (famili)).
3. Satu generasi kegenerasi selanjutnya.
Pada dasarnya yang menjadi ahli waris dalam hukum adat adalah angkatan (generasi).
4. Tata cara penyelenggaraan pembagian warisan.
Tata cara penyelenggaraannya pembagian warisan menurut hukum adat meliputi tiga cara yaitu sebagai berikut :
a)         Waris, waris berdasarkan sistem tata tertib sanak yang terbagi dalam tiga sistem yaitu waris parental, waris patrilineal, dan waris matrilineal.
b)        Hibah, adalah perbuatan hukum yang dimana seseorang tertentu memberikan sutau barang(kekayaan) tertentu kepada seseorang yang diingkan, menurut kaidah hukum yang berlaku. Hibah dibagi emnajdi dua yaitu hibah biasa (pembagian barang milik seseorang yang langsung diikuti dengan pnyerahan seketika barang), dan hibah wasiat (pembagian barang milik seseorang yang tidak selalu diikuti penyerahan seketika itu, juga barang-barang itu kepada yang mendapat barang masing-masing dan abru akan diserahkan apabila si pemberi sudah meninggal dunai). Dengan kata lain hibah wasiat berlaku setelah si pemberi meninggal
B.     Pembagian Waris Menurut Adat
Dalam hal pembagiannya yaitu anak-anak dan atau keturunannya serta janda, seluruh harta menurut pasal 852 BW harus di bagi sebagai berikut[[5]]
1.    Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu dan janda mendapat masing-masing suatu bagian yang sama, misalnya ada 4 anak dan janda maka mereka masing-masing 1/5 bagian.
2.    Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dahulu, dan ia mempunyai anak (jadi cucu dari si peninggal warisan), misalnya 4 cucu, maka mereka semua mendapat 1/5 bagian selaku pengganti ahli waris (plaatsvervulling) menurut pasal 842 BW. Jadi masing –masing cucu mendapat 1/20 bagian.
Dalam hal ini tidak diperdulikan apakah anak-anak itu adalah lelaki maupun perempuan, anak tertua atau termuda (zonder onderscheid van kunne of eerstegeboorte)
Menurut ketentuan Hukum Adat yang berkembang di dalam masyarakat, secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem (pembagianya) hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, yaitu[[6]]
1.    Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.
2.    Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.
3.    Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat di Jawa dan masyarakat tanah Batak[[7]]
           
C .Harta Waris Adat
Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan.
1.    Harta asal
Harta asal adalah harta yang diperoleh atau dimiliki oleh pewaris sebelum perkawinan yang dibawa kedalam perkawinan, baik harta itu berupa harta peninggalan maupun harta bawaan.Harta peninggalan dapat dibedakan harta peninggalan yang tetap tak terbagi dan harta peninggalan yang dapat dibagi, demikian juga harta bawaan ada harta bawaan di isteri dan harta bawaan suami.
Harta peninggalan ada harta peningggalan yang tak terbagi dan harta peninggalan yang dapat dibagi. Dalam pewarisan yang banyak membawa persoalan adalah harta peninggalan yang tak terbagi, karena terhadap harta ini ada seolah-olah waris kehilangang haknya untuk memiliki secara perseorangan atau menguasai secara penuh.Suatu harta peninggalan tidak terbagi dalam hukum adat kita disebabkan karena sifat dan kedudukan dari harta itu. Dalam masyarakat bilateral di Jawa, harta peninggalan dapat menjadi harta peninggalan yang tak terbagi bilamana misalnya seorang janda atau anak-anaknya yang belum dewasa harus mendapat nafkahnya daripadanya dan pemberian nafkah ini tidak akan terjamin bila diadakan pembagian.
Di Minangkabau dikenal harta pusaka tinggi seperti rumah gadang, sawah atau peladangan. Dalam masyarakat matrilinial ini harta pusaka adalah kepunyaan kaum dimana ibu sebagai pusat pengusaannya. Harta peninggalan ini tidak mungkin dimiliki secara perseorangan melainkan secara bersama memilikinya bagi para anggota kerabat dari pihak ibu tersebut. 
Terhadap harta kerabat di Minangkabau atau di Hitu Ambon penguasaannya dipimpin oleh mamak kepala waris di Minangkabau, kepala dati di Hitu. Selain faktor-faktor di atas, harta peninggalan tak terbagi karena harta tersebut hanya diperuntukkan penguasaannya untuk diurus seperti dalam masyarakat patrilinial beralih-beralih di Bali harta peninggalan dikuasai oleh anak laki-laki yang tertua yang menggantikan kedudukan orang tua untuk mengurusi dan memelihara saudara-saudaranya, atau di Semendo yang menganut sistim matrilinial harta peninggalan hanya dikuasai dan diurus, tidak dapat dipindah tangankan, pada umumnya banyak harta peninggalan tetap tinggal tidak dibagi-bagi dan disediakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil keluarga yang ditinggalkan”. ( R,Soepomo, 1980 : hlm.81).
Sedangkan harta peninggalan yang dapat dibagi pada umumnya terdapat pada masyarakat patrilinial di Batak, dan masyarakat bilateral di Jawa, dan tidak menutup kemungkinan di daerah-daerah yang harta peninggalan tersebut di atas karena pergeseran zaman dan merenggangnya sistim kekerabatan harta tersebut dibagi, namun pada prinsipya tidak dapat dibagi.  Demikian juga di Semende yang menjadi harta yang tak terbagi atau tetap terbagi-bagi hanya harta tunggu tubang saja, sedangkan harta diluar harta tubang dapat dibagi. Harta yang dapat dibagi biasanya merupakan harta pencaharian atau harta bawaan.
Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau isteri sebelum perkawinan. Oleh sebab itu dibagi antara harta bawaan suami dan harta bawaan isteri. Harta bawaan itu ada yang terikat dengan kerabat dan ada yang tidak terikat dengan kerabat. Harta bawaan yang terikat dengan kerabat seperti harta pihak suami yang dibawa pihak suami yang dibawa ke tempat kediaman isterinya (matrilokal) dalam masyarakat matrilinial di Minangkabaum harta yang diberikan kepada anak perempuan selagi masih gadis di Batak yang dibawa menetap di tempat kediaman suaminya (patrilokal) yang dinamakan tano atau saba bangunan. Harta bawaan yang tidak terikat dengan kerabat, karena harta itu hasil pencaharian si suami selagi masih bujang (harta pembujangan, Sumatera Selatan), harta penantian bagi si isteri semasa gadis atau guna kaya di Bali baik harta perempuan ataupun harta laki-laki. Kedua harta ini dalam masyarakat kita mempunyai kedudukan yang berbeda sesuai dengan bentuk masyarakat itu.
2.    Harta pemberian
Harta pemberian adalah harta yang dimiliki oleh pewaris karena pemberian, baik pemberian dari suami bagi si isteri, pemberian dari orang tua, pemberian kerabat, pemberian orang lain, hadiah-hadiah perkawinan atau karena hibah wasiat. Harta pemberian dibedakan dengan harta asal, sebab harta asal telah ada sebelum perkawinan sedangkan harta pemberian ada setelah perkawinan. Harta pemberian orang tua, dalam beberapa masyarakat terikat dengan kerabat, seperti harta pemberian si bapak kepada anak perempuannya sewaktu gadis ini Batak atau selagi anak tersebut dalam perkawinan (saba bangunan, pauseang, indahan arian), bila si isteri ini meninggal dan tidak mempunyai anak, maka harta ini akan kembali pada kerabatnya.
Harta pemberian orang lain, seperti pemberian dari teman sekerja.
Bila harta pemberian tersebut ditujukan kepada salah satu pihak suami-isteri, sama halnya dengan pemberian kerabat hanya saja motif pemberiannya berbeda. Pemberian kerabat biasanya didasarkan rasa kasihan, welas asih atau tolong-menolong, sedangkan pemberian orang lain karena rasa persahabatan dan sebagainya.
3.    Harta pencaharian
Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami-isteri, suami saja atau isteri saja dalam perkawinan karena usaha dari suami-isteri atau salah satu pihak. Secara umum harta yang diperoleh dalam perkawinan adalah harta bersama suami-isteri, tetapi dalam beberapa masyarakat ada harta pencaharian suami saja, atau harta pencaharian si isteri saja disebabkan bentuk perkawinan dan sistim kekerabatannya.
Di Minangkabau harta bersama dikenal harta suarang, di Jawa gono-gini, di Kalimantan harta perpantanganm di Bugis dan Makasar dikenal cakkara. Harta bersama dapat bertambah karena harta bawaan, harta pemberian, dan harta lain yang diperuntukkan untuk keluarga yang diberikan tersebut.

D.      Hukum Waris Adat Patrilineal
Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriari, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti "ayah", dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "patrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah".
Sementara itu patriarkat berasal dari dua kata yang lain, yaitu pater yang berarti "ayah" dan archein (bahasa Yunani) yang berarti "memerintah". Jadi, "patriari" berarti "kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki[[8]]".
Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia. Dalam masyarakat tertib Patrilineal seperti halnya dalam masyarakat Batak Karo, khususnya, dan dalam masyarakat Batak pada umumnya[[9]]. Titik tolak anggapan tersebut, yaitu :
1.      Emas kawin (tukur), yang membuktikan bahwa perempuan dijual;
2.      Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal.
3.      Perempuan tidak mendapat warisan;
4.      Perkataan “naki-naki” menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk tipuan, dan lain-lain.
Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas hanya menunjukkan ketidaktahuan dan sama sekali dangkal sebab terbukti dalam cerita dan dalam kesusasteraan klasik, kaum wanita tidak kalah peranannya dibandingkan dengan kaum laki-laki. Meskipun demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris pada masyarakat patrilineal, dipengaruhi pula oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1.      Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat melanjutkan silsilah (keturunan keluarga);
2.      Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga (marga) ayah. Istri digolongkan ke dalam keluarga (marga) suaminya;
3.      Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia masuk anggota keluarga suaminya;
4.      Dalam adat, laki-laki dianggap anggota keluarga sebagai orang tua (ibu);
5.      Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta benda.
Di dalam pelaksanaan penentuan ahli waris dengan menggunakan kelompok keutamaan maka harus diperhatikan prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Pada umumnya masyarakat Bali menganut susunan kekeluargaan patrilinial, sehingga dalam hukum adat di Bali terdapat persyaratan-persyaratan sebagai ahli waris menurut I Gde Pudja adalah :
1.      Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak pewaris sendiri.
2.      Anak itu harus laki-laki.
3.      Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang karena hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.
4.      Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka kemungkinan adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya yang memenuhi syarat menurut Hukum Hindu[[10]]
Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa ada anak laki-laki maka anak perempuan itu dapat diangkat statusnya sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara perkawinan ambil laki, sehingga anak perempuan tersebut dapat menjadi sebagai ahli waris dari harta warisan orang tuanya. Anak angkat berdasarkan hukum waris adat di Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai penerus generasi atau keturunan, agar mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada keragu-raguan maka pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara “pemerasan” dan diumumkan di hadapan masyarakat[[11]]
Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang tua kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang mengangkatnya. Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku bersistem patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya.
Sifat masyarakat patrilinial adalah masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis keturunan melalui garis bapak. Sifat kekeluargaan masyarakat adat ini disebut juga dengan masyarakat Unilaterial. Pada masyarakat unilaterial diperlakukan kawin jujur. Pola pembagian harta warisan masyarakat parental adalah :
a.    Yang berhak mewarisi hanyalah anak laki- laki
b.    Kakek, jika tidak memiliki anak laki- laki
c.    Saudara laki- laki, jika kakek tidak ada

D.                Hukum Waris Adat Patrilinial
Di RI hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah, antara lain: Apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut oleh berbagai suku atau kelompok tersebut, dan apakah hal itu tetap dianut walaupun mereka menetap di luar daerah asalnya[[12]]
Menguraikan system hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, kiranya tidak dapat terlepas dari system kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan system hukum adat waris dalam masyarakat matrilinial di Minangkabau, ini berkaitan erat dengan system kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu.
Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasannya dan keunikannya bila dibandingkan dengan system hukum adat waris dari daerah-daerah lain di Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa system kekeluargaan di Minangkabau adalah system yang menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan system tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta Pusaka Tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.



E.     Hukum Waris Adat Matrilinial

Di RI hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah, antara lain: Apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut oleh berbagai suku atau kelompok tersebut, dan apakah hal itu tetap dianut walaupun mereka menetap di luar daerah asalnya
Menguraikan system hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, kiranya tidak dapat terlepas dari system kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan system hukum adat waris dalam masyarakat matrilinial di Minangkabau, ini berkaitan erat dengan system kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu.
Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasannya dan keunikannya bila dibandingkan dengan system hukum adat waris dari daerah-daerah lain di Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa system kekeluargaan di Minangkabau adalah system yang menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan system tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta Pusaka Tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.

F.      Hukum Waris Adat Parental / Bilateral
Sistem parental ini di Ri dianut di banyak daerah, seperti: Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok. Berbeda dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya yaitu sistem patrilineal dan sistem matrilinial, sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama. Tiga bentuk sistem kekeluargaan yang sangat menonjol senantiasa merupakan contoh pembahasan.
Hal tersebut mungkin didasarkan pada pertimbangan, bahwa di antara ketiga sistem kekeluargaan itu perbedaannya sangat prinsipil karena seolah-olah sistem patrilineal merupakan kebalikan dari sistem matrilinial. Kemudian kedua sistemtersebut dirangkum oleh satu sistem yang mengambil unsur dari kedua sistem tersebut, yaitu sistem parental atau bilateral.
Hukum warisan parental atau bilateral adalah memberikan hak yang sama antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, baik kepada suami dan istri, serta anak laki-laki dan anak perempuan termasuk keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Ini berarti bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama-sama mendapatkan hak warisan dari kedua orang tuanya, bahkan duda dan janda dalam perkembangannya juga termasuk saling mewarisi.
Bahkan proses pemberian harta kepada ahli waris khususnya kepada anak, baik kepada anak laki-laki maupun anak perempuan umumnya telah dimulai sebelum orang tua atau pewaris masih hidup. Dan sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat ini adalah individual artinya bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dari pemiliknya atau pewaris kepada para ahli warisnya, dan dimiliki secara pribadi.
Sifat sistem hukum kewarisan adat parental atau bilateral yang pada umumnya di pulau Jawa, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebenarnya dapat dilihat dari beberapa segi; pertama segi jenis kelamin, ini dapat dibagi dua kelompok, pertama kelompok laki- laki dan kelompok perempuan. Kedua segi hubungan antara pewaris dengan ahli waris. Dari segi ini juga ada dua kelompok pertama yaitu kelompok ahli waris karena terjadinya ikatan perkawinan suami dan istri. Kelompok kedua adalah kelompok hubungan kekerabatan, karena adanya hubungan darah ini ada tiga yaitu kelompok keturunan pewaris, seperti anak pewaris, cucu pewaris, buyut pewaris, canggah pewaris dan seterusnya ke bawah sampai galih asem. Kelompok asal dari pada pewaris, yaitu orang tua dari pewaris, seperti ayah dan ibu dari pewaris, kakek dan nenek pewaris, buyut laki-laki dan buyut perempuan pewaris, dan seterusnya ke atas dari pihak laki-laki dan perempuan. Dan kelompok ketiga adalah hubungan kesamping dari pewaris, seperti saudara-saudara pewaris, baik laki-laki maupun perempuan seterusnya sampai anak cucunya serta paman dan bibi seterusnya sampai anak cucunya, dan siwo atau uwa laki-laki dan perempuan sampai anak cucunya.
Dalam sistem hukum warisan parental atau bilateral juga menganut keutamaan sebagai mana sistem hukum warisan matrilinial. Menurut Hazairin ada tujuh kelompok keutamaan ahli waris parental atau bilateral, artinya ada kelompok ahli pertama, kelompok ahli waris kedua, kelompok ahli waris ketiga dan seterusnya sampai kelompok ahli waris ketujuh[[13]]
Dimaksud kelompok keutamaan disini, ialah suatu garis hukum yang menentukan di antara kelompok keluarga pewaris, yang paling berhak atas harta warisan dari pewaris, artinya kelompok pertama diutamakan dari kelompok kedua dan kelompok kedua diutamakan dari kelompok ketiga dan seterusnya. Sehingga kelompok-kelompok ini mempunyai akibat hukum, bahwa kelompok pertama menutup kelompok kedua, dan kelompok kedua menutup kelompok ketiga seterusnya sampai kelompok ketujuh. Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampaknya hukum warisan parental itu tidak terlepas dari sistem kekerbatan yang berlaku, karena kelompok ahli waris itu menghitungkan hubungan kekerabatan malalui jalur laki-laki dan jalur perempuan. Sehingga kedudukan ahli waris laki-laki dan perempuan sama sebagai ahli waris
Atas dasar kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, sehingga perolehan harta warisannya tidak ada perbedaan, yaitu satu berbanding satu, maksudnya bagian warisan laki-laki sama dengan bagian perolehan perempuan. Namun dalam perkembangannya hukum warisan adat parental khususnya di Jawa kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan bervariasi ada dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat bagian dua bagian dan perempuan mendapat satu bagian. Adanya variasi itu karena terpengaruh ajaran agama Islam, karena hukum warisan Islam perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan perempuan mendapat satu bagian, (lihat Qur‘an Surat An-Nisa‘ ayat 11 dan 12).
Dengan adanya perubahan perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan, ini membuktikan bahwa hukum warisan adat parental khususnya di Jawa telah mendapat resepsi dari hukum Islam, meskipun dalam praktek belum seluruhnya mayarakat merecepsi hukum warisan Islam.
Sifat masyarakat parental adalah masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis keturunan melalui garis ibu dan garis bapak. Pola pembagian harta waris :
1.         Pertama, jika salah satu meninggal, harta warisan dibagi menjadi dua, yaitu harta benda asal ditambah setengah harta benda perkawinan. Ahli warisnya adalah :
a. Semua anak- anaknya (laki- laki atau perempuan) dengan bagian sama rata,
b.Bila tidak beranak, maka harta benda bersama jatuh pada yang masih hidup,
c. Bila ada anak, maka harta asal jatuh pada famili yang tertua dari yang meninggal (orang tua), bila yang tertua tidak ada, harta asal jatuh pada ahliwaris kedua dari kedua orangtua tersebut (saudara laki- laki).
2.         Kedua, jika keduanya meninggal tanpa anak, harta benda bersama jatuh pada famili kedua belah pihak.





                                                               


BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan penjabaran definisi dan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.         Hukum waris perdata Islam adalah suatu bagian dari hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan atau pembagian harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada orang lain sebagai ahli waris serta penentuan hak perolehan dari masing-masing ahli waris tersebut.
2.         Hukum waris adat adalah hukum yang mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
3.         Perbedaan antara hukum waris perdata Islam dengan hukum waris adat yaitu:
a.        Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie (bagian mutlak), sebagaimana diatur dalam hukum waris Islam.
b.        Sistem hukum kewarisan dalam Islam meliputi tiga aspek bahasan yang utama, yaitu mengenai penentuan tirkah (harta peninggalan), penentuan ahli waris serta penentuan besar bagian masing - masing ahli waris berdasarkan Al Quran dan Hadist
c.        Sistem hukum waris adat merupakan sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan warisan dari satu generasi selanjutnya.





DAFTAR PUSTAKA

Yunus, Mahmud, 1989 Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakartya Agung 
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjutak, 1995, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, Jakarta: Sinar Grafika.
Basyir, Ahmad Azhar, 2001, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Edisi Revisi, UII Press.
Al-Siddieqy, Hasby, 2001,  Fiqihul Mawaris, cet-2, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Rahman, Fatchur, 1971, Ilmu Mawaris¸ Bandung: PT. Alma’arif.
Ali, Mohammad Daud, 1998, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Al Kahlani, Muhammad Ibn Ismail, tth., Subulus Salam, Juz 3, Bandung: Dahlan.
Rafiq, Ahmad, 2000, Hukum Islam di Indonesia, Cet. Ke-4, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII Press,2005).
Asri Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Eman Suparman, Hukum Waris RI dalam Perspektif Islam Adat dan BW, (Bandung: Refika Aditama, 2005).
I Gde Pudja Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama INDONESIA, (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I).
Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009).
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012
Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan KuRikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.hlm 1-20.
Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009), Hal. 86. Beliau merupakan seorang pakar hukum adat yang terkenal pada masa 1900an.
Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009),86-87
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal. 78
Lihat Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal 260
Eman Suparman, Hukum Waris Ri dalam Perspektif Islam Adat dan BW, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 43

I Gde Pudja Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama INDONESIA, (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I) hlm. 42.
Asri Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang. Hal. 4




[[1]] Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan KuRikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.hlm 1-20.
[[2]] Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009), Hal. 86
[[3]] Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009),
[[5]]Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009),86-87
[[6]]Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal. 78
[[7]]Lihat Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal 260
[[8] ] Lihat Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal 260
[[9] ] Eman Suparman, Hukum Waris Ri dalam Perspektif Islam Adat dan BW, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 43
[[10]] I Gde Pudja Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama INDONESIA, (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I) hlm. 42.
[[12]] Asri Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang. Hal. 4
                          

Related Post



Post a Comment